Melalui KudusAsik, BLDF Melindungi Masyarakat Kudus dari Ancaman Bencana yang Mematikan
loading...
A
A
A
Eri menjelaskan kompleks pengelolaan sampah organik ini dibangun karena keprihatinan dari management PT Djarum terhadap masalah sampah di Kudus. Pada 2017 sampah di TPA menggunung dan tidak bisa menerima sampah dari Masyarakat. Sampah-sampah di Kudus pun sempat tidak terangkut beberapa hari. Management PT Djarum khawatir menumpuknya sampah di TPA Kudus bisa menyebabkan tragedi seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah di Cimahi Jawa Barat.
Apalagi TPA Leuwigajah dan TPA di Kudus punya kemiripan, sampah di kedua TPA ini dikelola dengan sistem pembuangan sampah secara terbuka, dengan menumpuk sampah di atas lahan tanpa pengamanan dan perlakuan khusus (sistem open dumping).
Pada 21 Februari 2005 terjadi longsor dan ledakan gas metana dari gunungan sampah di TPA Leuwigajah setinggi 60 meter dan lebar 200 meter. Kejadian ini mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 157 orang. Korban yang begitu banyak ini menjadi insiden terparah kedua di dunia dari pengelolaan sampah di TPA.
Gas metana yang dihasilkan dari sampah organik yang tidak dikelola dengan baik, memang jadi sumber bencana yang mematikan. Para ahli mengatakan gas metana dari sampah organik juga menjadi salah satu penyebab utama emisi gas rumah kaca.
Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati mengingatkan gas metana dari sampah organik 28 kali memiliki dampak negatif dari gas CO2.
Sampah organik juga menghasilkan air lindi yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan karena mengandung zat organik dan anorganik yang berbahaya, seperti bakteri, parasit, merkuri, kadmium, dan nikel. Mengutip dari laman waste4change.com air lindi bisa mencemari air tanah dan lahan pertanian hingga mengakibatkan gagal panen.
Seperti diketahui lahan pertanian di Kabupaten Kudus, masih luas. Mencapai sekitar 28.000 hektar atau 66 % dari total luas wilayah. Dari total lahan pertanian tersebut, sekitar 72 % atau sekitar 20.140 hektar merupakan lahan sawah. Produksinya pada 2024 ini mencapai 163.000 gabah kering giling. Bisa dibayangkan kerugian yang diderita jika Kudus mengalami gagal panen padi.
Pada manusia, kandungan Timbal di air lindi mengakibatkan gangguan pada otak, ginjal, dan hati. Paparan Merkuri dapat mengakibatkan kanker, terganggunya fungsi hati dan sistem saraf. Air lindi juga mengandung Kadmium yang menyebabkan perut mual, muntah-muntah, diare, luka hati, hingga gagal ginjal. Selain kandungan logam, air lindi didapati mengandung mikroba parasit seperti kutu air yang menyebabkan gatal-gatal pada kulit.
Walhi Yogyakarta pada Mei lalu melaporkan akibat tercemar air lindi dari sampah organik yang ada di TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) Piyungan Yogyakarta, air sumur warga setempat tercemar kandungan Klorin yang tinggi, menyebabkan beberapa warga terkena stroke.
Pengelolaan sampah organik yang dilakukan BLDF ternyata bukan saja telah mengurangi persoalan sampah di Kudus, namun juga melindungi masyarakat setempat dari ancaman bencana yang mematikan akibat sampah organik.
Menyasar Generasi Muda
Apalagi TPA Leuwigajah dan TPA di Kudus punya kemiripan, sampah di kedua TPA ini dikelola dengan sistem pembuangan sampah secara terbuka, dengan menumpuk sampah di atas lahan tanpa pengamanan dan perlakuan khusus (sistem open dumping).
Pada 21 Februari 2005 terjadi longsor dan ledakan gas metana dari gunungan sampah di TPA Leuwigajah setinggi 60 meter dan lebar 200 meter. Kejadian ini mengakibatkan korban meninggal dunia sebanyak 157 orang. Korban yang begitu banyak ini menjadi insiden terparah kedua di dunia dari pengelolaan sampah di TPA.
Gas metana yang dihasilkan dari sampah organik yang tidak dikelola dengan baik, memang jadi sumber bencana yang mematikan. Para ahli mengatakan gas metana dari sampah organik juga menjadi salah satu penyebab utama emisi gas rumah kaca.
Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati mengingatkan gas metana dari sampah organik 28 kali memiliki dampak negatif dari gas CO2.
Sampah organik juga menghasilkan air lindi yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan karena mengandung zat organik dan anorganik yang berbahaya, seperti bakteri, parasit, merkuri, kadmium, dan nikel. Mengutip dari laman waste4change.com air lindi bisa mencemari air tanah dan lahan pertanian hingga mengakibatkan gagal panen.
Seperti diketahui lahan pertanian di Kabupaten Kudus, masih luas. Mencapai sekitar 28.000 hektar atau 66 % dari total luas wilayah. Dari total lahan pertanian tersebut, sekitar 72 % atau sekitar 20.140 hektar merupakan lahan sawah. Produksinya pada 2024 ini mencapai 163.000 gabah kering giling. Bisa dibayangkan kerugian yang diderita jika Kudus mengalami gagal panen padi.
Pada manusia, kandungan Timbal di air lindi mengakibatkan gangguan pada otak, ginjal, dan hati. Paparan Merkuri dapat mengakibatkan kanker, terganggunya fungsi hati dan sistem saraf. Air lindi juga mengandung Kadmium yang menyebabkan perut mual, muntah-muntah, diare, luka hati, hingga gagal ginjal. Selain kandungan logam, air lindi didapati mengandung mikroba parasit seperti kutu air yang menyebabkan gatal-gatal pada kulit.
Walhi Yogyakarta pada Mei lalu melaporkan akibat tercemar air lindi dari sampah organik yang ada di TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu) Piyungan Yogyakarta, air sumur warga setempat tercemar kandungan Klorin yang tinggi, menyebabkan beberapa warga terkena stroke.
Pengelolaan sampah organik yang dilakukan BLDF ternyata bukan saja telah mengurangi persoalan sampah di Kudus, namun juga melindungi masyarakat setempat dari ancaman bencana yang mematikan akibat sampah organik.
Menyasar Generasi Muda