Mahkamah Etik Nasional Perlu Dibentuk untuk Kembalikan Demokrasi

Rabu, 18 September 2024 - 23:05 WIB
loading...
Mahkamah Etik Nasional...
FGD) mengangkat tema Kerapuhan Etika Penyelenggaraan Negara yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Universitas Hasanuddin (Unhas) Selasa 16 September 2024. Foto/Istimewa
A A A
MAKASSAR - Sistem politik Indonesia semakin rapuh dan sarat dengan kepentingan pribadi dan kelompok elite. Hukum yang seharusnya menjadi penopang keadilan justru kehilangan martabatnya. Realitas di lapangan menunjukkan hukum kerap dijadikan alat permainan kekuasaan, dimodifikasi, dipelintir, bahkan ditundukkan demi kepentingan politik dan kapital.

Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) mengangkat tema "Kerapuhan Etika Penyelenggaraan Negara" yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Universitas Hasanuddin (Unhas) Selasa 16 September 2024.



Pakar Komunikasi Politik Benny Susetyo mengatakan, diskusi ini menyoroti dinamika kritis dalam etika hukum dan pemerintahan di Indonesia, di mana praktik kriminalisasi serta politik bagi-bagi kekuasaan sering digunakan untuk melumpuhkan lawan politik.

"Hukum tak lagi menjadi instrumen penegak keadilan, melainkan alat yang diatur sesuai dengan kebutuhan kekuasaan," katanya, Rabu (18/9/2024).

Kriminalisasi dan politik bagi-bagi kekuasaan telah menjadi senjata ampuh untuk menaklukkan lawan politik, membuat hukum tak lebih dari alat kekuasaan. Hukum yang seharusnya kokoh sebagai penegak keadilan kini fleksibel di tangan elite, diubah sesuai kebutuhan politik praktis dan kepentingan kapital.

Dalam banyak kasus, hukum tak lagi berfungsi sebagai pengayom rakyat, melainkan perpanjangan tangan segelintir elite yang ingin mempertahankan kekuasaannya. Ini bukan hanya mengikis martabat hukum, tapi juga merusak demokrasi dan tata kelola pemerintahan.

"Alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, pemimpin politik justru sibuk mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok," katanya.

Menurut Benny, ketika pemimpin mengabaikan etika dalam menjalankan tugasnya, etika dalam tata kelola hukum pun runtuh. Proses legislasi yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan rakyat sering terseret dalam arus kepentingan politik praktis dan modal.

"Partai politik, yang seharusnya menjadi penjaga moral dan pengontrol kekuasaan, justru terjebak dalam politik transaksional, mengutamakan kepentingan sesaat daripada rakyat. Akibatnya, hukum tak lagi ditegakkan demi kebenaran dan keadilan, tetapi demi melindungi kekuasaan," jelasnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2022 seconds (0.1#10.140)