Kisah Kyai Cokro, Pusaka Andalan Pangeran Diponegoro Melawan Kebatilan dan Kezaliman Belanda
loading...
A
A
A
"Nama Kanjeng Kyai Cokro sendiri merujuk pada bentuknya, berupa cakra, yang dipakai dalam prosesi pelantikan Pangeran Diponegoro menjadi Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukminin Khalifatu Rasulillah Ats Tsani Ratu Paneteg Panatagama Satanah Jawi," jelasnya.
Disebabkan seorang pangeran tak dapat memberikan perintah kepada sesama pangeran, untuk mempermudah rantai komando organisasi, maka gelar tersebut disematkan dan digunakan Pangeran Diponegoro sebagai penanda Pemimpin Tertinggi Perang Jawa.
Sebagai informasi saja, ada kurang lebih 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di barisan Pangeran Diponegoro.
“Jadi penggunaan gelar tersebut tidak untuk menentang institusi keraton dan rajanya, namun digunakan untuk melawan Belanda dan londo ireng (pribumi yang memihak Belanda)," ucapnya.
Para pihak yang berseberangan, menganggap bahwa gerakan dan pasukan Pangeran Diponegoro identik dengan makar atau pemberontakan, bahkan berandalan.
Narasi ini terdapat dalam Babad Diponegoro lan Babad Nagari Purworejo karya Tjokronegoro I, bupati pertama Purworejo yang memihak Belanda.
"Saat ini, keberadaan Kanjeng Kyai Cokro dan beberapa artefak pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro, seperti Keris Kanjeng Kyai Nogo Siluman, Tombak Kanjeng Kyai Rondhan, pelana kuda Kyai Gentayu dan lain-lain, tersimpan dan menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta," tandasnya.
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
Disebabkan seorang pangeran tak dapat memberikan perintah kepada sesama pangeran, untuk mempermudah rantai komando organisasi, maka gelar tersebut disematkan dan digunakan Pangeran Diponegoro sebagai penanda Pemimpin Tertinggi Perang Jawa.
Sebagai informasi saja, ada kurang lebih 39 pangeran atau lebih dari separuh pangeran keraton berdiri di barisan Pangeran Diponegoro.
“Jadi penggunaan gelar tersebut tidak untuk menentang institusi keraton dan rajanya, namun digunakan untuk melawan Belanda dan londo ireng (pribumi yang memihak Belanda)," ucapnya.
Para pihak yang berseberangan, menganggap bahwa gerakan dan pasukan Pangeran Diponegoro identik dengan makar atau pemberontakan, bahkan berandalan.
Narasi ini terdapat dalam Babad Diponegoro lan Babad Nagari Purworejo karya Tjokronegoro I, bupati pertama Purworejo yang memihak Belanda.
"Saat ini, keberadaan Kanjeng Kyai Cokro dan beberapa artefak pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro, seperti Keris Kanjeng Kyai Nogo Siluman, Tombak Kanjeng Kyai Rondhan, pelana kuda Kyai Gentayu dan lain-lain, tersimpan dan menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta," tandasnya.
Lihat Juga: Bung Tomo dan Gebrakan Politik Usia 17 Tahun di Parindra Antarkan Tokoh Muda ke Parlemen Belanda
(shf)