Malam di Dolly dan Kerlip Rezeki yang Abadi

Selasa, 17 November 2020 - 08:09 WIB
loading...
Malam di Dolly dan Kerlip...
Suasana malam di eks Lokalisasi Dolly Surabaya. Foto/Koran SINDO/Aan Haryono
A A A
SURABAYA - Kawasan eks lokalisasi Dolly tak pernah redup. Gang paling legendaris di Kota Pahlawan itu tetap bersinar meskipun tanpa kerlip lampu neon di setiap wisma. Peredaran rupiah pun tetap berputar sampai Subuh berpendar.



Malam di gang tersohor seperti melipat bintang-bintang. Suara musik masih menggema, sedikit lebih ritmik dari 10 tahun silam. Denyut kota tetap sama, tapi arah kehidupannya yang berbeda. Anak-anak kini bisa berlarian bebas di dekat bianglala yang ada di ujung Jalan Jarak. Dan, kereta kelinci yang merambat riuh ke berbagai celah gang sempit menebar senyum anak yang lama terbungkam. (Baca: Nasihat yang Paling Baik adalah Kematian)

Derap kaki masih membanjiri bekas wisma yang kini disulap menjadi laundry, toko kelontong, percetakan, rumah makan, sampai reparasi sepatu. Di lorong-lorong kecil kepulan asap gule kambing dan rawon yang kental menarik rongga hidung untuk terus berselancar dalam rasa lidah.

Di bawah purnama yang menerangi langit Surabaya, gelak tawa terdengar riang dari deretan pintu di gang-gang kecil yang membelah Dolly. Eks pekerja seks komersial (PSK) dan mucikari tak henti membungkus harapan dalam ruang baru mengumpulkan pundi rupiah tanpa lagi menunggu kehadiran pria hidung belang.

Tangan mereka masih cekatan, menjahit baju dengan keindahan dan merapikan kulit sepatu dengan kelindan cinta yang masih tersisa di nuraninya. “Tak perlu lagi menor kalau malam hari, kami masih bisa mencari banyak uang dari membuat baju,” kata Ria Nita, Minggu (15/11/2020).

Nama besar lokalisasi Dolly masih menyisakan banyak kenangan. Mengenal Surabaya dengan seribu malam dan rayuannya. Cerita ranum yang kini tinggal kenangan dalam benak lelaki hidung belang. Di lahan bekas lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu, serpihan harapan terus membentang.

Pundi-pundi rupiah masih bisa dikumpulkan. Di gang-gang legendaris, usaha kecil semakin laris. Tanpa ada lagi rasa sinis. Gang tersohor yang menjadi referensi utama para pria untuk mencari mangsa. (Baca juga: Banyak Klaster Baru, Siswa Masuk Sekolah Diusulkan Setelah Vaksinasi)

Pada sebuah senja yang merah di langit-langit Surabaya, Rabu, 18 Juni 2014, menjadi titik balik Dolly. Ribuan pasang mata bertemu saling hadang ketika Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memimpin penutupan lokalisasi. Mereka saling serang perlawanan. Senjata tajam diamankan dan amarah diredam. Lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu tumbang dalam sekian banyak kenangan yang terus muncul di permukaan. Termasuk sumpah serapah warga akan miskin dan merana dari mereka yang sudah lama menguasai lokalisasi.

Kini, di sebuah senja yang sama, deretan kendaraan parkir penuh sesak di Jalan Girilaya sampai Jalan Jarak. Memakan sebagian bahu jalan yang membuat kemacetan di berbagai penjuru. Bekas wisma yang dulu gemerlap, kini lebih bersahaja. Rumah yang dulunya menjadi akuarium raksasa, kini sudah berubah menjadi toko kue lapis, warung kopi, resto, pasar burung, toko makanan hewan, sampai rumah produksi aneka makanan cepat saji.

Di setiap ujung gang, jangan berharap lagi ada lelaki yang menawarkan paras perempuan lagi. Atau, sekadar menawarkan kesenangan. Petang menuju malam di eks lokalisasi Dolly diisi dengan sibuknya para pedagang kecil yang merintis usaha mereka dari berbagai lapak. Celoteh mereka untuk menawarkan roti kukus dan gorengan, terdengar lebih renyah dari mucikari yang dulu sering berkeluh kesah.

Riswan (42) masih sibuk membuatkan kopi kepada pelanggannya yang duduk di bangku belakang coffe shop miliknya yang dicat dominan warna hitam doff. Di tengah pandemi Covid-19, ia mengubah banyak tempat duduk untuk lebih berjarak. Tempat cuci tangan juga disediakan dengan stiker besar di ujung pintu yang mewajibkan semua pelanggannya untuk memakai masker. “Masih ada saja pelanggan, kami di sini tak pernah takut sepi,” katanya. (Baca juga: Tips Mudah Mengelola Hipertensi)

Khotimah (47) salah satu pedagang nasi di Warung Bu Jum Dolly, juga masih sibuk dengan parutan kelapa dan lembaran daun pisang. Tangannya lincah mencomot berbagai bahan dapur untuk segera diolah menjadi kare kepiting yang hangat di malam hari. Selepas senja, para pelanggannya akan datang menyerbu untuk bisa duduk berdekatan sambil menyantap hidangan kepiting yang selama ini menjadi menu andalannya.

Ia menjelaskan, sudah sekitar delapan tahun yang lalu keluarganya membuka usaha warung tersebut. Setiap hari warungnya buka selama 24 jam untuk melayani warga Surabaya maupun luar kota yang ingin merasakan masakan khas Dolly. Selain kare kepiting, berbagai jenis olahan masakan lain juga tersedia di warung makan ini seperti rawon, sup buntut, kare ayam, cumi, dan lalapan.

“Tapi, yang biasanya cepat habis itu kare kepiting. Tapi, untuk kare kepiting tidak setiap hari ada, karena harus menyesuaikan stoknya dan pasokan di warung kami,” ujarnya.

Satu porsi kare kepiting, dia mematok harga Rp30.000. Setiap hari, keluarganya memasak nasi sebanyak 25 kilogram yang dibantu dengan tiga orang pelayan. Jumlah itu bisa bertambah dua kali lipat ketika ada pesanan dadakan yang kerap datang ke warungnya. (Baca juga: Indonesia Harus Tetap Optimistis Atasi Resesi Ekonomi)

Setiap hari, ia bisa meraup keuntungan Rp4 juta. Belum lagi ditambah dengan pesanan dari luar yang juga terus berdatangan. Di bekas kawasan “zona merah” itu, jalan rezeki masyarakat masih bisa terjaga setelah lokalisasi Dolly resmi ditutup.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, keputusan terbesar dan terberat selama dirinya menjadi wali kota adalah menutup lokalisasi Dolly. Semua keberanian dan keyakinan mengiringi proses penutupan lokalisasi Dolly. Baginya, penutupan lokalisasi itu merupakan langkah yang berat dan berisiko. Namun, seiring dengan keberanian dan dukungan dari berbagai pihak, ia berhasil melewati prahara tersebut. “Saya sampai mendapat ancaman pembunuhan setiap hari. Saya bersyukur bisa melewati semua itu,” jelasnya.

Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini kembali mengungkapkan alasan menutup kawasan yang dulunya menjadi tempat lokalisasi. Bagi Risma, tidak ada tujuan lain saat ia menutup kawasan ini hanya untuk menyelamatkan masa depan anak-anak.

“Banyak teror yang saya terima dulu ketika menutup Dolly. Terima kasih kepada warga Putat Jaya. Saya juga mohon maaf terpaksa dulu saya harus menutup kawasan ini. Karena saya melihat masa depan anak-anak akan terganggu kalau kondisinya seperti itu,” katanya. (Baca juga: Permintaan Pembiayaan dari Korporasi Meningkat)

Risma pun mengakui saat itu sangat berat mengambil keputusan. Namun, hal itu harus dilakukannya untuk menyelamatkan anak-anak Surabaya. Bahkan, ia mengaku mendapat berbagai ancaman saat akan menutup kawasan lokalisasi ini kala itu. “Meski saat itu berat sekali untuk saya menutup, yakinlah ini untuk masa depan anak-anak, tidak ada hal lain kecuali itu,” tandasnya.

Perjalanan waktu mengubah wajah Dolly. Eks lokalisasi Dolly kini telah menjelma menjadi salah satu sentra UMKM di Surabaya. Produk dari warga di eks lokalisasi Dolly ini pun telah memasuki berbagai pangsa pasar.

Warga eks lokalisasi Dolly yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Mampu Jaya terus memproduksi sepatu dan sandal, termasuk sandal hotel yang sudah bekerja sama dengan mereka. UMKM ini menempati sebuah gedung besar dan tinggi yang dulunya merupakan salah satu wisma prostitusi terbesar di Gang Dolly. Ada juga DS Point terus membuat makanan ringan dan minuman khas UMKM Dolly.

Atik, Koordinator KUB Mampu Jaya, mengaku bersyukur dengan kondisi Dolly saat ini. Ia dan para warga lainnya bisa mandiri dan terus memproduksi sepatu maupun sandal. Mereka tak lagi menjadi pengangguran. “Banyak warga di sini yang kami libatkan dan kini setiap hari mereka bisa berpenghasilan,” kata Atik.

Kawasan eks lokalisasi Dolly dan Jarak menjadi sebuah kawasan yang produktif. Berbagai perubahan terjadi pasca ditutup enam tahun silam. Baik perubahan dari aspek sosial maupun ekonomi. Tempat yang dulunya ramai berjajar wisma prostitusi, kini telah bermetamorfosis menjadi sebuah kampung yang produktif. Suara burung love bird pun terus bersahutan dari pasar burung yang kini sudah berdiri megah di Dolly.

Tercatat, saat ini terdapat 23 kelompok UMKM di kawasan Dolly. Rinciannya, untuk produk olahan batik berjumlah empat kelompok UKM, yaitu Jarak Arum, Alpujabar, Canting Surya, dan Warna Ayu. (Baca juga: Erdogan tawarkan Solusi Dua Negara Terpisah untuk Siprus)

Sementara itu, untuk olahan makanan dan minuman berjumlah 13 UMKM dengan rincian, yaitu TBM Kawain, Olahan Bandeng, Jarwo Tempe, Sami Jali, Pangsit Hijau, Cak Mimin Rujak, UKM Puja dengan produksi telur dan botok telur asin, UKM Squel dengan olahan keripik, UMKM Vigts dengan produksi jamu herbal, Gendis dengan produksi bumbu pecel, UKM Henrik dengan olahan semanggi dan es puter serta olahan minuman dari rumput laut.

Sementara untuk usaha industri kreatif di tempat ini berjumlah lima kelompok. Rinciannya, yaitu KUB Mampu Jaya produksi sandal, sepatu dan goody bag, sablon, minyak rambut, phomade dan semir, handycraft dan usaha dalam bentuk lukisan.

Para warga di Dolly juga menyiapkan pasokan barang untuk industri sabun rumahan. Mereka tidak hanya produk sandal dan goody bag, tapi juga menawarkan berbagai sandal serta kebutuhan lainnya di hotel.

Selain pemberdayaan bagi PSK dan mucikari, sektor keluarga juga dilibatkan secara aktif. Para suami dan istri diberdayakan agar keluarga mereka lebih produktif dan kesejahteraan keluarganya terus meningkat. Salah satunya optimalisasi Dolly Saiki Point, sebuah tempat yang khusus dijadikan sebagai pusat oleh-oleh penjualan berbagai produk UMKM dari seluruh warga sekitaran Dolly. (Lihat videonya: Arab Saudi Tutup Kembali Izin Umrah untuk Jamaah Indonesia)

Saat malam bergegas pergi, masih saja ada kehidupan di Dolly sampai pagi. Memang, tidak ada kunang-kunang malam ini di sepanjang Jalan Jarak dan Girilaya. Saur terdengar riang dari salah satu kedai kopi tembang lagu yang dibawakan Band Folk Jazz Surabaya, Silampukau yang suaranya mampu membunuh dinginnya malam.

Dolly...Yang menyala-nyala di puncak kota; Yang sembunyi di sudut jalang jiwa; Pria Surabaya; Dulu......Di temaram jambon gang sempit itu; Aku mursal masuk, keluar, dan utuh; Sebagai lelaki..... (Aan Haryono)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1548 seconds (0.1#10.140)