Kalahkan Trump, Eks Wakil Presiden Menang Polling Pilpres AS 2020
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Performa mantan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), kandidat presiden Partai Demokrat, Joe Biden, berhasil mengalahkan popularitas Presiden Donald Trump dari Partai Republik, dalam jajak pendapat CNN untuk pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS).
Dalam polling tersebut 51 persen pemilih yang terdaftar secara nasional mendukung mantan Wakil Presiden Joe Biden, sedangkan 41 persen mendukung Presiden Donald Trump dalam pemilihan presiden 2020.
Dukungan untuk Trump—kandidat presiden petahan—merosot setelah penurunan ekonomi Amerika yang dipicu pandemi virus corona baru (COVID-19) dan diperparah dengan demo rusuh massal di berbagai wilayah Amerika sebagai protes atas pembunuhan pria kulit hitam George Floyd oleh polisi kulit putih di Minneapolis.
Polling lainnya dari Fox News menunjukkan Biden unggul 9 poin di atas Trump, yakni 49-40. Polling beberapa media juga menunjukkan Biden lebih unggul.
Baca : China Dituding Manfaatkan COVID-19 untuk Kuasai Laut China Selatan
Ketika jajak pendapat bermunculan, Presiden Trump langsung mengadakan dua pertemuan besar terkait kampanyenya di Oval Office Gedung Putih pada hari Kamis. Mereka yang hadir pada pertemuan pertama adalah manajer kampanye Brad Parscale, penasihat Gedung Putih Jared Kushner, Ketua Komite Nasional Republik (RNC) Ronna McDaniel, dan jajak pendapat kampanye Tony Fabrizio.
Pertemuan kedua, di Cabinet Room, berlangsung selama lebih dari satu jam dan mencakup seluruh staf komunikasi senior dari tim kampanye dan RNC.
Dua pejabat tim kampanye Trump mengatakan kepada Fox News bahwa dua pertemuan itu telah sesuai jadwal sejak awal pekan, dan melaporkan bahwa mereka dipanggil karena presiden sedang kesal atas apa yang dia sebut data "tidak akurat."
Para pejabat menggambarkan Trump sedang "semangat tinggi", dan keluar masuk ruangan dengan suasana hati yang baik. Saat dia berdiri untuk meninggalkan pertemuan kedua, dia mengepalkan tinjunya dan menyatakan, "Kami akan menang."
Topik yang paling memakan waktu adalah komentar terbaru Joe Biden, di mana ia menyarankan agar pemilih kulit hitam yang mendukung Trump "jangan berkulit hitam". Namun, Biden menyesali komentarnya tersebut karena bernuanasa rasial.
Pernyataan penyesalan itu membuat Biden mendapat lonjakan dukungan dari para calon pemilih kulit hitam. Lebih dari 10.000 orang dari komunitas kulit hitam memberikan dukungan setelah Biden membuat pernyataan penyesalan.
Baca Juga : Ups, Ada Paus Putih Berwajah Manis Terbang di Angkasa
Sumber yang mengetahui pertemuan besar tim kampanye Trump mengatakan bahwa presiden menyambut berita tentang polling dengan antusias. "Kampanye ini membuat argumen, dan bermaksud untuk mendorongnya ke depan, bahwa Trump sebenarnya memiliki catatan yang bisa dia tunjukkan sementara Biden tidak," kata sumber tersebut merujuk pada data rendahnya tingkat pengangguran pra-pandemi Covid-19 untuk warga kulit hitam Amerika, pendanaan untuk warga kulit hitam ke perguruan tinggi dan universitas dan reformasi peradilan pidana.
"Tidak satu pun dari hal-hal itu terjadi dalam delapan tahun bahwa Biden adalah Wakil Presiden," kata sumber tersebut yang merupakan pejabat di pemerintah Trump.
Dalam polling tersebut 51 persen pemilih yang terdaftar secara nasional mendukung mantan Wakil Presiden Joe Biden, sedangkan 41 persen mendukung Presiden Donald Trump dalam pemilihan presiden 2020.
Dukungan untuk Trump—kandidat presiden petahan—merosot setelah penurunan ekonomi Amerika yang dipicu pandemi virus corona baru (COVID-19) dan diperparah dengan demo rusuh massal di berbagai wilayah Amerika sebagai protes atas pembunuhan pria kulit hitam George Floyd oleh polisi kulit putih di Minneapolis.
Polling lainnya dari Fox News menunjukkan Biden unggul 9 poin di atas Trump, yakni 49-40. Polling beberapa media juga menunjukkan Biden lebih unggul.
Baca : China Dituding Manfaatkan COVID-19 untuk Kuasai Laut China Selatan
Ketika jajak pendapat bermunculan, Presiden Trump langsung mengadakan dua pertemuan besar terkait kampanyenya di Oval Office Gedung Putih pada hari Kamis. Mereka yang hadir pada pertemuan pertama adalah manajer kampanye Brad Parscale, penasihat Gedung Putih Jared Kushner, Ketua Komite Nasional Republik (RNC) Ronna McDaniel, dan jajak pendapat kampanye Tony Fabrizio.
Pertemuan kedua, di Cabinet Room, berlangsung selama lebih dari satu jam dan mencakup seluruh staf komunikasi senior dari tim kampanye dan RNC.
Dua pejabat tim kampanye Trump mengatakan kepada Fox News bahwa dua pertemuan itu telah sesuai jadwal sejak awal pekan, dan melaporkan bahwa mereka dipanggil karena presiden sedang kesal atas apa yang dia sebut data "tidak akurat."
Para pejabat menggambarkan Trump sedang "semangat tinggi", dan keluar masuk ruangan dengan suasana hati yang baik. Saat dia berdiri untuk meninggalkan pertemuan kedua, dia mengepalkan tinjunya dan menyatakan, "Kami akan menang."
Topik yang paling memakan waktu adalah komentar terbaru Joe Biden, di mana ia menyarankan agar pemilih kulit hitam yang mendukung Trump "jangan berkulit hitam". Namun, Biden menyesali komentarnya tersebut karena bernuanasa rasial.
Pernyataan penyesalan itu membuat Biden mendapat lonjakan dukungan dari para calon pemilih kulit hitam. Lebih dari 10.000 orang dari komunitas kulit hitam memberikan dukungan setelah Biden membuat pernyataan penyesalan.
Baca Juga : Ups, Ada Paus Putih Berwajah Manis Terbang di Angkasa
Sumber yang mengetahui pertemuan besar tim kampanye Trump mengatakan bahwa presiden menyambut berita tentang polling dengan antusias. "Kampanye ini membuat argumen, dan bermaksud untuk mendorongnya ke depan, bahwa Trump sebenarnya memiliki catatan yang bisa dia tunjukkan sementara Biden tidak," kata sumber tersebut merujuk pada data rendahnya tingkat pengangguran pra-pandemi Covid-19 untuk warga kulit hitam Amerika, pendanaan untuk warga kulit hitam ke perguruan tinggi dan universitas dan reformasi peradilan pidana.
"Tidak satu pun dari hal-hal itu terjadi dalam delapan tahun bahwa Biden adalah Wakil Presiden," kata sumber tersebut yang merupakan pejabat di pemerintah Trump.
(sri)