Bukti Baru Akan Diberikan Jika Polisi Buka Kasus Dugaan Pemerkosaan di Lutim

Rabu, 13 Oktober 2021 - 10:56 WIB
loading...
Bukti Baru Akan Diberikan...
Konferensi Pers Virtual Koalisi Bantuan Hukum untuk tiga anak korban kekerasan seksual di Luwu Timur, Selasa (12/10/2021). Foto: Faisal Mustafa
A A A
MAKASSAR - Koalisi Bantuan Hukum untuk tiga anak yang menjadi korban kekerasan seksual di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), menyatakan akan memberikan bukti-bukti atau petunjuk terkait kasus tersebut ketika polisi mulai membuka lagi penyelidikan.

"Karena tentunya bukti itu baru bisa diberikan dalam proses hukum, maka dari itu seharusnya proses penyelidikan itu dibuka dulu, kemudian mencari bukti-bukti baru," kata Direktur Lembaga Bantun Hukum (LBH) Makassar , Mohammad Haedir pada konferensi pers virtual, Selasa (12/10/2021).

Menurut Haedir, informasi dan dokumen yang didapatkan di luar dari proses hukum tidak bisa disebut sebagai bukti. Semuanya harus melalui mekanisme proses hukum. "Itu hal yang penting dicatat kepolisian. Buka dulu perkaranya," tegasnya.

Dia menyatakan pihaknya bersedia memberikan bukti-bukti kepada polisi agar bisa dijadikan rujukan untuk mengusut kembali kasus tersebut. Selain itu, pendamping hukum juga akan memberikan petunjuk-petunjuk terkait bukti-bukti apa saja yang penting didapatkan polisi.



"Karena ada bukti-bukti yang memang hanya polisi yang bisa dapat, misalnya rekam medik. Tapi tentunya harus dalam proses hukum dulu. Karena kami sendiri tidak bisa dapat, meskipun kami tahu itu ada. Tapi kami juga tidak bisa mengakses itu," tegas Haedir.

Sementara itu, Direktut LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Rosmiati Sain mendesak kepolisian dalam hal ini Mabes Polri untuk terus mengatensi kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan ayah kandung itu.

"Mabes Polri harus memeriksa, membentuk tim dan upaya supervisi lain pada kasus ini. Terkait bukti-bukti, ketika kasus ini dibuka. Bukti-bukti akan banyak menyusul, termasuk akan ada keterangan ahli yang melengkapi proses hukum tersebut," paparnya.

Di sisi lain, kuasa hukum korban, Rezky Pratiwi menilai kedatangan polisi berulang kali ke pihak korban dianggap membuat korban terintimidasi. Terlebih kedatangan pihak Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur tidak memberitahu ibu korban maupun timnya.



Rezky mencatat kedatangan dimulai sejak 7 Oktober 2021, siang hari. Petugas dari Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur mencoba menemui para anak korban dengan alasan mengecek kondisi para anak. "Tapi upaya itu dihalangi oleh pihak keluarga korban," tuturnya.

Tapi, mereka kemudian datang kembali besoknya pada malam hari. Resky menjelaskan para polisi datang dengan seragam lengkap menemui RA, Ibu korban. "Pada saat itu Ibu korban tidak ditemani kuasa hukum diminta bicara dan direkam keterangannya untuk menjelaskan ke media supaya tidak ada kesimpangsiuran berita," paparnya.

Kedatangan itu, kemudian diikuti dengan beredarnya dokumentasi. Beredar pula informasi bahwa, ibu korban berjanji akan membawa bukti tambahan dalam kasus ini. Tak sampai disitu, 9 Oktober, kepolisian juga datang ke rumah kerabat Ibu korban. "Untuk membahas soal ramainya pemberitaan kepada keluarga besar korban," ucap Rezky.



Tepat pada 10 Oktober, sekitar pukul 10.00 WITA, 3 orang petugas dari P2TP2A Lutim, kembali mendatangi pihak korban dengan alasan untuk mengambil data. Namun, Ibu korban menolak dan menyuruh mereka pulang. "Ibu korban sempat menegur salah satu dari orang yang datang karena mengambil gambar/video ibu korban secara diam-diam," jelas Rezky.

Koalisi menyayangkan, tindakan institusi dan instansi pemerintah yang mendatangi pihak korban. Pendamping menganggap, mereka menyalahi prinsip perlindungan terhadap anak korban. "Tindakan tersebut menunjukkan kembali Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur, tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus anak," tegas Rezky.

Dia menegaskan polisi dan petugas pemerintah, seharusnya memahami bahwa kedatangan mereka mempengaruhi kondisi psikis korban. Belum lagi, petugas juga bahkan mendokumentasi kedatangan dan mengungkap identitas anak-anak korban kejahatan seksual.

"Dan ini menyalahi aturan dalam Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Padahal jelas identitas anak korban kejahatan tidak boleh diungkap sebagaimana dalam Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak," tutup Resky.

(agn)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2705 seconds (0.1#10.140)