Kuto Gawang, Keraton Kerajaan Palembang yang Hilang Misterius Dihancurkan VOC

Sabtu, 25 Mei 2024 - 06:25 WIB
loading...
Kuto Gawang, Keraton Kerajaan Palembang yang Hilang Misterius Dihancurkan VOC
Sketsa Keraton Kuto Gawang yang kini menjadi Pabrik PT Pusri di Palembang, Sumatera Selatan. Foto/Istimewa
A A A
Kerajaan Palembang awalnya ditaklukkan oleh Majapahit sehingga menjadi wilayah bawahan. Di kerajaan konon pengaruh Islam sudah mulai masuk ketika Majapahit melakukan ekspansi wilayah ke Sumatera dan menundukkannya.

Namun ketika tahun 1596 ketika Majapahit runtuh, Palembang menjadi wilayah taklukkan VOC. Sejak tahun 1601 telah ada Sultan Palembang, yang berhubungan dengan VOC. Bahkan beberapa kali interaksi dengan VOC cukup intensif.

Satu nama tokoh muncul dari pemerintahan Kerajaan Palembang yakni Susuhunan Abdurrahman, tahun 1659. Hingga akhirnya di awal abad 17, Palembang menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang bercorak Islam.



Konon saat itu ada seorang pejabat di sana yang merupakan keturunan bangsawan Kesultanan Demak, akibat kemelut politik di Demak pasca meninggalnya Sultan Trenggana, sebagaimana dikutip dari "Sejarah Kerajaan Bawahan Majapahit di Luar Jawa dan Luar Negeri".

Pada masa itu pusat pemerintahan di daerah sekitar Kelurahan DuaIlir, di tempat yang sekarang merupakan kompleks PT Pupuk Sriwijaya. Secara natural, lokasi keraton Kesultanan Palembang cukup strategis.

Bahkan secara teknis diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup, yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah Sungai Musi.

Keraton Palembang yang dibangunnya itu disebut Keraton Kuto Gawang, yang bentuknya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30x30 sentimeter per batangnya.



Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede, atau 1093 meter, baik panjang maupun lebarnya.Kota ini dikelilingi dinding setinggi 24 kaki atau sekitar 7,25 meter.

Di mana orang-orang Tionghoa dan Portugis tinggal di tepi Sungai Musi. Sebagaimana dilukiskan dalam sketsa Joan Van der Laen, kota menghadap ke arah Sungai Musi, atau ke arah selatan dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas.

Di sebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya berbatasan dengan Sungai Buah. Pada gambar sketsa tahun 1659, Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah, tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung.

Sebagai batas kota sisi utara dibatasi dengan pagar dari kayu besi dan kayu unglen.

Di tengah benteng tampak berdiri megah bangunan keraton, yang letaknya di sebelah barat Sungai Rengas. Benteng keraton ini mempunyai tiga buah baluarti, yang dibuat dari konstruksi batu.

Orang-orang asing ditempatkan di seberang sungai tepatnya di sisi selatan Sungai Musi, sebelah barat muara Sungai Komering, atau sekarang daerah Seberang Ulu, Plaju. Sayang Keraton Kuto Gawang ini akhirnya dihancurkan oleh VOC pada tahun 1659.

Kemudian oleh Susuhunan Abdurrahman pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut, yang letaknya di sekitar kawasan Masjid Lama II.

Sayang hingga sekarang ini tidak ditemukan data tertulis, maupun gambar sketsa mengenai keberadaan, bentuk, dan ukuran keraton. Daerah sekitar Keraton Beringin Janggut dibatasi oleh sungai-sungai yang saling berhubungan.

Kawasan keraton sendiri dibatasi oleh Sungai Musi di selatan, Sungai Tengkuruk di sebelah barat, Sungai Penedan di sebelah utara, dan Sungai Rendang/Sungai Karang Waru di sebelah timur.

Sungai Penedan adalah sebuah kanal yang menghubungkan Sungai Kemenduran, Sungai Kapuran, dan Sungai Kebon Duku.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1881 seconds (0.1#10.140)
pixels