Fenomena No Viral No Justice, Senator Filep: Negara Wajib Menyediakan Rasa Keadilan

Kamis, 23 Mei 2024 - 19:24 WIB
loading...
Fenomena No Viral No...
Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma menilai, negara wajib menyediakan rasa keadilan bagi warga negara dan harus ditangani tanpa menunggu kasusnya viral. Foto/Ist
A A A
BANDUNG - Masyarakat tengah dihebohkan dengan kasus pelanggaran hukum di Tanah Air yang terkuak dalam beberapa hari belakangan ini. Persoalan hukum baru ditangani aparat penegak hukum usai kasus itu viral.

Bahkan, tak sedikit pula masyarakat yang mengunggah persoalan hukum yang dihadapinya ke media sosial guna mendapat dukungan dari masyarakat luas dalam memperjuangkan keadilan.



Terkait fenomena ini, Wakil Ketua Komite I DPD RI Filep Wamafma menilai, negara wajib menyediakan rasa keadilan bagi warga negara, bukan sebaliknya mereka yang mencari keadilan sehingga negara terkesan abai dalam perlindungan terhadap masyarakatnya sendiri.

“Ada anggapan di masyarakat bahwa penegakan hukum dan pencarian keadilan akan ditangani kalau kasusnya viral, terutama melalui media sosial. Di satu sisi kita bersyukur masyarakat melek hukum dan punya hati nurani hukum yang peka. Tapi di sisi lain pemerintah gagal mengayomi masyarakat, pemerintah gagal hadir dan menjadi pelindung masyarakat dan menyediakan rasa keadilan,” kata Filep, Kamis (23/5/2024).

Senator Filep menyinggung sejumlah kasus seperti bea cukai, kasus asuransi yang berjalan di tempat, kasus pidana yang terungkap kembali seperti kasus Vina Cirebon.

Kemudian, kasus pembunuhan yang sampai sekarang masih misteri misalnya pembunuhan Akseyna, mahasiswa UI yang sampai 8 tahun juga belum terungkap. Termasuk kasus pertanahan masyarakat adat.



Menurut Filep, sederet persoalan ini membuat publik menilai, masyarakat kecil sangat sulit mencari keadilan seandainya saja tidak viral. Filep pun memberi kritik tajam terhadap tugas negara sesuai amanat konstitusi.

“Sebagai contoh, persoalan investasi yang berdampak pada perampasan wilayah masyarakat Adat di Pulau Rempang. Masyarakat bahkan berhadapan dengan aparat. Atau Masyarakat Adat Rendu, di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tempat dibangunnya Bendungan Lambo yang ditengarai merampas perkebunan, ruang hidup, dan tempat bahan baku tenun alami masyarakat disana,” urainya.



Filep menambahkan, catatan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut sekitar 2.578.073 hektare wilayah adat dirampas oleh negara dan korporasi. Hal ini bertentangan dengan amanat konstitusi Pasal 18B di mana negara seharusnya menghormati eksistensi masyarakat adat.

“Konstitusi sudah mengaturnya supaya ada keadilan, atau supaya masyarakat adat tidak bersusah payah mencari keadilan, karena harusnya pemerintahlah yang menyediakan keadilan itu. Bila kita cermati, persoalan pertanahan ini selalu berkait erat dengan pembangunan infrastruktur dan kini dengan Proyek Strategis Nasional (PSN), ini harus menjadi bahan kajian dan evaluasi,” kata Filep.

“Begitu juga kasus HAM. Ada 17 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998," katanya.

Termasuk kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003, pembunuhan dukun santet 1998, Peristiwa simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, Rumah Geudong 1989-1998, Timang Gajah 2000-2003 dan Kasus Paniai 2014.

"Seluruh peristiwa tersebut sudah diselidiki Komnas HAM, namun baru kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, Abepura dan Paniai yang telah memiliki putusan pengadilan. Itupun hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban," ujar Filep.

Filep juga mengkritik penegakan hukum yang dilalui masyarakat. Berdasarkan sejumlah kasus menunjukkan perjuangan masyarakat mencari keadilan pun sangat lama dengan proses pengadilan yang panjang. Hal ini berdampak pada semakin jauh keadilan yang dicari oleh rakyat.

“Celakanya, oknum penegak hukum tertentu seperti tidak serius menangani kasus yang dilimpahkan kepada mereka," katanya.

Sebelumnya, kata dia, ada kasus Mohamad Irfan Bahri, remaja asal Madura yang ditetapkan sebagai tersangka usai membela diri dari serangan pelaku begal pada 2018 lalu.

Kemudian kasus ZA di Malang yang dihukum penjara padahal membela diri juga.

"Ini kan semacam ketidakprofesionalan aparat penegak hukum," ucapnya.

Ada juga kasus Nenek Minah yang memetik 3 buah kakao di perkebunan yang berujung jadi tersangka.

"Lagi-lagi, no viral no justice. Di sinilah saya kembali bertanya, mengapa masyarakat sulit mencari keadilan di tengah negara hukum dan demokrasi ini?” tanya Filep.

Dari aspek warga negara, secara umum amanat konstitusi sudah jelas yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah atau kemanusiaan. Pembelajar hukum pasti paham bahwa penegakan hukum dan pencapaian keadilan itu bisa berhasil jika aturan yang bagus didukung oleh aparat yang berintegritas.

Kedua hal ini yang akan menciptakan rasa percaya (trust) masyarakat, bahwa masyarakat akan mendapatkan keadilan karena keadilan sudah disediakan negara.

"Saya berharap berbagai kejadian ini bisa menjadi catatan dan evaluasi pemerintah terutama institusi penegak hukum, sehingga masyarakat tak kesulitan mencari keadilan,” ujarnya.
(shf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2564 seconds (0.1#10.140)