Fantastis, BPBD Jabar Ungkap Dana Penanganan Longsor Sumedang Tembus Rp158 Miliar
loading...
A
A
A
BANDUNG - Bencana tanah longsor di Kampung Bojong Kondang, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang meninggalkan duka mendalam. Selain mengakibatkan 40 nyawa melayang, sejumlah rumah dan infrastruktur hancur.
Bencana Akibat jebolnya benteng penahan tebing pada 9 Januari 2020 lalu itu juga meninggalkan pekerjaan rumah yang cukup besar. Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar menyebut, dibutuhkan dana hingga Rp158 miliar untuk penanganan pascabencana.
Berdasarkan perhitungan BPBD Jabar tersebut, dana sebesar itu dibutuhkan untuk penanganan relokasi rumah warga, perbaikan infrastruktur, hingga pemulihan ekonomi dan sosial.
Kepala Pelaksana Harian BPBD Jabar, Dani Ramdan mengungkapkan, bencana tanah longsor tersebut mengakibatkan 26 unit rumah rusak berat, 3 unit rumah rusak sedang, 103 unit rumah terancam rusak dan 1 masjid rusak sedang.
"Kondisi saat ini, warga masih banyak yang mengungsi. Ada yang mandiri di keluarganya ada juga yang menempati pengungsian yang kami siapkan," ujar Dani, Kamis (4/2/2021).
Menurut Dani, para pengungsi kini tersebar di tiga titik pengungsian, yakni lapangan burung milik perumahan Satria Bumintara Gemilang (SBG) sebanyak 137 kepala keluarga (KK) atau 513 jiwa, SD Fatimah Az Zahra 41 KK atau 148 jiwa, dan rumah warga Bojongkondang dan SDB Cipareung 136 KK atau 465 jiwa.
"Total pengungsi di tiga titik pengungsian itu ada 314 KK atau 1.126 jiwa," sebutnya seraya meyakinkan bahwa seluruh pengungsi tidak terkendala logistik karena semua kebutuhan logistik terpenuhi.
Terkait dana yang dibutuhkan pascabencana, Dani merinci bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk membangun permukiman warga sebesar Rp79,9 miliar, infrastruktur Rp53,1 miliar, ekonomi produktif Rp8,55 miliar, sosial Rp2,9 miliar, dan lintas sektor Rp13,5 miliar. "Jadi total kebutuhan anggarannya Rp158,2 miliar," katanya.
Dani juga menerangkan, pihaknya memiliki dua skenario relokasi warga terdampak bencana sebanyak 131 KK. Skenario pertama, relokasi dilakukan di tanah kas desa Tegalmanggung. "Berdasarkan hasil kajian, untuk relokasi di daerah ini perlu pembebasan lahan. Waktu pembangunannya lama, tidak efektif dan efisien," ujarnya.
Terlebih, kata Dani, waktu pembangunan minimal 1 tahun. Selain itu, harus dibangun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) karena saat ini belum terbangun. "Kebutuhan pembiayaannya sekitar Rp57 miliar dan skenario ini kurang diminati," imbuh Dani.
Adapun skenario kedua, lanjut Dani, warga direlokasi ke Perumahan El Hago. Dari hasil kajian, relokasi ke lokasi ini tak perlu pembebasan lahan karena sudah siap bangun, cepat, efektif dan efisien. Bahkan, waktu yang dibutuhkan hanya dua bulan karena lokasi sudah siap ditempati warga.
"Ini kan komplek perumahan, jadi sudah terbangun. Relokasi ke perumahan ini diminati warga. Kebutuhan anggarannya sekitar Rp19,7 miliar," katanya.
Dani mengatakan, masyarakat rata-rata memilih direlokasi ke perumahan El Hago karena mayoritas warga terdampak bekerja di sektor industri di kawasan Rancaekek. Warga memilih lokasi tersebut karena berdekatan dengan tempat mereka bekerja. "Relokasi itu tak harus lahan kosong yang penting tingkat keterisiannya," katanya.
Dani meyakinkan, upaya relokasi tersebut telah didahului kajian yang komprehensif. Terlebih, pengajuan anggaran relokasi harus disertai rekomendasi dari perguruan tinggi dan lembaga geologi, seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Selain itu, aspek lahan dan perizinan menjadi syarat lainnya.
"Mitigasi harus dilakukan di daerah korban longsor tersebut dan pemukiman yang banyak terancam. Rp158 miliar itu kebutuhan secara umum, termasuk untuk early warning sistem dan mitigasi," paparnya.
Dani menambahkan, pemerintah daerah wajib memberikan rumah pengganti kepada seluruh korban yang direlokasi dengan nilai yang sama rata serta tidak melihat besar atau kecilnya rumah mereka sebelumnya.
Bencana Akibat jebolnya benteng penahan tebing pada 9 Januari 2020 lalu itu juga meninggalkan pekerjaan rumah yang cukup besar. Bahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jabar menyebut, dibutuhkan dana hingga Rp158 miliar untuk penanganan pascabencana.
Berdasarkan perhitungan BPBD Jabar tersebut, dana sebesar itu dibutuhkan untuk penanganan relokasi rumah warga, perbaikan infrastruktur, hingga pemulihan ekonomi dan sosial.
Kepala Pelaksana Harian BPBD Jabar, Dani Ramdan mengungkapkan, bencana tanah longsor tersebut mengakibatkan 26 unit rumah rusak berat, 3 unit rumah rusak sedang, 103 unit rumah terancam rusak dan 1 masjid rusak sedang.
"Kondisi saat ini, warga masih banyak yang mengungsi. Ada yang mandiri di keluarganya ada juga yang menempati pengungsian yang kami siapkan," ujar Dani, Kamis (4/2/2021).
Menurut Dani, para pengungsi kini tersebar di tiga titik pengungsian, yakni lapangan burung milik perumahan Satria Bumintara Gemilang (SBG) sebanyak 137 kepala keluarga (KK) atau 513 jiwa, SD Fatimah Az Zahra 41 KK atau 148 jiwa, dan rumah warga Bojongkondang dan SDB Cipareung 136 KK atau 465 jiwa.
"Total pengungsi di tiga titik pengungsian itu ada 314 KK atau 1.126 jiwa," sebutnya seraya meyakinkan bahwa seluruh pengungsi tidak terkendala logistik karena semua kebutuhan logistik terpenuhi.
Terkait dana yang dibutuhkan pascabencana, Dani merinci bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk membangun permukiman warga sebesar Rp79,9 miliar, infrastruktur Rp53,1 miliar, ekonomi produktif Rp8,55 miliar, sosial Rp2,9 miliar, dan lintas sektor Rp13,5 miliar. "Jadi total kebutuhan anggarannya Rp158,2 miliar," katanya.
Dani juga menerangkan, pihaknya memiliki dua skenario relokasi warga terdampak bencana sebanyak 131 KK. Skenario pertama, relokasi dilakukan di tanah kas desa Tegalmanggung. "Berdasarkan hasil kajian, untuk relokasi di daerah ini perlu pembebasan lahan. Waktu pembangunannya lama, tidak efektif dan efisien," ujarnya.
Terlebih, kata Dani, waktu pembangunan minimal 1 tahun. Selain itu, harus dibangun fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) karena saat ini belum terbangun. "Kebutuhan pembiayaannya sekitar Rp57 miliar dan skenario ini kurang diminati," imbuh Dani.
Adapun skenario kedua, lanjut Dani, warga direlokasi ke Perumahan El Hago. Dari hasil kajian, relokasi ke lokasi ini tak perlu pembebasan lahan karena sudah siap bangun, cepat, efektif dan efisien. Bahkan, waktu yang dibutuhkan hanya dua bulan karena lokasi sudah siap ditempati warga.
"Ini kan komplek perumahan, jadi sudah terbangun. Relokasi ke perumahan ini diminati warga. Kebutuhan anggarannya sekitar Rp19,7 miliar," katanya.
Dani mengatakan, masyarakat rata-rata memilih direlokasi ke perumahan El Hago karena mayoritas warga terdampak bekerja di sektor industri di kawasan Rancaekek. Warga memilih lokasi tersebut karena berdekatan dengan tempat mereka bekerja. "Relokasi itu tak harus lahan kosong yang penting tingkat keterisiannya," katanya.
Dani meyakinkan, upaya relokasi tersebut telah didahului kajian yang komprehensif. Terlebih, pengajuan anggaran relokasi harus disertai rekomendasi dari perguruan tinggi dan lembaga geologi, seperti Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Selain itu, aspek lahan dan perizinan menjadi syarat lainnya.
"Mitigasi harus dilakukan di daerah korban longsor tersebut dan pemukiman yang banyak terancam. Rp158 miliar itu kebutuhan secara umum, termasuk untuk early warning sistem dan mitigasi," paparnya.
Dani menambahkan, pemerintah daerah wajib memberikan rumah pengganti kepada seluruh korban yang direlokasi dengan nilai yang sama rata serta tidak melihat besar atau kecilnya rumah mereka sebelumnya.
(shf)