Kisah Sanjoto, Kapten Polisi Militer Pemburu Gembong PKI DN Aidit di Semarang
loading...
A
A
A
SEMARANG - Sanjoto (91), pensiunan Kapten Polisi Militer masih ingat saat ditugasi Pangdam Diponegoro memburu gembong Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit yang melarikan diri ke Semarang, Jawa Tengah.
Dengan detail, kakek yang masih terlihat gagah itu menceritakan pengalamannya mencari Aidit pasca meletusnya Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan sebutan G30S/PKI.
Saat itu, Kapten (Purn) CPM Sanjoto masih berpangkat Peltu. Seminggu setelah peristiwa G 30 S/PKI, Peltu Sanjoto mendapat pemberitahuan dari pusat bahwa yang mengendalikan G30S itu adalah PKI.
“Atas perintah panglima (Kodam IV/Diponegoro saat itu) sama komandan saya (Kolonel Sumaedi) diperintahkan regu saya dan pimpinan saya mampir ke Kodim Semarang. Namun saat itu Komandan Kodim yang baru tak ada, yang ada kepala stafnya namanya Mayor Riyadi,” kata veteran perang kemerdekaan ini mengenang peristiwa menggegerkan tersebut.
Rumah yang pernah disinggahi gembok PKI, DN Aidit dan gerombolannya di Jalan Belimbing Raya No 34 Peterongan, Semarang setelah direnovasi. Foto/Ist
“Loh ada apa pak, saya itu diperintahkan sama komandan saya mencari rumah di Peterongan yang digunakan transit DN Aidit cs dari Jakarta. Wah kebetulan itu depan rumah saya banyak kendaraan. Saya lari ke sini sama pak Wiradi (almarhum) di situ bendera-bendera PKI itu banyak. Dari sejumlah tetangga bilang kalau 2 jam lalu sudah berangkat (melarikan diri). Waduh ketinggalan,” ungkap Sanjoto yang saat itu sebagai anggota Intel Pomdam.
Ketika DN Aidit singgah di rumah Jalan Belimbing, dia telah mempersenjatai diri menjaga segala kemungkinan jika ada perlawanan dari komplotan PKI.
“Waktu Aidit transit, saya dengan senjata lengkap, bawa 2 senjata salah satunya pistol. Saat perburuan waktu itu, saya bersama dengan 2 anggota kodim dan 3 anggota CPM,” ujarnya.
Dia mengatakan, ketika itu dirinya secara kebetulan telah membaca keadaan di dalam ruangan. Ternyata rombongan DNA (DN Aidit) pergi ke timur (Solo).
“Lantas saya telepon sama komandan, saya laporan bahwa dua jam yang lalu sudah tak ada, lari ke timur. Di Solo komandan saya telepon Dandenpom Solo dijawab sudah diberondong (tertangkap di Solo),” ungkap kakek yang lahir 17 November 1930 ini.
Pernah Ikut BKR
Sanjoto pun mengisahkan perjalanannya hingga jadi perwira Polisi Militer. Setelah Kemerdekan dirinya masuk dalam barisan Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal TNI. Dia mendapat pangkat Letnan Muda, meski tak pernah menyandang pangkatnya di pundak maupun lengan bajunya.
Bertugas sebagai pasukan pengawal, Sanjoto pernah mendapatkan perintah mengawal dan menyeberangkan Panglima Besar Jenderal Soedirman saat bergerilya di wilayah Wonogiri hingga masuk Jawa Timur.
Gerilya dengan keluar-masuk hutan dilakukan bertahun-tahun saat pendudukan Belanda. Dia memimpin pasukan hingga pernah melakukan peledakan bom yang di jalan yang dilintasi konvoi panser Belanda.
Sanjoto kemudian masuk dalam barisan Corps Polisi Militer dengan pangkat Sersan Satu. “Berulang kali saya juga melakukan pengawalan sampai pada Jenderal Ahmad Yani. Saat membentuk Batalyon Banteng Raiders di Bulakamba Tegal pun saya juga ikut terlibat pengawalan. Sampai kedatangan Bung Karno saya juga yang mengawalnya,” ceritanya.
Sementara itu, terkait kondisi rumah saat itu, ungkap Sanjoto, memang rusak parah. Di dinding terdapat peta yang ditujukan bagi pengikut petinggi PKI DN Aidit untuk kabur.
"Setelah itu saya kan tinggal di hotel. Karena saya perwira, jadi tinggal di hotel. Komandan saya kemudian memberikan rumah itu kepada saya. Rumahnya rusak parah, kemudian saya perbaiki dan tempati sejak tahun 1969," ujarnya.
Namun bangunan rumah yang bertembok bertahun-tahun sejak ditempati masih tampak sering bocor saat hujan datang. Beberapa bagian atap juga sudah ambrol dan temboknya retak.
Kini, rumah yang dia tempati telah direnovasi. Pembongkaran dilakukan pada Senin (21/9/2020) oleh pihak REI Komisariat Semarang dan Solo bersama Denpom IV/5 Semarang.
Sebelum direnovasi, Sanjoto sempat dikunjungi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat gowes ke daerah Peterongan Semarang Selatan. Saat bertandang ke rumah mantan pengawal dan pengaman rute gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman saat di Wonogiri 1948, Ganjar merasa prihatin menyaksikan rumah Sanjoto yang sudah tak layak huni.
Ganjar yang datang bersama Dandenpom IV/5 Semarang Mayor CPM Okto Femula, mengutarakan ingin merehab rumahnya yang rusak parah. Gubernur menunjuk Dandenpom IV/5 Semarang untuk mengatur proses rehab atau bedah rumah dan akhirnya menggandeng REI Komisariat Semarang dan Solo untuk menangani.
“Kami langsung bertindak cepat dengan menggandeng REI Semarang dan Solo. Kebetulan mereka adalah mitra kami yang selalu memberi support untuk rehab rumah veteran maupun asrama prajurit. Dibantu dengan CSR mereka lah kita akan bisa mewujudkan harapan Pak Sanjoto tinggal di rumah yang layak,” ujar Mayor CPM Octo Femula.
Dengan detail, kakek yang masih terlihat gagah itu menceritakan pengalamannya mencari Aidit pasca meletusnya Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan sebutan G30S/PKI.
Saat itu, Kapten (Purn) CPM Sanjoto masih berpangkat Peltu. Seminggu setelah peristiwa G 30 S/PKI, Peltu Sanjoto mendapat pemberitahuan dari pusat bahwa yang mengendalikan G30S itu adalah PKI.
“Atas perintah panglima (Kodam IV/Diponegoro saat itu) sama komandan saya (Kolonel Sumaedi) diperintahkan regu saya dan pimpinan saya mampir ke Kodim Semarang. Namun saat itu Komandan Kodim yang baru tak ada, yang ada kepala stafnya namanya Mayor Riyadi,” kata veteran perang kemerdekaan ini mengenang peristiwa menggegerkan tersebut.
Rumah yang pernah disinggahi gembok PKI, DN Aidit dan gerombolannya di Jalan Belimbing Raya No 34 Peterongan, Semarang setelah direnovasi. Foto/Ist
“Loh ada apa pak, saya itu diperintahkan sama komandan saya mencari rumah di Peterongan yang digunakan transit DN Aidit cs dari Jakarta. Wah kebetulan itu depan rumah saya banyak kendaraan. Saya lari ke sini sama pak Wiradi (almarhum) di situ bendera-bendera PKI itu banyak. Dari sejumlah tetangga bilang kalau 2 jam lalu sudah berangkat (melarikan diri). Waduh ketinggalan,” ungkap Sanjoto yang saat itu sebagai anggota Intel Pomdam.
Ketika DN Aidit singgah di rumah Jalan Belimbing, dia telah mempersenjatai diri menjaga segala kemungkinan jika ada perlawanan dari komplotan PKI.
“Waktu Aidit transit, saya dengan senjata lengkap, bawa 2 senjata salah satunya pistol. Saat perburuan waktu itu, saya bersama dengan 2 anggota kodim dan 3 anggota CPM,” ujarnya.
Dia mengatakan, ketika itu dirinya secara kebetulan telah membaca keadaan di dalam ruangan. Ternyata rombongan DNA (DN Aidit) pergi ke timur (Solo).
“Lantas saya telepon sama komandan, saya laporan bahwa dua jam yang lalu sudah tak ada, lari ke timur. Di Solo komandan saya telepon Dandenpom Solo dijawab sudah diberondong (tertangkap di Solo),” ungkap kakek yang lahir 17 November 1930 ini.
Pernah Ikut BKR
Sanjoto pun mengisahkan perjalanannya hingga jadi perwira Polisi Militer. Setelah Kemerdekan dirinya masuk dalam barisan Badan Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal TNI. Dia mendapat pangkat Letnan Muda, meski tak pernah menyandang pangkatnya di pundak maupun lengan bajunya.
Bertugas sebagai pasukan pengawal, Sanjoto pernah mendapatkan perintah mengawal dan menyeberangkan Panglima Besar Jenderal Soedirman saat bergerilya di wilayah Wonogiri hingga masuk Jawa Timur.
Gerilya dengan keluar-masuk hutan dilakukan bertahun-tahun saat pendudukan Belanda. Dia memimpin pasukan hingga pernah melakukan peledakan bom yang di jalan yang dilintasi konvoi panser Belanda.
Sanjoto kemudian masuk dalam barisan Corps Polisi Militer dengan pangkat Sersan Satu. “Berulang kali saya juga melakukan pengawalan sampai pada Jenderal Ahmad Yani. Saat membentuk Batalyon Banteng Raiders di Bulakamba Tegal pun saya juga ikut terlibat pengawalan. Sampai kedatangan Bung Karno saya juga yang mengawalnya,” ceritanya.
Sementara itu, terkait kondisi rumah saat itu, ungkap Sanjoto, memang rusak parah. Di dinding terdapat peta yang ditujukan bagi pengikut petinggi PKI DN Aidit untuk kabur.
"Setelah itu saya kan tinggal di hotel. Karena saya perwira, jadi tinggal di hotel. Komandan saya kemudian memberikan rumah itu kepada saya. Rumahnya rusak parah, kemudian saya perbaiki dan tempati sejak tahun 1969," ujarnya.
Namun bangunan rumah yang bertembok bertahun-tahun sejak ditempati masih tampak sering bocor saat hujan datang. Beberapa bagian atap juga sudah ambrol dan temboknya retak.
Kini, rumah yang dia tempati telah direnovasi. Pembongkaran dilakukan pada Senin (21/9/2020) oleh pihak REI Komisariat Semarang dan Solo bersama Denpom IV/5 Semarang.
Sebelum direnovasi, Sanjoto sempat dikunjungi Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat gowes ke daerah Peterongan Semarang Selatan. Saat bertandang ke rumah mantan pengawal dan pengaman rute gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman saat di Wonogiri 1948, Ganjar merasa prihatin menyaksikan rumah Sanjoto yang sudah tak layak huni.
Ganjar yang datang bersama Dandenpom IV/5 Semarang Mayor CPM Okto Femula, mengutarakan ingin merehab rumahnya yang rusak parah. Gubernur menunjuk Dandenpom IV/5 Semarang untuk mengatur proses rehab atau bedah rumah dan akhirnya menggandeng REI Komisariat Semarang dan Solo untuk menangani.
“Kami langsung bertindak cepat dengan menggandeng REI Semarang dan Solo. Kebetulan mereka adalah mitra kami yang selalu memberi support untuk rehab rumah veteran maupun asrama prajurit. Dibantu dengan CSR mereka lah kita akan bisa mewujudkan harapan Pak Sanjoto tinggal di rumah yang layak,” ujar Mayor CPM Octo Femula.
(shf)