Mantap, Dosen Unpad Ini Ciptakan Aplikasi Pengukur Stres dari Ponsel
loading...
A
A
A
BANDUNG - Gangguan mental, baik ringan atau berat mulai dari stres hingga depresi bisa melanda siapa saja. Stres bisa melanda warga dengan tingkat ekonomi rendah hingga orang kaya, atau orang berpendidikan atau bukan.
Kendati begitu, gangguan kejiwaan ini sangat jarang terdeteksi. Bahkan cenderung diabaikan. Padahal, bila sudah sampai tingkat depresi hingga gila, butuh waktu lama untuk proses penyembuhan. Penyebab, menganggap tabu periksa ke dokter atau dianggap bukan penyakit.
Tetapi, mulai saat ini, masyarakat bisa sedikit leluasa. Karena bisa mendeteksi kadar stres secara mandiri. Di mana, Dosen Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Irma Melyani Puspitasari dan tim telah mengembangkan aplikasi untuk mengukur tingkat stres dan deteksi dini gangguan jiwa. Aplikasi berbasis Android ini bisa digunakan mahasiswa ataupun masyarakat luas untuk mendeteksi tingkat stres secara efektif dan mudah.
Bersama dua dosen lainnya, Rano K. Sinuraya dari Fakultas Farmasi dan Witriani dari Fakultas Psikologi, mereka mengembangkan aplikasi yang diberi nama “De-Stres”. Aplikasi ini bisa diunduh secara gratis melalui platform Google Store di Android.
Irma menjelaskan, aplikasi “De-Stres” berfungsi untuk memonitor tingkat stres seseorang secara berkala. Dengan demikian, pengguna bisa mengetahui apakah dirinya berada pada kondisi stres atau tidak secara berkala. Ini bertujuan untuk mencegah stres yang berkepanjangan. “Kalau stres berkepanjangan akan dapat menimbulkan depresi,” kata Irma dalam siaran persnya.
Sejak 2019, Irma dan tim mengembangkan aplikasi ini. Secara teknis, aplikasi ini berisi kuesioner yang dapat diisi oleh pengguna. Ada dua modul kuesioner yang tersedia. Satu modul untuk mengukur tingkat stres, sedangkan satu modul lagi untuk mengukur tingkat depresi.
Pengguna cukup memerlukan waktu sekira 5-10 menit untuk menjawab kuesioner yang diadaptasi dan divalidasi dari instrumen Perceived Stress Scale-10 (PSS-10) untuk modul tingkat stres, serta instrumen Beck Depression Inventory-II untuk modul tingkat depresi. (Baca: KPU Sulut Terima Surat Suara Tahap 2 dan Siap Didistribusikan).
Hasil dari kuesioner tersebut akan menentukan apakah pengguna berada pada kategori stres ringan, sedang, atau berat. Aplikasi akan memberikan hasil kuesioner menggunakan jarum yang menunjuk pada warna tertentu, yaitu dimulai dari hijau hingga merah. Bila jarum menunjuk ke warna cenderung merah, maka pengguna dikategorikan mengalami stres cukup berat.
Jika hasil menunjukkan kadar stres besar, aplikasi akan memberikan saran bagi pengguna untuk mengatasi permasalahan mental tersebut. Saran tersebut dimulai dari dorongan kepada pengguna untuk menceritakan permasalahannya kepada orang yang dipercaya hingga menyarankan untuk mendatangi profesional psikolog atau psikiater (dokter spesialis kesehatan jiwa).
Dosen yang mengajar mata kuliah Farmakoterapi Gangguan Syaraf dan Psikiatri ini mengatakan, kenyataan di lapangan, banyak mahasiswa ataupun masyarakat yang tidak terdeteksi memiliki gangguan kesehatan mental. Hal ini yang menyebabkan banyak kasus bunuh diri diakibatkan stres yang berujung pada depresi. (Baca: Dinilai Menghina Ketua PWI, Tokoh Partai Golkar Lampung Bakal Dipolisikan).
Karena itu, alat ukur untuk mendeteksi kondisi stres dirancang dengan menggunakan model aplikasi pada telepon seluler. Diharapkan, alat ukur berbasis aplikasi di ponsel ini lebih mudah dan efektif digunakan untuk pengguna. “Karena secara berkala, nanti di aplikasi akan ada history-nya. Idealnya bisa digunakan sebulan sekali,” kata Irma.
Karena mudah digunakan, aplikasi “De-Stres” telah banyak digunakan oleh ribuan pengguna. Irma juga menerapkan aplikasi ini ke dalam mata kuliah yang diampunya. “Aplikasi ini diharapkan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata Irma.
Lihat Juga: Dukung Pemerintahan Prabowo, Cagub Jabar Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie Buat Program Telur Asih
Kendati begitu, gangguan kejiwaan ini sangat jarang terdeteksi. Bahkan cenderung diabaikan. Padahal, bila sudah sampai tingkat depresi hingga gila, butuh waktu lama untuk proses penyembuhan. Penyebab, menganggap tabu periksa ke dokter atau dianggap bukan penyakit.
Tetapi, mulai saat ini, masyarakat bisa sedikit leluasa. Karena bisa mendeteksi kadar stres secara mandiri. Di mana, Dosen Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran (Unpad) Irma Melyani Puspitasari dan tim telah mengembangkan aplikasi untuk mengukur tingkat stres dan deteksi dini gangguan jiwa. Aplikasi berbasis Android ini bisa digunakan mahasiswa ataupun masyarakat luas untuk mendeteksi tingkat stres secara efektif dan mudah.
Bersama dua dosen lainnya, Rano K. Sinuraya dari Fakultas Farmasi dan Witriani dari Fakultas Psikologi, mereka mengembangkan aplikasi yang diberi nama “De-Stres”. Aplikasi ini bisa diunduh secara gratis melalui platform Google Store di Android.
Irma menjelaskan, aplikasi “De-Stres” berfungsi untuk memonitor tingkat stres seseorang secara berkala. Dengan demikian, pengguna bisa mengetahui apakah dirinya berada pada kondisi stres atau tidak secara berkala. Ini bertujuan untuk mencegah stres yang berkepanjangan. “Kalau stres berkepanjangan akan dapat menimbulkan depresi,” kata Irma dalam siaran persnya.
Sejak 2019, Irma dan tim mengembangkan aplikasi ini. Secara teknis, aplikasi ini berisi kuesioner yang dapat diisi oleh pengguna. Ada dua modul kuesioner yang tersedia. Satu modul untuk mengukur tingkat stres, sedangkan satu modul lagi untuk mengukur tingkat depresi.
Pengguna cukup memerlukan waktu sekira 5-10 menit untuk menjawab kuesioner yang diadaptasi dan divalidasi dari instrumen Perceived Stress Scale-10 (PSS-10) untuk modul tingkat stres, serta instrumen Beck Depression Inventory-II untuk modul tingkat depresi. (Baca: KPU Sulut Terima Surat Suara Tahap 2 dan Siap Didistribusikan).
Hasil dari kuesioner tersebut akan menentukan apakah pengguna berada pada kategori stres ringan, sedang, atau berat. Aplikasi akan memberikan hasil kuesioner menggunakan jarum yang menunjuk pada warna tertentu, yaitu dimulai dari hijau hingga merah. Bila jarum menunjuk ke warna cenderung merah, maka pengguna dikategorikan mengalami stres cukup berat.
Jika hasil menunjukkan kadar stres besar, aplikasi akan memberikan saran bagi pengguna untuk mengatasi permasalahan mental tersebut. Saran tersebut dimulai dari dorongan kepada pengguna untuk menceritakan permasalahannya kepada orang yang dipercaya hingga menyarankan untuk mendatangi profesional psikolog atau psikiater (dokter spesialis kesehatan jiwa).
Dosen yang mengajar mata kuliah Farmakoterapi Gangguan Syaraf dan Psikiatri ini mengatakan, kenyataan di lapangan, banyak mahasiswa ataupun masyarakat yang tidak terdeteksi memiliki gangguan kesehatan mental. Hal ini yang menyebabkan banyak kasus bunuh diri diakibatkan stres yang berujung pada depresi. (Baca: Dinilai Menghina Ketua PWI, Tokoh Partai Golkar Lampung Bakal Dipolisikan).
Karena itu, alat ukur untuk mendeteksi kondisi stres dirancang dengan menggunakan model aplikasi pada telepon seluler. Diharapkan, alat ukur berbasis aplikasi di ponsel ini lebih mudah dan efektif digunakan untuk pengguna. “Karena secara berkala, nanti di aplikasi akan ada history-nya. Idealnya bisa digunakan sebulan sekali,” kata Irma.
Karena mudah digunakan, aplikasi “De-Stres” telah banyak digunakan oleh ribuan pengguna. Irma juga menerapkan aplikasi ini ke dalam mata kuliah yang diampunya. “Aplikasi ini diharapkan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata Irma.
Lihat Juga: Dukung Pemerintahan Prabowo, Cagub Jabar Ahmad Syaikhu-Ilham Habibie Buat Program Telur Asih
(nag)