2020, Tercatat 2.738 Perempuan di Jawa Barat Jadi Korban Kekerasan
loading...
A
A
A
BANDUNG - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, selama 2020, sebanyak 2.738 perempuan di Jawa Barat jadi korban kekerasan.
Mereka menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran ekonomi, seksual berbasis online, dan trafficking atau pekerja migran bermasalah.
Provinsi Jawa Barat menjadi tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Di tempat kedua, Provinsi Jawa Tengah dengan 2.525 kasus, posisi ketiga DKI Jakarta 2.222, keempat Jatim 1.121, dan kelima DIY 868.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan, Komnas Perempuan mencacat, kekerasan terhadap perempuan dari tahun ketahun meningkat.
Data secara nasional pada 2015 terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk. Kemudian pada 2016 turun menjadi 259.150.
"Pada 2017 kembali naik jadi 348.446 kasus, 2018 melonjak 406.178, dan 2019 naik lagi 431.471. Sedangkan data 2020 saat ini sedang dihimpun dari seluruh provinsi dan daerah di Indonesia," kata Maria Ulfah dalam diskusi virtual 'Dialog Komnas Perempuan dengan Lembaga Layanan dan Media Jawa Barat', Minggu (13/12/2020).
Selain Maria Ulfah Anshor, hadir pula dalam diskusi virtual itu, Komisioner Komnas Perempuan Setyawanti Mashudi dan beberapa aktivis perempuan lainnya.
Saat ini, ujar Maria Ulfah, Komnas Perempuan tengah melakukan kunjungan ke beberapa daerah dan kota besar untuk mengumpulkan data, sekaligus mengetahui kondisi dan gambaran kasus kekerasan terhadpa perempuan. Seperti ke Kota Bandung, Pontianak, dan Padang.
Maria Ulfah mengemukakan, berdasarkan pemetaan, terdapat lima bentuk kekerasan terhadap perempuan, yakni fisik, psikis, seksual, penelantaran ekonomi, seksual berbasis online, dan trafficking atau pemekerja migran yang mengalami kekerasan.
"Data yang disampaikan itu menjadi keprihatinan kita bersama, menandakan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih tinggi. Karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah dan masyarakat," ujar Maria Ulfa.
Maria menuturkan, Komnas Perempuan merekomendasikan, pertama segera memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk prolegnas prioritas 2021 sebagai aturan hukum bagi kasus kekerasan seksual termasuk yang berbasis online pada masa pandemi Covid-19.
Kedua, pemerintah baik pusat maupun daerah harus memastikan ketersediaan anggaran dan layanan untuk pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan semakin tinggi.
Ketiga, mendorong tanggung jawab negara untuk memastikan perlindungan bagi pendamping korban kekerasan agar tidak terpapar COVID-19.
Keempat, media ikut memberikan edukasi terhadap korban bagaimana mengakses layanan untuk korban selama masa pandemi serta ikut mengampanyekan RUU PKS segera disahkan menjadi undang-undang.
Dalam peringatan kampanye 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan pada 2020 ini, tutur Maria, Komnas Perempuan menyampaikan pesan nasional, āGerak Bersama: Jangan Tunda lagi, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksualā.
"Dengan hastag yang digunakan untuk mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah: #GerakBersama #SahkanRUUPKS #JanganTundaLagi," tutur Maria.
Sementara itu, Sri Mulyati, aktivis Yayasan Sapa dan Forum Pengada Layanan (FPL) Jawa Barat mengatakan, data di sejumlah lembaga penampingan korban kekerasan merupakan yang dilaporkan oleh korban atau pendampingnya.
"Kami yakin jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan," kata Sri dalam acara yang sama.
Untuk sementara itu, jumlah total kasus yang ditangani empat lembaga layanan selama Januari hingga November 2020 sebanyak 587 kasus kekerasan terhadap perempuan di enam kota dan kabupaten di Jawa Barat.
Perinciannya, Kota Bandung 110 kasus (22 kasus kekerasan fisik, 26 psikis, 24 seksual, 13 penelantaran ekonomi, seksual online 22, dan trafficking/pekerja migran 3).
Kemudian, Kabupaten Bandung 193 kasus (kekerasan fisik 51, 131 psikis, seksual 44, penelantaran ekonomi 41, 20 seksual berbasis online, dan trafficking/pekerja migran bermasalah 21 kasus)
Kabupaten Cirebon 179 kasus, dengan perincian 20 Kekerasan fisik, 90 psikis, 40 seksual, 29 penelataran ekonomi, seksual online 0 dan trafficking/pekerja migran 0.
(Baca juga: Bio Farma sebut Belum Ada Layanan Pre Order Vaksinasi COVID-19 Jalur Mandiri)
Bekasi total 50 kasus (kekerasan fisik 12, psikis 17, seksual 13, penelantaran ekonomi 8, seksual online 0, dan trafficking/pekerja migran 0)
"Sedangkan total kasus di Kabupaten Sukabumi 34 tanpa keterangan rinci bentuk kekerasan yang terjadi dan Kabupaten Majalengka 21 kasus yang dilaporkan semua terkait trafficking dan pekerja migran bermasalah," ujar Sri.
(Baca juga: Bidik Milenial dan Pecinta Penganan Kue, Ini Konsep Baru Harvest di Bandung)
Berdasarkan persentase, tutur Sri, kekerasan psikis 31 persen, fisik 18 persen, seksual 17 persen, penelantaran ekonomi 16 persen, trafficking dan pekerja migran bermasalah 10 persen, dan seksual berbasis online 8 persen.
Mereka menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran ekonomi, seksual berbasis online, dan trafficking atau pekerja migran bermasalah.
Provinsi Jawa Barat menjadi tertinggi dalam kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Di tempat kedua, Provinsi Jawa Tengah dengan 2.525 kasus, posisi ketiga DKI Jakarta 2.222, keempat Jatim 1.121, dan kelima DIY 868.
Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengatakan, Komnas Perempuan mencacat, kekerasan terhadap perempuan dari tahun ketahun meningkat.
Data secara nasional pada 2015 terjadi 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk. Kemudian pada 2016 turun menjadi 259.150.
"Pada 2017 kembali naik jadi 348.446 kasus, 2018 melonjak 406.178, dan 2019 naik lagi 431.471. Sedangkan data 2020 saat ini sedang dihimpun dari seluruh provinsi dan daerah di Indonesia," kata Maria Ulfah dalam diskusi virtual 'Dialog Komnas Perempuan dengan Lembaga Layanan dan Media Jawa Barat', Minggu (13/12/2020).
Selain Maria Ulfah Anshor, hadir pula dalam diskusi virtual itu, Komisioner Komnas Perempuan Setyawanti Mashudi dan beberapa aktivis perempuan lainnya.
Saat ini, ujar Maria Ulfah, Komnas Perempuan tengah melakukan kunjungan ke beberapa daerah dan kota besar untuk mengumpulkan data, sekaligus mengetahui kondisi dan gambaran kasus kekerasan terhadpa perempuan. Seperti ke Kota Bandung, Pontianak, dan Padang.
Maria Ulfah mengemukakan, berdasarkan pemetaan, terdapat lima bentuk kekerasan terhadap perempuan, yakni fisik, psikis, seksual, penelantaran ekonomi, seksual berbasis online, dan trafficking atau pemekerja migran yang mengalami kekerasan.
"Data yang disampaikan itu menjadi keprihatinan kita bersama, menandakan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih tinggi. Karena itu, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah dan masyarakat," ujar Maria Ulfa.
Maria menuturkan, Komnas Perempuan merekomendasikan, pertama segera memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masuk prolegnas prioritas 2021 sebagai aturan hukum bagi kasus kekerasan seksual termasuk yang berbasis online pada masa pandemi Covid-19.
Kedua, pemerintah baik pusat maupun daerah harus memastikan ketersediaan anggaran dan layanan untuk pendampingan kasus kekerasan terhadap perempuan semakin tinggi.
Ketiga, mendorong tanggung jawab negara untuk memastikan perlindungan bagi pendamping korban kekerasan agar tidak terpapar COVID-19.
Keempat, media ikut memberikan edukasi terhadap korban bagaimana mengakses layanan untuk korban selama masa pandemi serta ikut mengampanyekan RUU PKS segera disahkan menjadi undang-undang.
Dalam peringatan kampanye 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan pada 2020 ini, tutur Maria, Komnas Perempuan menyampaikan pesan nasional, āGerak Bersama: Jangan Tunda lagi, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksualā.
"Dengan hastag yang digunakan untuk mendukung pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah: #GerakBersama #SahkanRUUPKS #JanganTundaLagi," tutur Maria.
Sementara itu, Sri Mulyati, aktivis Yayasan Sapa dan Forum Pengada Layanan (FPL) Jawa Barat mengatakan, data di sejumlah lembaga penampingan korban kekerasan merupakan yang dilaporkan oleh korban atau pendampingnya.
"Kami yakin jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sebenarnya jauh lebih besar dari yang dilaporkan," kata Sri dalam acara yang sama.
Untuk sementara itu, jumlah total kasus yang ditangani empat lembaga layanan selama Januari hingga November 2020 sebanyak 587 kasus kekerasan terhadap perempuan di enam kota dan kabupaten di Jawa Barat.
Perinciannya, Kota Bandung 110 kasus (22 kasus kekerasan fisik, 26 psikis, 24 seksual, 13 penelantaran ekonomi, seksual online 22, dan trafficking/pekerja migran 3).
Kemudian, Kabupaten Bandung 193 kasus (kekerasan fisik 51, 131 psikis, seksual 44, penelantaran ekonomi 41, 20 seksual berbasis online, dan trafficking/pekerja migran bermasalah 21 kasus)
Kabupaten Cirebon 179 kasus, dengan perincian 20 Kekerasan fisik, 90 psikis, 40 seksual, 29 penelataran ekonomi, seksual online 0 dan trafficking/pekerja migran 0.
(Baca juga: Bio Farma sebut Belum Ada Layanan Pre Order Vaksinasi COVID-19 Jalur Mandiri)
Bekasi total 50 kasus (kekerasan fisik 12, psikis 17, seksual 13, penelantaran ekonomi 8, seksual online 0, dan trafficking/pekerja migran 0)
"Sedangkan total kasus di Kabupaten Sukabumi 34 tanpa keterangan rinci bentuk kekerasan yang terjadi dan Kabupaten Majalengka 21 kasus yang dilaporkan semua terkait trafficking dan pekerja migran bermasalah," ujar Sri.
(Baca juga: Bidik Milenial dan Pecinta Penganan Kue, Ini Konsep Baru Harvest di Bandung)
Berdasarkan persentase, tutur Sri, kekerasan psikis 31 persen, fisik 18 persen, seksual 17 persen, penelantaran ekonomi 16 persen, trafficking dan pekerja migran bermasalah 10 persen, dan seksual berbasis online 8 persen.
(boy)