6.000 Anak Terancam Meninggal Setiap Hari Karena Pandemi Corona
loading...
A
A
A
NEW YORK - Sebanyak 6.000 anak di seluruh dunia dapat meninggal setiap hari sebagai dampak dari virus Corona terhadap layanan kesehatan. Hal itu diungkapkan oleh badan PBB yang menaruh perhatian pada anak-anak, UNICEF.
Menurut analisis oleh Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, diterbitkan dalam Lancet Global Health Journal, gangguan global terhadap kesehatan ibu dan anak yang penting seperti keluarga berencana, persalinan dan perawatan nifas, persalinan anak dan vaksinasi dapat menyebabkan 1,2 juta kematian anak-anak di bawah lima tahun hanya dalam enam bulan.
UNICEF mengatakan angka yang diproyeksikan ini merupakan tambahan dari 2,5 juta anak-anak yang meninggal secara global setiap enam bulan sebelum ulang tahun kelima mereka, dan mengancam akan menjungkir balikan kemajuan dalam mengakhiri kematian anak yang dapat dicegah hampir satu dekade terakhir.
"Pandemi ini memiliki konsekuensi yang luas bagi kita semua, tetapi tidak diragukan lagi ini adalah krisis global terbesar dan paling mendesak yang dihadapi anak-anak sejak perang dunia kedua," kata Direktur Eksekutif Unicef Inggris, Sacha Deshmukh.
"Kehidupan anak-anak menjadi kacau di seluruh dunia - sistem pendukung mereka direnggut, perbatasan mereka ditutup, pendidikan mereka hilang, pasokan makanan mereka terputus. Bahkan di Inggris, anak-anak menghadapi ancaman wabah campak dan penutupan sekolah menempatkan anak-anak yang rentan pada peningkatan risiko,” imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (13/05/2020).
Ia mengatakan penelitian ini menggarisbawahi betapa merusaknya rantai pasokan medis virus Corona di negara-negara dengan sistem kesehatan yang sudah lemah. Kunjungan ke pusat kesehatan menurun karena penguncian, jam malam dan gangguan transportasi, serta karena masyarakat tetap takut akan infeksi.
Sementara itu perwakilah dari UNICEF Yordania, Tanya Chapuisat, mengatakan perbatasan yang tertutup juga mencegah orang mengakses bantuan medis yang sangat dibutuhkan.
“Diperkirakan 10.000 warga Suriah (di sepanjang perbatasan Suriah-Yordania di dekat Rukban) tidak dapat menerima layanan medis apa pun (di Yordania) sejak penguncian dimulai enam minggu lalu dan perbatasan ditutup," ujarnya.
“Anak-anak tidak mendapatkan vaksinasi mereka, dan wanita yang seharusnya menjalani operasi caesar tidak akan bisa melakukannya. Kami punya banyak malam tanpa tidur, tapi untungnya tidak ada yang meninggal," sambungnya.
Analisis Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health melihat tiga skenario model di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Hasilnya, para analis memperingatkan bahwa dalam skenario paling optimis, di mana layanan kesehatan berkurang sekitar 15%, akan ada peningkatan 9,8% dalam kematian balita, diperkirakan 1.400 sehari - dan lonjakan 8,3% dalam kematian ibu.
Dalam skenario terburuk, di mana layanan kesehatan berkurang sekitar 45%, mungkin ada peningkatan 44,7% kematian balita dan peningkatan 38,6% kematian ibu per bulan. "Perkiraan kami didasarkan pada asumsi sementara dan mewakili berbagai hasil," tulis penulis laporan.
“Meskipun demikian, mereka menunjukkan bahwa, jika perawatan kesehatan rutin terganggu dan akses ke makanan berkurang (sebagai akibat guncangan yang tidak terhindarkan, runtuhnya sistem kesehatan, atau pilihan yang disengaja dalam menanggapi pandemi), peningkatan kematian anak dan ibu akan meningkat," sambung laporan itu.
10 negara yang diproyeksikan memiliki jumlah tambahan kematian anak terbesar dalam skenario terburuk adalah Bangladesh, Brasil, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Nigeria, Pakistan, Tanzania, dan Uganda.
Unicef telah meluncurkan seruan terbesar untuk menjangkau mereka yang terkena dampak virus, dan bertujuan untuk mendukung upaya yang berkelanjutan dengan memasok peralatan medis, melakukan kampanye pencegahan dan mendukung layanan kesehatan, pendidikan dan sosial untuk anak-anak.
Menurut analisis oleh Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, diterbitkan dalam Lancet Global Health Journal, gangguan global terhadap kesehatan ibu dan anak yang penting seperti keluarga berencana, persalinan dan perawatan nifas, persalinan anak dan vaksinasi dapat menyebabkan 1,2 juta kematian anak-anak di bawah lima tahun hanya dalam enam bulan.
UNICEF mengatakan angka yang diproyeksikan ini merupakan tambahan dari 2,5 juta anak-anak yang meninggal secara global setiap enam bulan sebelum ulang tahun kelima mereka, dan mengancam akan menjungkir balikan kemajuan dalam mengakhiri kematian anak yang dapat dicegah hampir satu dekade terakhir.
"Pandemi ini memiliki konsekuensi yang luas bagi kita semua, tetapi tidak diragukan lagi ini adalah krisis global terbesar dan paling mendesak yang dihadapi anak-anak sejak perang dunia kedua," kata Direktur Eksekutif Unicef Inggris, Sacha Deshmukh.
"Kehidupan anak-anak menjadi kacau di seluruh dunia - sistem pendukung mereka direnggut, perbatasan mereka ditutup, pendidikan mereka hilang, pasokan makanan mereka terputus. Bahkan di Inggris, anak-anak menghadapi ancaman wabah campak dan penutupan sekolah menempatkan anak-anak yang rentan pada peningkatan risiko,” imbuhnya seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (13/05/2020).
Ia mengatakan penelitian ini menggarisbawahi betapa merusaknya rantai pasokan medis virus Corona di negara-negara dengan sistem kesehatan yang sudah lemah. Kunjungan ke pusat kesehatan menurun karena penguncian, jam malam dan gangguan transportasi, serta karena masyarakat tetap takut akan infeksi.
Sementara itu perwakilah dari UNICEF Yordania, Tanya Chapuisat, mengatakan perbatasan yang tertutup juga mencegah orang mengakses bantuan medis yang sangat dibutuhkan.
“Diperkirakan 10.000 warga Suriah (di sepanjang perbatasan Suriah-Yordania di dekat Rukban) tidak dapat menerima layanan medis apa pun (di Yordania) sejak penguncian dimulai enam minggu lalu dan perbatasan ditutup," ujarnya.
“Anak-anak tidak mendapatkan vaksinasi mereka, dan wanita yang seharusnya menjalani operasi caesar tidak akan bisa melakukannya. Kami punya banyak malam tanpa tidur, tapi untungnya tidak ada yang meninggal," sambungnya.
Analisis Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health melihat tiga skenario model di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Hasilnya, para analis memperingatkan bahwa dalam skenario paling optimis, di mana layanan kesehatan berkurang sekitar 15%, akan ada peningkatan 9,8% dalam kematian balita, diperkirakan 1.400 sehari - dan lonjakan 8,3% dalam kematian ibu.
Dalam skenario terburuk, di mana layanan kesehatan berkurang sekitar 45%, mungkin ada peningkatan 44,7% kematian balita dan peningkatan 38,6% kematian ibu per bulan. "Perkiraan kami didasarkan pada asumsi sementara dan mewakili berbagai hasil," tulis penulis laporan.
“Meskipun demikian, mereka menunjukkan bahwa, jika perawatan kesehatan rutin terganggu dan akses ke makanan berkurang (sebagai akibat guncangan yang tidak terhindarkan, runtuhnya sistem kesehatan, atau pilihan yang disengaja dalam menanggapi pandemi), peningkatan kematian anak dan ibu akan meningkat," sambung laporan itu.
10 negara yang diproyeksikan memiliki jumlah tambahan kematian anak terbesar dalam skenario terburuk adalah Bangladesh, Brasil, Republik Demokratik Kongo, Ethiopia, India, Indonesia, Nigeria, Pakistan, Tanzania, dan Uganda.
Unicef telah meluncurkan seruan terbesar untuk menjangkau mereka yang terkena dampak virus, dan bertujuan untuk mendukung upaya yang berkelanjutan dengan memasok peralatan medis, melakukan kampanye pencegahan dan mendukung layanan kesehatan, pendidikan dan sosial untuk anak-anak.
(don)