Gerbang Tani Desak Pemerintah Pertimbangkan Rencana Kenaikan Cukai Rokok
loading...
A
A
A
TEMANGGUNG - Pemerintah diminta untuk fokus pada kebijakan yang kondusif bagi petani tembakau dan industri hasil tembakau (IHT). Sekjen Gerbang Tani Billy Aries mengatakan, langkah menaikkan cukai rokok secara serampangan akan mengakibatkan kehancuran bagi petani tembakau . Karena itu, pihaknya mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang rencana kenaikan cukai rokok .
Menurutnya, saat ini kondisi petani tembakau di Indonesia mengalami tiga tantangan utama. Yakni, menurunnya pendapatan, risiko iklim yang tidak bisa dihindari, dan kurangnya teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas. (Baca juga: 14 Kantor Pemerintahan di Banyuwangi Jadi Klaster Baru COVID-19)
"Kurangnya teknologi modern pada perkebunan tembakau yang biasanya berukuran kurang dari 2 hektare, berdampak pada sangat rendahnya level produktivitas di Indonesia," ujar Billy dalam acara Ngobrol Bareng Petani Tembakau bertajuk Dampak Regulasi Cukai Terhadap Penyerapan Panen Tembakau di Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (13/9/2020). (Baca juga: Banyak Dokter Meninggal Dunia, Buya Syafii: Bangsa Ini Bisa Oleng)
Billy mengatakan, petani tembakau membutuhkan dukungan teknis. Kemampuan dan teknologi yang mereka gunakan akan memberdayakan para petani untuk menanam tembakau yang dapat digunakan sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui atau untuk mengekstraksi nikotin untuk produk rokok elektrik, alih-alih untuk rokok konvensional.
"Kenaikan cukai berdampak langsung ke petani tembakau. Faktor pemulihan ekonomi akibat COVID-19 perlu menjadi dasar kebijakan cukai. Pemerintah jangan membuat kebijakan cukai yang makin memperparah situasi industri," tuturnya.
Billy mengatakan, diperlukan adanya roadmap IHT dan sebelum rampung, pemerintah jangan mengeluarkan kebijakan baru. "Pembuatan Roadmap IHT juga harus melibatkan semua pemangku kepentingan," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Gerbang Tani, Idham Arsyad mengatakan, saat ini Indonesia memproduksi 152.319 ton daun tembakau pada 2017, dan menjadi produsen daun tembakau terbesar ke-6 di dunia setelah China, Brasil, India, Amerika Serikat (AS), dan Zimbabwe pada 2019. China memiliki hasil panen tertinggi dengan jumlah 2.392.000 ton pada 2017, sementara AS memiliki tingkat produktivitas tertinggi. Volume produksi tembakau Indonesia dan produktivitasnya merupakan yang paling rendah di antara enam negara produsen tersebut.
"Penggunaan teknologi yang sudah ketinggalan menghambat produktivitas industri perkebunan tembakau hingga berada jauh di bawah negara produsen daun tembakau lainnya," katanya. Selain itu, kebijakan yang tidak terintegrasi antar departemen membuat petani terus berjuang untuk hidup dari tanaman yang membutuhkan pengerjaan yang intensif ini.
"Industri rokok di Indonesia adalah kontributor lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan pajak yang signifikan. Rokok adalah produk tembakau yang paling populer yang dicari oleh 1,1 miliar konsumen di seluruh dunia," tuturnya.
Saat ini, kata Idham Arsyad, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah perokok bertambah dari 317 juta pada 2000 menjadi 364 juta orang pada 2015. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya permintaan daun tembakau dari wilayah tanam seperti Indonesia.
Selama ini, produksi tembakau terkonsentrasi di Provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Jawa Tengah yang menghasilkan 174.600 ton atau 90% dari produksi nasional pada 2015. Sisa 10% diproduksi di 12 provinsi lainnya. Tiga provinsi utama menyediakan 182.200 hektare area perkebunan tembakau atau 89% dari total area tanam pada 2015.
Dikatakan Idham Arsyad, kebijakan di Indonesia tentang perkebunan tembakau dan industri rokok tidak terkoordinasi dengan baik. Pendapatan cukai dari produk tembakau mencapai Rp143,66 triliun atau setara dengan USD10,33 miliar pada 2019 dan merupakan 95,5% dari seluruh pendapatan cukai. "Hal tersebut membuat rokok menjadi sumber pendapatan yang penting bagi pemerintah," katanya.
Terlebih lagi, Kementerian Perindustrian melaporkan bahwa ada 1,7 juta orang yang bekerja baik di sektor produksi daun tembakau maupun cengkih pada Maret 2019. Petani tembakau menerima dukungan dari pemerintah daerah yang menerima dana melalui pembagian 2% dari pendapatan cukai hasil tembakau.
"Pemerintah pusat harus intervensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tembakau. Pemerintah harus mempromosikan program substitusi impor dalam Peta Jalan Tembakau 2019–2024 yang mencakup target jangka pendek dan jangka panjang, strategi, dan langkah operasional untuk mencapai target-target tersebut," katanya.
Ketua DPW Gerbang Tani Jawa Tengah, Chamim menambahkan, kenaikan cukai akan memberikan dapak signifikan kepada petani tembakau karena akan mengurangi penyerapan dan juga kenaikan harga rokok yang mengancam keberadaan insdustri rokok kretek tangan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Temanggung Joko Budi Nuryanto memgatakan, kenaikan cukai yang diputuskan pemerintah harus dibarengi dnegan semangat pemberdayaan petani. Sebab sampai saat ini Pemerintah Daerah Temanggung hanya menerima Rp 31 miliar atau 00,7 % dari total yang dikembalikan ke daerah penghasil tembakau.
Joko mengatakan, PMK No 19/PMK 07.2008 harus direvisi. Sebab, dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dialokaiskan hanya 2% dinilai sangat kecil. "Kalau cukai naik efeknya pasti kepada petani, sebab perusahaan rokok seringkali menyikapi kenaikan cukai dijawab dengan menekan bahan baku," tuturnya.
Menurutnya, saat ini kondisi petani tembakau di Indonesia mengalami tiga tantangan utama. Yakni, menurunnya pendapatan, risiko iklim yang tidak bisa dihindari, dan kurangnya teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas. (Baca juga: 14 Kantor Pemerintahan di Banyuwangi Jadi Klaster Baru COVID-19)
"Kurangnya teknologi modern pada perkebunan tembakau yang biasanya berukuran kurang dari 2 hektare, berdampak pada sangat rendahnya level produktivitas di Indonesia," ujar Billy dalam acara Ngobrol Bareng Petani Tembakau bertajuk Dampak Regulasi Cukai Terhadap Penyerapan Panen Tembakau di Temanggung, Jawa Tengah, Minggu (13/9/2020). (Baca juga: Banyak Dokter Meninggal Dunia, Buya Syafii: Bangsa Ini Bisa Oleng)
Billy mengatakan, petani tembakau membutuhkan dukungan teknis. Kemampuan dan teknologi yang mereka gunakan akan memberdayakan para petani untuk menanam tembakau yang dapat digunakan sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui atau untuk mengekstraksi nikotin untuk produk rokok elektrik, alih-alih untuk rokok konvensional.
"Kenaikan cukai berdampak langsung ke petani tembakau. Faktor pemulihan ekonomi akibat COVID-19 perlu menjadi dasar kebijakan cukai. Pemerintah jangan membuat kebijakan cukai yang makin memperparah situasi industri," tuturnya.
Billy mengatakan, diperlukan adanya roadmap IHT dan sebelum rampung, pemerintah jangan mengeluarkan kebijakan baru. "Pembuatan Roadmap IHT juga harus melibatkan semua pemangku kepentingan," katanya.
Sementara itu, Ketua Umum Gerbang Tani, Idham Arsyad mengatakan, saat ini Indonesia memproduksi 152.319 ton daun tembakau pada 2017, dan menjadi produsen daun tembakau terbesar ke-6 di dunia setelah China, Brasil, India, Amerika Serikat (AS), dan Zimbabwe pada 2019. China memiliki hasil panen tertinggi dengan jumlah 2.392.000 ton pada 2017, sementara AS memiliki tingkat produktivitas tertinggi. Volume produksi tembakau Indonesia dan produktivitasnya merupakan yang paling rendah di antara enam negara produsen tersebut.
"Penggunaan teknologi yang sudah ketinggalan menghambat produktivitas industri perkebunan tembakau hingga berada jauh di bawah negara produsen daun tembakau lainnya," katanya. Selain itu, kebijakan yang tidak terintegrasi antar departemen membuat petani terus berjuang untuk hidup dari tanaman yang membutuhkan pengerjaan yang intensif ini.
"Industri rokok di Indonesia adalah kontributor lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan pajak yang signifikan. Rokok adalah produk tembakau yang paling populer yang dicari oleh 1,1 miliar konsumen di seluruh dunia," tuturnya.
Saat ini, kata Idham Arsyad, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah perokok bertambah dari 317 juta pada 2000 menjadi 364 juta orang pada 2015. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya permintaan daun tembakau dari wilayah tanam seperti Indonesia.
Selama ini, produksi tembakau terkonsentrasi di Provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Jawa Tengah yang menghasilkan 174.600 ton atau 90% dari produksi nasional pada 2015. Sisa 10% diproduksi di 12 provinsi lainnya. Tiga provinsi utama menyediakan 182.200 hektare area perkebunan tembakau atau 89% dari total area tanam pada 2015.
Dikatakan Idham Arsyad, kebijakan di Indonesia tentang perkebunan tembakau dan industri rokok tidak terkoordinasi dengan baik. Pendapatan cukai dari produk tembakau mencapai Rp143,66 triliun atau setara dengan USD10,33 miliar pada 2019 dan merupakan 95,5% dari seluruh pendapatan cukai. "Hal tersebut membuat rokok menjadi sumber pendapatan yang penting bagi pemerintah," katanya.
Terlebih lagi, Kementerian Perindustrian melaporkan bahwa ada 1,7 juta orang yang bekerja baik di sektor produksi daun tembakau maupun cengkih pada Maret 2019. Petani tembakau menerima dukungan dari pemerintah daerah yang menerima dana melalui pembagian 2% dari pendapatan cukai hasil tembakau.
"Pemerintah pusat harus intervensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tembakau. Pemerintah harus mempromosikan program substitusi impor dalam Peta Jalan Tembakau 2019–2024 yang mencakup target jangka pendek dan jangka panjang, strategi, dan langkah operasional untuk mencapai target-target tersebut," katanya.
Ketua DPW Gerbang Tani Jawa Tengah, Chamim menambahkan, kenaikan cukai akan memberikan dapak signifikan kepada petani tembakau karena akan mengurangi penyerapan dan juga kenaikan harga rokok yang mengancam keberadaan insdustri rokok kretek tangan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Temanggung Joko Budi Nuryanto memgatakan, kenaikan cukai yang diputuskan pemerintah harus dibarengi dnegan semangat pemberdayaan petani. Sebab sampai saat ini Pemerintah Daerah Temanggung hanya menerima Rp 31 miliar atau 00,7 % dari total yang dikembalikan ke daerah penghasil tembakau.
Joko mengatakan, PMK No 19/PMK 07.2008 harus direvisi. Sebab, dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang dialokaiskan hanya 2% dinilai sangat kecil. "Kalau cukai naik efeknya pasti kepada petani, sebab perusahaan rokok seringkali menyikapi kenaikan cukai dijawab dengan menekan bahan baku," tuturnya.
(shf)