Kisah Jenderal Kopassus Sintong Panjaitan Nyaris Ditombak Suku Pedalaman Papua, Lolos Berkat Pesan Pastor
loading...
A
A
A
JENDERAL Kopassus Sintong Hamonangan Panjaitan nyaris kehilangan nyawa dalam sebuah operasi berbahaya di kawasan pedalaman Papua yang belum terjamah kala itu.
Jika bukan karena teringat pesan seorang pastor, maka Letjen TNI (Purn)Sintong Panjaitan mungkin sudah gugur dalam peristiwa mendebarkan tersebut.
Peristiwa ini terjadi ketika sineas Prancis, Pierre Dominique Gaisseau, meminta izin kepada Pangdam XVII/Tjendrawasi Brigjen Sarwo Edhie Wibowo untuk membuat film antropologi tentang suku pedalaman Papua.
Sebelumnya, Gaisseau sukses membuat film dokumenter bertajuk Sky Above and Mud Beneath, yang menjadi dokumenter pertama peraih Piala Oscar.
Namun, kepergian ke Lembah X di pedalaman Papua menjadi perjalanan yang sangat menegangkan.
Apalagi pada 1961, Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller tewas di wilayah tersebut. Dugaan kuat menyebut bahwa Rockefeller menjadi korban praktik kanibalisme oleh suku terasing di Papua.
Michael Rockefeller bersama antropolog Belanda Rene Wassing dan dua pemandu lokal semula menumpang kano untuk membuat dokumenter Suku Asmat. Namun kano terbalik dan mereka terapung di lautan. Michael Rockefeller memilih berenang ke tepi.
Ketika Rene berhasil disematkan keesokan harinya, keberadaan Michael Rockefeller tak pernah ditemukan. Pencarian baik dari udara maupun darat akhirnya menemukan potongan kakinya.
"Kepergian menuju Lembah X yang dapat dikatakan teritori belum terjamah manusia cukup mendebarkan, disebabkan pada 1961 terjadi kasus yang menjadi perhatian dunia," kata Iwan Santosa dan EA Natanegara dalam buku 'Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus', dikutip Selasa (13/9/2024).
Berdasarkan pengalaman itu, rasa waswas itu juga menghantui Sintong Panjaitan saat terlibat dalam Operasi Kemanusiaan di Lembah X Papua.
"Jangan-jangan nanti setelah mendarat, saya dikeroyok oleh suku Lembah X, kemudian dimakan rame-rame," ujar Sintong dalam buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto.
Pada 2 Oktober 1969, Sintong bersama Kapten Inf Feisal Tanjung dan lima personel Kopasshanda (kini Kopassus) lainnya melaksanakan penerjunan di Lembah X.
Personel lainnya yaitu Perwira Kesehatan Kapten cdm dr Bondan Haryono, Perwira Sosial Budaya Capa Marwoto, Perwira Perhubungan Serma Suparmin dan Bintara Logistik Koptu Solichin.
Sedangkan dari NBC yakni Gaisseau sebagai sutradara merangkap juru kamera, Harvey de Meigrid sebagai juru kamera merangkap penulis naskah dan Nicholas Gaiesseau yang tak lain putra Pierre, sebagai asisten.
Namun, penerjunan itu tidak berjalan sesuai rencana. Embusan angin kencang membuat seluruh tim terpisah dari zona pendaratan yang ditentukan.
Sintong justru mendarat tepat di tengah-tengah perkampungan suku pedalaman. Penduduk lokal langsung mengepungnya dengan senjata tajam seperti tombak, panah, dan kapak batu.
Suasana semakin tegang ketika mereka berteriak "Snai e, snai e," yang terdengar menakutkan meski Sintong tidak memahami artinya.
Dalam situasi kritis itu, Sintong teringat pesan seorang pastor di Papua: menyapa suku pedalaman dengan membuka tangan dan tersenyum.
Dengan tenang, Sintong membuka kedua tangannya sambil tersenyum, menunjukkan niat damai. Tak lama kemudian, seorang pria tua keluar dari rumah membawa potongan daging babi mentah.
Sintong menerima daging tersebut dan memakannya. Tindakan itu disambut sorak-sorai kegembiraan dari penduduk setempat.
Belakangan, Sintong baru mengetahui bahwa orang yang memakan pemberian tersebut dianggap sebagai sahabat oleh suku tersebut. Aksi berani dan ketenangannya inilah yang menyelamatkan hidupnya dari maut di pedalaman Papua.
Jika bukan karena teringat pesan seorang pastor, maka Letjen TNI (Purn)Sintong Panjaitan mungkin sudah gugur dalam peristiwa mendebarkan tersebut.
Peristiwa ini terjadi ketika sineas Prancis, Pierre Dominique Gaisseau, meminta izin kepada Pangdam XVII/Tjendrawasi Brigjen Sarwo Edhie Wibowo untuk membuat film antropologi tentang suku pedalaman Papua.
Sebelumnya, Gaisseau sukses membuat film dokumenter bertajuk Sky Above and Mud Beneath, yang menjadi dokumenter pertama peraih Piala Oscar.
Namun, kepergian ke Lembah X di pedalaman Papua menjadi perjalanan yang sangat menegangkan.
Apalagi pada 1961, Michael Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller tewas di wilayah tersebut. Dugaan kuat menyebut bahwa Rockefeller menjadi korban praktik kanibalisme oleh suku terasing di Papua.
Michael Rockefeller bersama antropolog Belanda Rene Wassing dan dua pemandu lokal semula menumpang kano untuk membuat dokumenter Suku Asmat. Namun kano terbalik dan mereka terapung di lautan. Michael Rockefeller memilih berenang ke tepi.
Ketika Rene berhasil disematkan keesokan harinya, keberadaan Michael Rockefeller tak pernah ditemukan. Pencarian baik dari udara maupun darat akhirnya menemukan potongan kakinya.
"Kepergian menuju Lembah X yang dapat dikatakan teritori belum terjamah manusia cukup mendebarkan, disebabkan pada 1961 terjadi kasus yang menjadi perhatian dunia," kata Iwan Santosa dan EA Natanegara dalam buku 'Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus', dikutip Selasa (13/9/2024).
Berdasarkan pengalaman itu, rasa waswas itu juga menghantui Sintong Panjaitan saat terlibat dalam Operasi Kemanusiaan di Lembah X Papua.
"Jangan-jangan nanti setelah mendarat, saya dikeroyok oleh suku Lembah X, kemudian dimakan rame-rame," ujar Sintong dalam buku Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando karya Hendro Subroto.
Pada 2 Oktober 1969, Sintong bersama Kapten Inf Feisal Tanjung dan lima personel Kopasshanda (kini Kopassus) lainnya melaksanakan penerjunan di Lembah X.
Personel lainnya yaitu Perwira Kesehatan Kapten cdm dr Bondan Haryono, Perwira Sosial Budaya Capa Marwoto, Perwira Perhubungan Serma Suparmin dan Bintara Logistik Koptu Solichin.
Sedangkan dari NBC yakni Gaisseau sebagai sutradara merangkap juru kamera, Harvey de Meigrid sebagai juru kamera merangkap penulis naskah dan Nicholas Gaiesseau yang tak lain putra Pierre, sebagai asisten.
Namun, penerjunan itu tidak berjalan sesuai rencana. Embusan angin kencang membuat seluruh tim terpisah dari zona pendaratan yang ditentukan.
Sintong justru mendarat tepat di tengah-tengah perkampungan suku pedalaman. Penduduk lokal langsung mengepungnya dengan senjata tajam seperti tombak, panah, dan kapak batu.
Suasana semakin tegang ketika mereka berteriak "Snai e, snai e," yang terdengar menakutkan meski Sintong tidak memahami artinya.
Dalam situasi kritis itu, Sintong teringat pesan seorang pastor di Papua: menyapa suku pedalaman dengan membuka tangan dan tersenyum.
Dengan tenang, Sintong membuka kedua tangannya sambil tersenyum, menunjukkan niat damai. Tak lama kemudian, seorang pria tua keluar dari rumah membawa potongan daging babi mentah.
Sintong menerima daging tersebut dan memakannya. Tindakan itu disambut sorak-sorai kegembiraan dari penduduk setempat.
Belakangan, Sintong baru mengetahui bahwa orang yang memakan pemberian tersebut dianggap sebagai sahabat oleh suku tersebut. Aksi berani dan ketenangannya inilah yang menyelamatkan hidupnya dari maut di pedalaman Papua.
(shf)