Kisah Kesaktian Kiai Nawawi, Suwuk Kebal hingga Kerikil Granat
loading...
A
A
A
Peran KH Nawawi dalam perang mempertahankan kemerdekaan tak bisa diragukan lagi. Tak hanya dari balik meja, pejuang kemerdekaan kelahiran tahun 1886 itu juga turun ke medan pertempuran dan memimpin pasukan mengusir pasukan sekutu. Tak berlebihan, jika gelar syuhada kemerdekaan disematkan padanya.
Kiai Nawawi lahir dari keluarga sederhana di Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto . Sang ayah, Munadi dikenal sebagai tukang kayu. Sementara sang ibu, Siti Khalimah, merupakan ibu rumah tangga biasa yang taat pada agama. Tak heran, jika Nawawi kecil selalu diajarkan taat kepada ulama.
(Baca juga: Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore)
Meski dari keluarga sederhana, namun kiai yang memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi ini sempat mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School Partikelir (HISP). Lembaga pendidikan setara sekolah dasar di zaman penjajahan Belanda. Selanjutnya, Kiai Nawawi diantarkan sang ayah mondok di Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.
(Baca juga: Menelusuri Kisah Raja Nong Isa, Penguasa Pertama Pulau Batam)
Belasan tahun menempa ilmu dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, Nawawi muda lantas mengasah ilmu ke sejumlah kiai termasyhur di Jawa Timur. Diantaranya Kiai Sholeh di Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Kiai Zainuddin di Kabupaten Nganjuk, Kiai Khosin di Siwalan Panji, Kabupaten Sidoarjo, bahkan Kiai Kholil di Kademangan, Kabupaten Bangkalan.
"Beliau mondok sekitar 15 tahun. Selama menjadi santri, Kiai Nawawi dikenal paling rajin mengikuti pelajaran," tulis pemerhati sejarah Mojokerto, Abdullah Masrur dalam bukunya, 'Titik Akhir di Sumantoro-Jejak Langkah Perjuangan KH Nawawi', terbitan Maret 2012.
Pada tahun 1928, Kiai Nawawi dan teman-temannya mendirikan cabang Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) Mojokerto. Hanya berselang dua tahun pasca NU resmi didirikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, pada 31 Januari 1926. Ketika itu, Kiai Nawawi menjabat pengurus Syuriah. Kiai Nawawi juga rutin turun ke musala-musala untuk melakukan dakwah.
"Selain menyebarkan ajaran Islam, Kiai Nawawi juga mengajak masyarakat melawan penjajah. Mulai sejak penjajahan belanda hingga saat Jepang datang ke Indonesia, tahun 1943. Ajaran beliau cinta tanah air dan bangsa adalah bagian dari iman," tulis Masrur.
Tak hanya dalam dakwah, Kiai Nawawi juga turun langsung ke medan palagan dalam melawan penjajah. Kala itu, pada Oktober 1945, pasukan pejuang berhasil dipukul mundur pasukan sekutu dari Kota Pahlawan. Tetara gabungan Inggris, Gurkha dan Belanda, ingin kembali menguasai Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Wali Kota Surabaya Rajiman Nasution saat itu datang ke markas tentara Hizbullah yang selama ini membangun benteng di utara Alun-alun Kota Mojokerto. Kepada para kiai di Mojokerto, Rajiman Nasution meminta bantuan untuk menghadang pasukan sekutu yang hendak menguasai Sidoarjo dan Mojokerto.
Meski tak muda lagi, namun Kiai Nawawi menjadi orang pertama yang menyatakan kesiapannya turun ke medan pertempuran. Bersama KH Mansur, KH Abdul Jabar, KH Ridwan serta beberapa pasukan Hizbullah, pasukan Kiai Nawawi masuk ke Sidoarjo. Pasukan ini bergabung dengan pasukan kiai-kiai dari daerah lain di bawah pimpinan Kiai Hasan Bisri.
"Banyak pertempuran yang kami alami saat itu. Mulai dari pertempuran Surabaya, kemudian di wilayah Sepanjang, Kedurus, Kletek dan terakhir di Sukodono, Sidoarjo," tutur Sueb, salah seorang santri Kiai Nawawi yang saat itu turut serta ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Kiai Nawawi, kata Sueb, merupakan sosok pejuang sejati. Ia tak pernah merasa takut kala melakukan kontak senjata dengan pasukan Belanda dan Inggris. Seakan tak takut peluru, Kiai Nawawi selalu berada di baris terdepan saat pertempuran dasyat pecah. Sueb pun mengaku, Kiai Nawawi juga membekali para santrinya dengan benda-benda yang telah dibaluri doa.
"Ketika hendak berperang, saat itu, kami semua minta suwuk dari Kiai Nawawi. Saya diberikan kain udeng. Sebelumnya kain udeng itu sudah dirajah oleh beliau. Saya dan teman-teman seperjuangan, kalau tidak salah sekitar 17 orang, membawa bekal masing-masing dari beliau," imbuh Sueb.
Tak hanya kain udeng, dari cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, ada juga santri Kiai Nawawi yang dibekali tujuh butir batu kerikil. Kabarnya, butiran batu kecil itu bisa meledak layaknya granat tangan. Ada juga yang menyebut jika sorban Kiai Nawawi mampu menangkis peluru yang keluar dari moncong-moncong senjata tentara sekutu.
"Insya Allah semua itu benar. Beliau (Kiai Nawawi) memang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Bahkan tidak ada satupun santrinya yang takut saat kita berperang di berbagai medan pertempuran," jelas sembari mengingat peristiwa itu.
Kendati terkenal memiliki kesaktian yang luar biasa, akan tetapi Kiai Nawawi akhirnya gugur di dalam pertempuran di Dusun Sumantoro, Desa Plumbungan, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Kiai Nawawi wafat pada 22 Agustus tahun 1946 usai dihujam bayonet oleh puluhan tentara sekutu yang mengepungnya. Sejumlah pasukan Hizbullah yang datang memberikan bantuan, terlambat menyelamatkan nyawa Kiai Nawawi.
"Jenazah Kiai Nawawi diamankan pasukan Hizbullah menuju ke Stasiun Krian. Kemudian diangkut dengan kereta api ke Stasiun Mojokerto. Tentara sekutu yang membunuh Kiai Nawawi semuanya mati, dibunuh pasukan Hizbullah saat itu," terang Sueb.
Gugurnya Kiai Nawawi seketika menyebar ke seluruh pelosok Mojokerto. Ribuan orang mengantarkan jenazahnya menuju ke peristirahatan terakhir TPU Mangunrejo di Dusun Losari, Desa Sidoharjo, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Atas jasa besarnya, nama Kiai Nawawi diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kota Mojokerto, berdasarkan Keputusan DPRD Kota Mojokerto No 8/DPRD/67 tanggal 30 Maret 1967.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
Kiai Nawawi lahir dari keluarga sederhana di Dusun Lespadangan, Desa Terusan, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto . Sang ayah, Munadi dikenal sebagai tukang kayu. Sementara sang ibu, Siti Khalimah, merupakan ibu rumah tangga biasa yang taat pada agama. Tak heran, jika Nawawi kecil selalu diajarkan taat kepada ulama.
(Baca juga: Sultan Nuku, Keberanian dan Kekuatan Batin Mengusir Penjajah dari Tidore)
Meski dari keluarga sederhana, namun kiai yang memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi ini sempat mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School Partikelir (HISP). Lembaga pendidikan setara sekolah dasar di zaman penjajahan Belanda. Selanjutnya, Kiai Nawawi diantarkan sang ayah mondok di Pondok Pesantren Tebuireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.
(Baca juga: Menelusuri Kisah Raja Nong Isa, Penguasa Pertama Pulau Batam)
Belasan tahun menempa ilmu dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, Nawawi muda lantas mengasah ilmu ke sejumlah kiai termasyhur di Jawa Timur. Diantaranya Kiai Sholeh di Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Kiai Zainuddin di Kabupaten Nganjuk, Kiai Khosin di Siwalan Panji, Kabupaten Sidoarjo, bahkan Kiai Kholil di Kademangan, Kabupaten Bangkalan.
"Beliau mondok sekitar 15 tahun. Selama menjadi santri, Kiai Nawawi dikenal paling rajin mengikuti pelajaran," tulis pemerhati sejarah Mojokerto, Abdullah Masrur dalam bukunya, 'Titik Akhir di Sumantoro-Jejak Langkah Perjuangan KH Nawawi', terbitan Maret 2012.
Pada tahun 1928, Kiai Nawawi dan teman-temannya mendirikan cabang Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) Mojokerto. Hanya berselang dua tahun pasca NU resmi didirikan Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, pada 31 Januari 1926. Ketika itu, Kiai Nawawi menjabat pengurus Syuriah. Kiai Nawawi juga rutin turun ke musala-musala untuk melakukan dakwah.
"Selain menyebarkan ajaran Islam, Kiai Nawawi juga mengajak masyarakat melawan penjajah. Mulai sejak penjajahan belanda hingga saat Jepang datang ke Indonesia, tahun 1943. Ajaran beliau cinta tanah air dan bangsa adalah bagian dari iman," tulis Masrur.
Tak hanya dalam dakwah, Kiai Nawawi juga turun langsung ke medan palagan dalam melawan penjajah. Kala itu, pada Oktober 1945, pasukan pejuang berhasil dipukul mundur pasukan sekutu dari Kota Pahlawan. Tetara gabungan Inggris, Gurkha dan Belanda, ingin kembali menguasai Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Wali Kota Surabaya Rajiman Nasution saat itu datang ke markas tentara Hizbullah yang selama ini membangun benteng di utara Alun-alun Kota Mojokerto. Kepada para kiai di Mojokerto, Rajiman Nasution meminta bantuan untuk menghadang pasukan sekutu yang hendak menguasai Sidoarjo dan Mojokerto.
Meski tak muda lagi, namun Kiai Nawawi menjadi orang pertama yang menyatakan kesiapannya turun ke medan pertempuran. Bersama KH Mansur, KH Abdul Jabar, KH Ridwan serta beberapa pasukan Hizbullah, pasukan Kiai Nawawi masuk ke Sidoarjo. Pasukan ini bergabung dengan pasukan kiai-kiai dari daerah lain di bawah pimpinan Kiai Hasan Bisri.
"Banyak pertempuran yang kami alami saat itu. Mulai dari pertempuran Surabaya, kemudian di wilayah Sepanjang, Kedurus, Kletek dan terakhir di Sukodono, Sidoarjo," tutur Sueb, salah seorang santri Kiai Nawawi yang saat itu turut serta ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Kiai Nawawi, kata Sueb, merupakan sosok pejuang sejati. Ia tak pernah merasa takut kala melakukan kontak senjata dengan pasukan Belanda dan Inggris. Seakan tak takut peluru, Kiai Nawawi selalu berada di baris terdepan saat pertempuran dasyat pecah. Sueb pun mengaku, Kiai Nawawi juga membekali para santrinya dengan benda-benda yang telah dibaluri doa.
"Ketika hendak berperang, saat itu, kami semua minta suwuk dari Kiai Nawawi. Saya diberikan kain udeng. Sebelumnya kain udeng itu sudah dirajah oleh beliau. Saya dan teman-teman seperjuangan, kalau tidak salah sekitar 17 orang, membawa bekal masing-masing dari beliau," imbuh Sueb.
Tak hanya kain udeng, dari cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, ada juga santri Kiai Nawawi yang dibekali tujuh butir batu kerikil. Kabarnya, butiran batu kecil itu bisa meledak layaknya granat tangan. Ada juga yang menyebut jika sorban Kiai Nawawi mampu menangkis peluru yang keluar dari moncong-moncong senjata tentara sekutu.
"Insya Allah semua itu benar. Beliau (Kiai Nawawi) memang memiliki ilmu yang cukup tinggi. Bahkan tidak ada satupun santrinya yang takut saat kita berperang di berbagai medan pertempuran," jelas sembari mengingat peristiwa itu.
Kendati terkenal memiliki kesaktian yang luar biasa, akan tetapi Kiai Nawawi akhirnya gugur di dalam pertempuran di Dusun Sumantoro, Desa Plumbungan, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo. Kiai Nawawi wafat pada 22 Agustus tahun 1946 usai dihujam bayonet oleh puluhan tentara sekutu yang mengepungnya. Sejumlah pasukan Hizbullah yang datang memberikan bantuan, terlambat menyelamatkan nyawa Kiai Nawawi.
"Jenazah Kiai Nawawi diamankan pasukan Hizbullah menuju ke Stasiun Krian. Kemudian diangkut dengan kereta api ke Stasiun Mojokerto. Tentara sekutu yang membunuh Kiai Nawawi semuanya mati, dibunuh pasukan Hizbullah saat itu," terang Sueb.
Gugurnya Kiai Nawawi seketika menyebar ke seluruh pelosok Mojokerto. Ribuan orang mengantarkan jenazahnya menuju ke peristirahatan terakhir TPU Mangunrejo di Dusun Losari, Desa Sidoharjo, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Atas jasa besarnya, nama Kiai Nawawi diabadikan menjadi salah satu nama jalan di Kota Mojokerto, berdasarkan Keputusan DPRD Kota Mojokerto No 8/DPRD/67 tanggal 30 Maret 1967.
Lihat Juga: Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
(shf)