Senator Papua Barat Filep Wamafma Kritik Mekanisme Kompensasi Tanah Ulayat di Teluk Bintuni
loading...
A
A
A
TELUK BINTUNI - Senator Papua Barat , Filep Wamafma, memberikan kritik tajam terhadap mekanisme kompensasi atas pemanfaatan tanah ulayat masyarakat hukum adat Sumuri yang diserahkan oleh Bupati Teluk Bintuni, Petrus Kasihiw, sebesar Rp136 miliar. Meskipun ia mengapresiasi adanya kompensasi ini, Filep mempertanyakan sumber dana kompensasi tersebut yang berasal dari Genting Oil (GOKPL) dan diperhitungkan dalam mekanisme cost recovery.
“Saya sejak awal memberikan apresiasi terkait kompensasi ini. Tetapi masyarakat harus paham dari mana dana untuk kompensasi itu. Besarnya jumlah dana itu tidak boleh menutup mata dan sikap kritis masyarakat. Oleh sebab itu, coba kita telusuri baik-baik darimana dana kompensasinya,” ujar Filep, pada Jumat (28/6/2024).
Filep menjelaskan bahwa istilah cost recovery merujuk pada penggantian biaya produksi yang mencakup belanja eksplorasi, pengembangan lapangan, dan operasi yang dikeluarkan dalam kontrak bagi hasil. Jika kompensasi dihitung dalam cost recovery, maka secara tidak langsung publik dibohongi karena dana itu adalah uang yang ‘dipinjamkan’ dan nanti juga dipotong dari Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemda Bintuni.
“Kalau mekanisme kompensasinya pakai cost recovery, ya jelas Perusahaan GAS dimanjakan dengan aturan padahal merugikan pemerintah dan daerah. Dari dulu kan cost recovery ini bermasalah karena negara kerap kali menanggung beban cost recovery yang membengkak, sehingga jatah minyak dan gas menurun drastis, padahal tingginya cost recovery ini sering disebabkan karena inefisiensi perusahaan,” tegas Filep.
Filep juga menyoroti bahwa prinsip pemerintah yang menanggung risiko ini tidak sehat dan justru bisa merugikan pemerintah daerah serta masyarakat adat. Menurutnya, jika mekanisme ini terus berlanjut, maka DBH Migas akan menyusut dan Pemda serta masyarakat adat tidak akan mendapatkan apa-apa.
“Prinsip Pemerintah untuk tanggung risiko ini menurut saya tidak sehat. Makanya saya tidak kaget jika kompensasi justru diserahkan Pemda dan bukan perusahaan secara langsung. Sehingga saya bertanya-tanya, apakah proses pembayaran ini secara otomatis selesai tanggung jawab pemerintah dan perusahaan?” lanjutnya.
Senator Filep menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bintuni Nomor 1 Tahun 2019 yang mengatur pemanfaatan SDA secara adil dan berkelanjutan, menghormati masyarakat hukum adat, serta memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat hukum adat dan lingkungannya.
“Saya paham bahwa ada pertarungan antara schedule project yang harus berjalan, kemudian ada tuntutan masyarakat adat untuk harus segera diberikan kompensasi, sementara kas daerah mungkin masih defisit atau kurang. Akan tetapi yang namanya kontrak, mestinya hal ini sudah dipikirkan matang-matang,” kata Filep, mengingatkan agar regulasi yang ada tidak merugikan masyarakat adat dan Pemda.
“Saya sejak awal memberikan apresiasi terkait kompensasi ini. Tetapi masyarakat harus paham dari mana dana untuk kompensasi itu. Besarnya jumlah dana itu tidak boleh menutup mata dan sikap kritis masyarakat. Oleh sebab itu, coba kita telusuri baik-baik darimana dana kompensasinya,” ujar Filep, pada Jumat (28/6/2024).
Filep menjelaskan bahwa istilah cost recovery merujuk pada penggantian biaya produksi yang mencakup belanja eksplorasi, pengembangan lapangan, dan operasi yang dikeluarkan dalam kontrak bagi hasil. Jika kompensasi dihitung dalam cost recovery, maka secara tidak langsung publik dibohongi karena dana itu adalah uang yang ‘dipinjamkan’ dan nanti juga dipotong dari Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang dikucurkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemda Bintuni.
“Kalau mekanisme kompensasinya pakai cost recovery, ya jelas Perusahaan GAS dimanjakan dengan aturan padahal merugikan pemerintah dan daerah. Dari dulu kan cost recovery ini bermasalah karena negara kerap kali menanggung beban cost recovery yang membengkak, sehingga jatah minyak dan gas menurun drastis, padahal tingginya cost recovery ini sering disebabkan karena inefisiensi perusahaan,” tegas Filep.
Filep juga menyoroti bahwa prinsip pemerintah yang menanggung risiko ini tidak sehat dan justru bisa merugikan pemerintah daerah serta masyarakat adat. Menurutnya, jika mekanisme ini terus berlanjut, maka DBH Migas akan menyusut dan Pemda serta masyarakat adat tidak akan mendapatkan apa-apa.
“Prinsip Pemerintah untuk tanggung risiko ini menurut saya tidak sehat. Makanya saya tidak kaget jika kompensasi justru diserahkan Pemda dan bukan perusahaan secara langsung. Sehingga saya bertanya-tanya, apakah proses pembayaran ini secara otomatis selesai tanggung jawab pemerintah dan perusahaan?” lanjutnya.
Senator Filep menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bintuni Nomor 1 Tahun 2019 yang mengatur pemanfaatan SDA secara adil dan berkelanjutan, menghormati masyarakat hukum adat, serta memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat hukum adat dan lingkungannya.
“Saya paham bahwa ada pertarungan antara schedule project yang harus berjalan, kemudian ada tuntutan masyarakat adat untuk harus segera diberikan kompensasi, sementara kas daerah mungkin masih defisit atau kurang. Akan tetapi yang namanya kontrak, mestinya hal ini sudah dipikirkan matang-matang,” kata Filep, mengingatkan agar regulasi yang ada tidak merugikan masyarakat adat dan Pemda.
(hri)