Siasat Jitu Sultan Agung Mataram Taklukkan Surabaya dan Hancurkan Pemberontakan Pati
loading...
A
A
A
JAKARTA - Politik ekspansi Sultan Agung, berhasil melebarkan radius kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Mataram. Meskipun dengan politiknya itu dia gagal menghalau VOC, tetapi tidak mengurangi rasa hormat terhadapnya.
Pada Cerita Pagi kali ini, penulis akan mencoba mengulas secara singkat siasat Sultan Agung di dalam menaklukkan Surabaya dan Pati. Raja ketiga Kerajaan Mataram Islam ini, dikenal juga karena siasatnya yang jitu.
Sebelum ditaklukan Mataram, Surabaya merupakan negara sendiri. Raja-raja Surabaya menganggap dirinya sebagai keturunan Sunan Ngampel Denta. Warganya sangat ulet dan penuh keberanian bertahan.
Baca juga:Wisata Situ Gunung Sukabumi, Legenda Kerajaan Mataram hingga Ragam Destinasi Menarik
Untuk menaklukkan Surabaya, Sultan Agung yang memerintah Kerajaan Mataram pada 1613-1645 ini memulai dengan menaklukan daerah-daerah disekelilingnya. Hal itu dilakukan, karena menguasai dengan cara menyerbu tidak mungkin.
Dalam bukunya Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Hj De Graaf mengatakan, dibutuhkan blokade yang lama sekali untuk bisa menguasai negara yang rakyatnya terkenal gigih dalam berjuang itu.
"Kota tersebut menyerah bukan karena serbuan, tetapi karena keletihan. Pengepungan atas Surabaya tidak mungkin," tulis De Graaf, dikutip dari bukunya Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, halaman 94.
Surabaya terletak di sebuah pulau, diantara Kali Mas dan Kali Pegirian, dan sebagian lagi di sebelah baratnya. Keratonnya dilindungi oleh tembok-tembok tinggi, dan wilayah sekitarnya di kelilingi oleh rawa yang tidak sehat.
Baca:Kisah Kesaktian Eyang Bintulu Aji, Sang Pamomong Wahyu Keraton Mataram
Penguasaan terhadap Surabaya dimulai dengan melakukan pengepungan besar-besaran terhadap wilayah sekitarnya. Ini biasa dilakukan saat musim panen. Sedang saat musim hujan, pasukan Mataram kembali pulang.
Dengan cara ini, wilayah kekuasaan Surabaya semakin lama bertambah kecil, hingga tinggal kotanya saja. Puncak dari serangan itu adalah menutup saluran air yang menjadi permasalahan Surabaya hingga abad ke-19.
Dalam laporan yang disampaikan kepada Belanda, pada 27 Oktober 1625, diberitakan bahwa Surabaya menyerah kepada Mataram tanpa perlawanan, karena berkurangnya rakyat dan kelaparan. Surabaya pun jatuh ke tangan Mataram.
Di tengah ekspansi Surabaya, Pati bergejolak dan melakukan pemberontakan. Daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yang paling kuat, karena satu-satunya wilayah yang belum terkalahkan.
Baca:Raja Mangkunegaran Mangkat, Dimakamkan Hari Minggu dengan Adat Mataram
Akhir dari hubungan Mataram-Pati, adalah dengan meletusnya Perang Pati. Penyerangan Pati ke Jepara karena sebuah konflik. Namun, oleh Patih Endranata, Pati dilaporkan akan memberontak dari Mataram.
Akibatnya, Sultan Agung memutuskan untuk menyerbu Pati dari tiga penjuru, yaitu Timur, Selatan dan Barat. Ratusan ribu prajurit Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Sebagai Senapati, Mataram menunjuk Tumenggung Alap-Alap.
Pasukan dari arah Timur, yang dipimpin Adipati Martoloyo membawai pasukan Mancanegara, dan bermukim di Pekuwon Juwana bagian timur. Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin Pangeran Madura.
Pangeran Madura memegang prajurit di wilayah Kedu, Begalan dan Pamijen. Pasukan ini mendirikan tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu sebelah selatan Pati.
Baca:Trah Mataram Islam Kraton Kasunanan Gelar Malam Selikuran, Begini Suasananya
Sedang pasukan dari arah barat dipimpin oleh Bupati Sumedang yang membawahi pasukan khusus berkuda, pasukan ini mendirikan barak di sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati.
Terakhir, keluarga raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan Mataram. Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit. Dalam pertempuran ini, Adipati Pragola II dibantu oleh enam tumenggung.
Keenam tumenggung tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, Tumenggung Sindurejo, serta seluruh rakyat Pati.
Pada hari Jumat wage, tanggal 4 Oktober 1627 M, Adipati Pragola II tewas tertusuk tombak Kyai Baru milik Sultan Agung yang diserahkan pada Lurah Kapedak, Naya Derma. Sang adipati meninggal dan dikebumikan di Sendang Sani.
Baca:Kisah Kali Gowang, Ki Ageng Giring Menahan Diri Tak Dapat Wahyu Keraton Mataram
Setelah wafatnya Adipati Pragola II, Sultan Agung menemui adiknya, Ratu Mas Sekar, istri dari adipati. Sultan Agung menanyakan alasan pemberontakan Pati terhadap Mataram. Ratu Mas Sekar pun menjawab apa adanya.
Dia mengatakan, bahwa semua berita yang didengar oleh sang Sultan adalah berita yang dipalsukan oleh Patih Mataram Endranata. Kaget dengan berita itu, akhirnya Patih Endranata ditangkap dan dieksekusi mati.
Sumber tulisan:
HJ De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti, Cetakan Kedua, 1990.
SM Said, Sunu Hastoro, Kesaktian Sultan Agung, Mampu Kendalikan Makhluk Gaib Jadi Abdi Dalem
Doddy Handoko, Kisah Sultan Agung Taklukkan Pati, Adipati Pragola II Tewas Ditusuk Tombak Pusaka
Pada Cerita Pagi kali ini, penulis akan mencoba mengulas secara singkat siasat Sultan Agung di dalam menaklukkan Surabaya dan Pati. Raja ketiga Kerajaan Mataram Islam ini, dikenal juga karena siasatnya yang jitu.
Sebelum ditaklukan Mataram, Surabaya merupakan negara sendiri. Raja-raja Surabaya menganggap dirinya sebagai keturunan Sunan Ngampel Denta. Warganya sangat ulet dan penuh keberanian bertahan.
Baca juga:Wisata Situ Gunung Sukabumi, Legenda Kerajaan Mataram hingga Ragam Destinasi Menarik
Untuk menaklukkan Surabaya, Sultan Agung yang memerintah Kerajaan Mataram pada 1613-1645 ini memulai dengan menaklukan daerah-daerah disekelilingnya. Hal itu dilakukan, karena menguasai dengan cara menyerbu tidak mungkin.
Dalam bukunya Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Hj De Graaf mengatakan, dibutuhkan blokade yang lama sekali untuk bisa menguasai negara yang rakyatnya terkenal gigih dalam berjuang itu.
"Kota tersebut menyerah bukan karena serbuan, tetapi karena keletihan. Pengepungan atas Surabaya tidak mungkin," tulis De Graaf, dikutip dari bukunya Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, halaman 94.
Surabaya terletak di sebuah pulau, diantara Kali Mas dan Kali Pegirian, dan sebagian lagi di sebelah baratnya. Keratonnya dilindungi oleh tembok-tembok tinggi, dan wilayah sekitarnya di kelilingi oleh rawa yang tidak sehat.
Baca:Kisah Kesaktian Eyang Bintulu Aji, Sang Pamomong Wahyu Keraton Mataram
Penguasaan terhadap Surabaya dimulai dengan melakukan pengepungan besar-besaran terhadap wilayah sekitarnya. Ini biasa dilakukan saat musim panen. Sedang saat musim hujan, pasukan Mataram kembali pulang.
Dengan cara ini, wilayah kekuasaan Surabaya semakin lama bertambah kecil, hingga tinggal kotanya saja. Puncak dari serangan itu adalah menutup saluran air yang menjadi permasalahan Surabaya hingga abad ke-19.
Dalam laporan yang disampaikan kepada Belanda, pada 27 Oktober 1625, diberitakan bahwa Surabaya menyerah kepada Mataram tanpa perlawanan, karena berkurangnya rakyat dan kelaparan. Surabaya pun jatuh ke tangan Mataram.
Di tengah ekspansi Surabaya, Pati bergejolak dan melakukan pemberontakan. Daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yang paling kuat, karena satu-satunya wilayah yang belum terkalahkan.
Baca:Raja Mangkunegaran Mangkat, Dimakamkan Hari Minggu dengan Adat Mataram
Akhir dari hubungan Mataram-Pati, adalah dengan meletusnya Perang Pati. Penyerangan Pati ke Jepara karena sebuah konflik. Namun, oleh Patih Endranata, Pati dilaporkan akan memberontak dari Mataram.
Akibatnya, Sultan Agung memutuskan untuk menyerbu Pati dari tiga penjuru, yaitu Timur, Selatan dan Barat. Ratusan ribu prajurit Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Sebagai Senapati, Mataram menunjuk Tumenggung Alap-Alap.
Pasukan dari arah Timur, yang dipimpin Adipati Martoloyo membawai pasukan Mancanegara, dan bermukim di Pekuwon Juwana bagian timur. Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin Pangeran Madura.
Pangeran Madura memegang prajurit di wilayah Kedu, Begalan dan Pamijen. Pasukan ini mendirikan tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu sebelah selatan Pati.
Baca:Trah Mataram Islam Kraton Kasunanan Gelar Malam Selikuran, Begini Suasananya
Sedang pasukan dari arah barat dipimpin oleh Bupati Sumedang yang membawahi pasukan khusus berkuda, pasukan ini mendirikan barak di sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati.
Terakhir, keluarga raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan Mataram. Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit. Dalam pertempuran ini, Adipati Pragola II dibantu oleh enam tumenggung.
Keenam tumenggung tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, Tumenggung Sindurejo, serta seluruh rakyat Pati.
Pada hari Jumat wage, tanggal 4 Oktober 1627 M, Adipati Pragola II tewas tertusuk tombak Kyai Baru milik Sultan Agung yang diserahkan pada Lurah Kapedak, Naya Derma. Sang adipati meninggal dan dikebumikan di Sendang Sani.
Baca:Kisah Kali Gowang, Ki Ageng Giring Menahan Diri Tak Dapat Wahyu Keraton Mataram
Setelah wafatnya Adipati Pragola II, Sultan Agung menemui adiknya, Ratu Mas Sekar, istri dari adipati. Sultan Agung menanyakan alasan pemberontakan Pati terhadap Mataram. Ratu Mas Sekar pun menjawab apa adanya.
Dia mengatakan, bahwa semua berita yang didengar oleh sang Sultan adalah berita yang dipalsukan oleh Patih Mataram Endranata. Kaget dengan berita itu, akhirnya Patih Endranata ditangkap dan dieksekusi mati.
Sumber tulisan:
HJ De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Grafiti, Cetakan Kedua, 1990.
SM Said, Sunu Hastoro, Kesaktian Sultan Agung, Mampu Kendalikan Makhluk Gaib Jadi Abdi Dalem
Doddy Handoko, Kisah Sultan Agung Taklukkan Pati, Adipati Pragola II Tewas Ditusuk Tombak Pusaka
(hsk)