Merasa Ada Ketidakadilan, Kuasa Hukum Kirim Surat ke Presiden

Jum'at, 25 September 2020 - 14:01 WIB
loading...
Merasa Ada Ketidakadilan,...
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
BOGOR - Perkara kepailitan yang melibatkan PT. Budi Kencana Megah Jaya (PT BKMJ) dan PT. Gugus Rimbarta yang didaftarkan pada tanggal 30 Mei 2020 di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 19 Agustus 2003 menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pemerhati hukum , terutama pihak termohon.

Kuasa hukum termohon PT BKMJ, Renita M. A. Girsang merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat per tanggal 19 Agustus 2020 dengan nomor :211/Pdt.Sus-PKPU/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang dipimpin oleh ketua Majelis Hakim Robert, S.H., M.Hum.

Kasus utang piutang ini membuat termohon merasa disudutkan dengan dinyatakan memiliki utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, padahal termohon menginginkan agar kasus utang ini diadakan pengujian terlebih dahulu

"Klien kami sebagai termohon seperti telah disudutkan dan 'dipaksa menerima' atau 'dipaksa' menyatakan dirinya mempunyai utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, meskipun tidak. Setidak-tidaknya, ada atau tidaknya utang ini harus dibuktikan atau diuji terlebih dahulu sesuai dengan hukum pembuktian di pengadilan umum/negeri," ujar Renita dalam keterangan tertulisnya di Bogor, Jumat (25/9/2020)

Renita mengatakan kliennya juga dipaksa untuk menyatakan bahwa pekerjaan pemohon telah selesai 100%, walaupun sebenarnya hanya baru 72,27% saja. Soal selesai atau belum, ini pun harusnya diuji dan dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan umum/negeri. (BACA JUGA: Febri Diansyah Mengundurkan Diri, KPK Bakal Cari Pengganti Sementara)

"Selain itu klien kami juga 'dipaksa pula untuk mengajukan proposal perdamaian' meskipun tidak ada satu utang pun yang dapat dimintakan restrukturisasinya untuk dituangkan dalam proposal perdamaian pada hari ke-45 nanti, yaitu tanggal 30 September 2020," sebut Renita.

Pihaknya menduga ada implementasi hukum yang salah/keliru yang dilakukan dengan melanggar hukum atau melanggar semua norma hukum yang ada, justru ada pada putusan Majelis Hakim perkara a quo, putusan Nomor 211/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 19 Agustus 2020.

"Ada empat hal yang dilanggar dengan putusan itu, Pertama, tidak memenuhi ketentuan dan melanggar Pasal 222 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 271 Undang-undang Nomor. 37/2004 tentang Kepailitan dan PKPU. Kedua, melanggar azas keseimbangan, yaitu memfasilitasi terjadinya penyalahgunaan Pranata dan Lembaga Kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik," ungkapnya. (BACA JUGA: Tiga Berkas Kasus Pemalsuan Surat Jalan Djoko Tjandra Dinyatakan Lengkap)

"Hal ketiga yaitu melanggar azas keadilan, yaitu tidak memenuhi rasa keadilan bagi termohon akibat terjadinya kesewenang-wenangan dan keempat melanggar hak konstitusional termohon pasal 28A, Pasal 28D ayat (1) akibat implementasi norma hukum yang salah, sehingga termohon PKPU 'terjebak' dalam ketentuan Pasal 235 ayat (1) Undang-undang No.37/2004," bebernya.

Renita menilai telah terjadi mafia peradilan dalam kasus ini sehingga telah menciderai kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh karenanya tim kuasa hukum termohon telah mengirimkan surat kepada presiden agar memperhatikan persoalan ketidakadilan ini.

"Saya telah bersurat ke Presiden dan lembaga lainnya untuk "menggigit" mafia hukum/mafia peradilan yang telah menciderai kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia dan menciptakan tidak adanya kepastian hukum dengan cara memperdaya pengusaha dengan memanfaatkan celah hukum," tegasnya.
(vit)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1648 seconds (0.1#10.140)