Antisipasi Gempa-Tsunami di Pulau Nias, BNPB: Perlu Mitigasi Konkret
loading...
A
A
A
"Bahkan, kapal-kapal ikan di sungai digambarkan terbawa ke daratan sejauh 30-50 km dari tempat tambatan," imbuhnya.
Raditya melanjutkan, berselang 9 tahun, tepatnya 11 November 1852, gempa M6,8 memicu terjadinya tsunami. Wilayah pantai di Pulau Nias kembali terdampak gempa waktu itu. Selanjutnya pada 1861, gempa besar M8,5 yang terjadi di barat daya Sumatera memicu terjadinya tsunami.
"Beberapa wilayah terdampak tsunami, seperti Pulau Nias dan sekitarnya. Berdasarkan BMKG, Gunung Sitoli mengalami serangan tsunami parah. Dikutip dari katalog tsunami, awalnya air laut surut sejauh 32 meter, kemudian kembali dengan kecepatan yang sangat tinggi dan menghancurkan sejumlah desa di pantai. Peristiwa itu mengakibatkan banyak penduduk setempat meninggal dunia," bebernya.
Pada 1896, gempa bumi dengan M6,8 kembali mengguncang barat daya Sumatera, khususnya Pulau Nias. Digambarkan pada tahun itu, sekitar satu jam pascagempa, air bah datang dan 6 jam kemudian air bah terjadi lebih dahsyat menerjang Gunung Sitoli.
Menurut Raditya, sejarah berulangnya gempa mendorong kesiapsiagaan nyata dari setiap individu dalam lingkup keluarga. Kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dan tsunami perlu dipersiapkan sejak dini oleh keluarga.
"Keluarga harus memiliki rencana kesiapsiagaan karena setiap keluarga memiliki karakteristik berbeda, seperti konstruksi bangunan rumah, kapasitas keluarga dalam kebencanaan, keadaan fisik setiap anggota keluarga atau lokasi rumah, katanya.
Rencana darurat keluarga tersebut dapat disusun dengan panduan orang tua atau orang dewasa di dalam keluarga. Berbagai informasi menjadi diskusi dan panduan bagi setiap anggota keluarga, misalnya potensi bahaya dan risiko yang ada di sekitar rumah, titik kumpul dan jalur evakuasi ke tempat yang lebih tinggi, penempatan perabot, hingga tas siaga bencana.
"Ingat, setiap keluarga memiliki tingkat bahaya dan risiko yang berbeda meskipun keluarga-keluarga dalam komunitas berada pada kawasan dengan potensi bahaya gempa dan tsunami dengan kategori sedang hingga tinggi," tandasnya.
Raditya melanjutkan, berselang 9 tahun, tepatnya 11 November 1852, gempa M6,8 memicu terjadinya tsunami. Wilayah pantai di Pulau Nias kembali terdampak gempa waktu itu. Selanjutnya pada 1861, gempa besar M8,5 yang terjadi di barat daya Sumatera memicu terjadinya tsunami.
"Beberapa wilayah terdampak tsunami, seperti Pulau Nias dan sekitarnya. Berdasarkan BMKG, Gunung Sitoli mengalami serangan tsunami parah. Dikutip dari katalog tsunami, awalnya air laut surut sejauh 32 meter, kemudian kembali dengan kecepatan yang sangat tinggi dan menghancurkan sejumlah desa di pantai. Peristiwa itu mengakibatkan banyak penduduk setempat meninggal dunia," bebernya.
Pada 1896, gempa bumi dengan M6,8 kembali mengguncang barat daya Sumatera, khususnya Pulau Nias. Digambarkan pada tahun itu, sekitar satu jam pascagempa, air bah datang dan 6 jam kemudian air bah terjadi lebih dahsyat menerjang Gunung Sitoli.
Menurut Raditya, sejarah berulangnya gempa mendorong kesiapsiagaan nyata dari setiap individu dalam lingkup keluarga. Kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dan tsunami perlu dipersiapkan sejak dini oleh keluarga.
"Keluarga harus memiliki rencana kesiapsiagaan karena setiap keluarga memiliki karakteristik berbeda, seperti konstruksi bangunan rumah, kapasitas keluarga dalam kebencanaan, keadaan fisik setiap anggota keluarga atau lokasi rumah, katanya.
Rencana darurat keluarga tersebut dapat disusun dengan panduan orang tua atau orang dewasa di dalam keluarga. Berbagai informasi menjadi diskusi dan panduan bagi setiap anggota keluarga, misalnya potensi bahaya dan risiko yang ada di sekitar rumah, titik kumpul dan jalur evakuasi ke tempat yang lebih tinggi, penempatan perabot, hingga tas siaga bencana.
"Ingat, setiap keluarga memiliki tingkat bahaya dan risiko yang berbeda meskipun keluarga-keluarga dalam komunitas berada pada kawasan dengan potensi bahaya gempa dan tsunami dengan kategori sedang hingga tinggi," tandasnya.
(shf)