Terungkap, Pengadaan Mesin PCR RSUD Blitar Rp2,3 Miliar Tak Melalui Lelang
loading...
A
A
A
BLITAR - Pengadaan mesin PCR RSUD Srengat Kabupaten Blitar yang ditegur Menteri Kesehatan karena dinilai mahal, ternyata tidak melalui proses tender lelang. Mesin Cobas Z 480 merek Roche buatan Jerman seharga Rp2,3 miliar itu, dibeli melalui proses penunjukkan langsung (PL).
Baca juga: Pengadaan Mesin PCR Ditegur Menkes, Kasus Meninggal dan Positif di Blitar Meningkat
Dalam rapat kerja Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar Jumat (4/6/2021), alasan PL tersebut dicecarkan kepada Direktur RSUD Srengat dr Pantjarara Budiresmi. "Monggo dijelaskan (alasan PL)," ujar Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar, Sugeng Suroso di Gedung DPRD Jumat (4/6/2021).
Baca juga: Blitar Gempar, Hendak Mandi Warga Temukan Bayi Masih Bertali Pusar
Setelah Sekretaris Komisi IV Medi Wibawa melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Srengat Kamis (3/6) sore, legislatif membawa persoalan mesin PCR ke rapat kerja DPRD. Polemik soal harga dan penggunaan mesin muncul setelah Wakil Bupati Blitar Rachmat Santoso ditegur langsung Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Pengadaan mesin PCR berlangsung di era Bupati Blitar, Rijanto Oktober 2020. Mesin yang ada dinilai Menkes kemahalan. Juga tidak suport dengan reagen bantuan pemerintah. Karenanya digolongkan mesin PCR yang tidak direkomendasikan.
Menanggapi hal itu Direktur RSUD Srengat, dr Pantjarara Budiresmi berdalih keputusan membeli mesin PCR melalui PL karena kondisi mendesak memenuhi kebutuhan Test Swab PCR.
Mengenai PL, yakni tanpa tender lelang yang pembiayaannya bersumber dari anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT), Pantjarara mengatakan sebelumnya sudah berkoordinasi dengan Dinkes, Inspektorat dan BPKAD. Langkah yang diambil agar tidak dianggap menyalahi aturan. Pengadaan tersebut juga sudah diaudit BPK.
"Juga ada aturan yang membolehkan pengadaan barang dan jasa terkait kebutuhan penanganan COVID-19 melalui PL," terang Pantjarara.
Soal tudingan mesin PCR Roche yang dibeli kelewat mahal, Pantjarara menyangkal. Ia menyebut mesin kategori medium. Tidak terlalu mahal dan juga terlalu murah, serta sesuai dengan alokasi anggaran. Harga satu paket mesin yang terdiri dari tiga unit Rp2,3 miliar.
Sementara pagu anggaran Rp 2,7 miliar. Selain kapasitas yang relatif besar, kata Pantjarara mesin juga memiliki kelebihan multi fungsi, yakni bisa dipakai untuk swab test penderita HIV/AIDS dan hepatitis.
"Mesin ini termasuk middle atau sedang. Tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah," kata Pantjarara.
Dalam raker legislatif, Sekertaris Komisi IV Medi Wibawa juga mencecar pertanyaan soal pembelian 5.000 reagen PCR senilai Rp1,5 miliar. Bandrol sekali swab test di RSUD Srengat Rp300 ribu. Sementara sejak Oktober 2020, mesin PCR masih melakukan 3.950 swab test. Antara pendapatan dan anggaran yang dikeluarkan, apakah sebanding.
Pantjarara mengatakan, pembelian 5.000 reagen dilakukan bertahap. Tahap awal 1.500 reagen dan 3.500 reagen selebihnya melihat situasi perkembangan COVID-19 di Kabupaten Blitar.
"Soal reagen juga tidak harus merk yang sama dengan mesin. Bisa open chanel atau merk lain sesuai hasil pertemuan dengan pihak penyedia barang. Sementara memakai reagen merk yang sama dengan mesin agar garansi tidak hangus," ujar Pantjarara.
Baca juga: Pengadaan Mesin PCR Ditegur Menkes, Kasus Meninggal dan Positif di Blitar Meningkat
Dalam rapat kerja Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar Jumat (4/6/2021), alasan PL tersebut dicecarkan kepada Direktur RSUD Srengat dr Pantjarara Budiresmi. "Monggo dijelaskan (alasan PL)," ujar Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Blitar, Sugeng Suroso di Gedung DPRD Jumat (4/6/2021).
Baca juga: Blitar Gempar, Hendak Mandi Warga Temukan Bayi Masih Bertali Pusar
Setelah Sekretaris Komisi IV Medi Wibawa melakukan inspeksi mendadak ke RSUD Srengat Kamis (3/6) sore, legislatif membawa persoalan mesin PCR ke rapat kerja DPRD. Polemik soal harga dan penggunaan mesin muncul setelah Wakil Bupati Blitar Rachmat Santoso ditegur langsung Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Pengadaan mesin PCR berlangsung di era Bupati Blitar, Rijanto Oktober 2020. Mesin yang ada dinilai Menkes kemahalan. Juga tidak suport dengan reagen bantuan pemerintah. Karenanya digolongkan mesin PCR yang tidak direkomendasikan.
Menanggapi hal itu Direktur RSUD Srengat, dr Pantjarara Budiresmi berdalih keputusan membeli mesin PCR melalui PL karena kondisi mendesak memenuhi kebutuhan Test Swab PCR.
Mengenai PL, yakni tanpa tender lelang yang pembiayaannya bersumber dari anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT), Pantjarara mengatakan sebelumnya sudah berkoordinasi dengan Dinkes, Inspektorat dan BPKAD. Langkah yang diambil agar tidak dianggap menyalahi aturan. Pengadaan tersebut juga sudah diaudit BPK.
"Juga ada aturan yang membolehkan pengadaan barang dan jasa terkait kebutuhan penanganan COVID-19 melalui PL," terang Pantjarara.
Soal tudingan mesin PCR Roche yang dibeli kelewat mahal, Pantjarara menyangkal. Ia menyebut mesin kategori medium. Tidak terlalu mahal dan juga terlalu murah, serta sesuai dengan alokasi anggaran. Harga satu paket mesin yang terdiri dari tiga unit Rp2,3 miliar.
Sementara pagu anggaran Rp 2,7 miliar. Selain kapasitas yang relatif besar, kata Pantjarara mesin juga memiliki kelebihan multi fungsi, yakni bisa dipakai untuk swab test penderita HIV/AIDS dan hepatitis.
"Mesin ini termasuk middle atau sedang. Tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah," kata Pantjarara.
Dalam raker legislatif, Sekertaris Komisi IV Medi Wibawa juga mencecar pertanyaan soal pembelian 5.000 reagen PCR senilai Rp1,5 miliar. Bandrol sekali swab test di RSUD Srengat Rp300 ribu. Sementara sejak Oktober 2020, mesin PCR masih melakukan 3.950 swab test. Antara pendapatan dan anggaran yang dikeluarkan, apakah sebanding.
Pantjarara mengatakan, pembelian 5.000 reagen dilakukan bertahap. Tahap awal 1.500 reagen dan 3.500 reagen selebihnya melihat situasi perkembangan COVID-19 di Kabupaten Blitar.
"Soal reagen juga tidak harus merk yang sama dengan mesin. Bisa open chanel atau merk lain sesuai hasil pertemuan dengan pihak penyedia barang. Sementara memakai reagen merk yang sama dengan mesin agar garansi tidak hangus," ujar Pantjarara.
(shf)