Bung Karno Meracik Kemerdekaan Sejak di Peneleh
loading...
A
A
A
SURABAYA - Konsep kemerdekaan Indonesia sudah ditanamkan benihnya oleh Soekarno muda ketika dirinya tinggal di kamar kos gelap tanpa jendela dan pintu di Peneleh Surabaya. Dalam kegelapan dan cermin yang kusam, singa podium melatih auman pertamanya untuk menyatukan rakyat Indonesia.
Bung Karno datang ke Surabaya di usia 15 tahun dan tinggal di rumah kos milik Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Ia merupakan indung semang yang dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakan massa. Peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams menjelakan, tiap malam di rumah Peneleh gang VII itu selalu datang para tokoh pergerakan nasional untuk bertemu dengan Tjokroaminoto. Bung Karno kecil tak mau melewatkan momen itu, ia duduk di lantai sambil mendengarkan berbagai percakapan bapak bangsa.
Dalam larut malam yang begitu dingin, Bung Karno masih tetap memasang mata, tanpa melewatkan sedikitpun percakapan. “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” cletuk Bung Karno.
“Anak ini sangat ingin tahu,” kata Tjokroaminoto. Kemudian menambahkan,” De Vereenigde Oost Indische Compagnie atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahunnya untuk memberi makan Den Haag.”
(Baca juga: 2.694 ASN di Jatim Raih Tanda Kehormatan Satyalancana Karya )
Begitulah tiap malam. Dalam pekat kopi yang tersaji sampai pagi bersama dengan obrolan berbagai macam jenis tokoh yang ditemuinya di rumah Tjokroaminoto. Semuanya diserap, dibawanya masuk ke kamar gelap tanpa jendela dan pintu. Dimulainya petualangan kata yang mengelegar.
Kamarnya yang gelap selalu memunculkan pelita di hatinya. Soekarno muda sering berbicara di kamar yang sempit dengan Thomas Jefferson. “Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia, karena di bercerita kepada aku tentang declaration of independence yang ditulisnya di tahun 1776. Aku memperbincangkan dengan dia persoalan George Washinton. Aku mengalami lagi perjalanan Paul Revere. Aku dengan sengaja mencari-cara kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln, sehingga aku dapat mempersoalkan hal ini dengan dia,” katanya.
Racikan nasionalisme di dapur Surabaya benar-benar membentuk pemikiran Bung Karno. Dengan tegas Bung Karno menyebut pengaruh berbagai tokoh dalam membangun semangat kemerdekaan dalam dirinya. “Dalam dunia pemikiranku, aku pun berbicara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang memiliki gerakan buruh Inggris. Aku pun berhadapan muka dengan Mazzini, Cafour dan Garibaldi dari Italia,” katanya.
Pada kamar yang sempit itu, Soekarno membentuk dirinya menjadi singa podium. Sebuah cermin di kamar kos yang gelap tanpa lampu penerangan melatih Putra Sang Fajar untuk mengerakan ribuan massa melawan penjajah. Di depan cermin yang menempel di kamar kos Sukarno, tepatnya di bagian paling belakang rumah Tjokroaminoto telah menjadikan suara-suara perlawanan yang sampai kini masih terdengar nyaring di telinga bangsa Indonesia.
(Baca juga: HUT RI di Tengah Pandemi, MUI Ajak Teguhkan Komitmen Kebangsaan )
Alimin dan Muso juga satu rumah sama Bung Karno. Mereka merasakan betul gesekan intelektual dan gagasan gila kemerdekaan di gang Peneleh. Di kamar mereka, tumpukan buku-buku kiri memenuhi sudut ruangan. Kamar itu seketika menjadi dapur Marxis dan Hegelian. Keduanya pun memperkenalkan konsep pemikiran kiri dari buku-buku yang dibaca di kamar-kamar Peneleh. Soekarno sendiri dalam ceritanya sempat mengaku kalau dirinya dikenalkan pemikiran kiri oleh teman kosnya, Alimin.
“Aku pun berhadapan dengan Karl Marx, Friederich Engels, dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Prancis. Aku meneguk semua cerita ini. Kualami kehidupan mereka. Aku sebenarnya adalah Voltaire. Aku adalah Danton, pejuang besar dari revolusi Perancis. Seribu kali aku menyelamatkan Perancis seorang diri dalam kamarku yang gelap,” kata Bung Karno.
Pada beberapa kesempatan, tokoh-tokoh Islam juga datang ke gang Peneleh. Menyempurnakan masakan nasionalisme Bung Karno di Surabaya. Mereka adalah Ahmad Dahlan yang jadi pendiri organisasi Muhammadiyah. Berbagai haluan garis perjuangan bermuara satu di rumah nomor 29-31 tersebut. Selain berdiskusi tentang perjuangan dan penjajahan, Tjokroaminoto juga membentuk forum dakwah Ta’mirul Ghofilin.
Forum diskusi tiap malam di Peneleh mampu menempa pemuda seperti Soekarno, Musso, Semaon, Alimin dan Kartosoewirjo. Jendela kecil di ruang tamu telah membuka mata para pemuda itu untuk berbicara lantang di depan moncong senjata. Soekarno menunjukan itu dengan perlawanan di atas podium, Musso mengerakan buruh kereta api untuk melawan Belanda, Alimin melakukan agitasi pada para petani untuk melawan demi kemakmuran.
Sebelum menulis Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, jauh sebelum itu darah Bung Karno sudah mendidih ketika memasak nasionalisme dalam dirinya. Mendengar jeritan rakyat dan membungkusnya dalam perlawanan pada para penjajah. Dari kamar kecil tanpa cahaya itu, Bung Karno melihat masa depan Indonesia.
Bung Karno datang ke Surabaya di usia 15 tahun dan tinggal di rumah kos milik Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Ia merupakan indung semang yang dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakan massa. Peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams menjelakan, tiap malam di rumah Peneleh gang VII itu selalu datang para tokoh pergerakan nasional untuk bertemu dengan Tjokroaminoto. Bung Karno kecil tak mau melewatkan momen itu, ia duduk di lantai sambil mendengarkan berbagai percakapan bapak bangsa.
Dalam larut malam yang begitu dingin, Bung Karno masih tetap memasang mata, tanpa melewatkan sedikitpun percakapan. “Berapa banyak yang diambil Belanda dari Indonesia?” cletuk Bung Karno.
“Anak ini sangat ingin tahu,” kata Tjokroaminoto. Kemudian menambahkan,” De Vereenigde Oost Indische Compagnie atau mencuri kira-kira 1.800 juta gulden dari tanah kita setiap tahunnya untuk memberi makan Den Haag.”
(Baca juga: 2.694 ASN di Jatim Raih Tanda Kehormatan Satyalancana Karya )
Begitulah tiap malam. Dalam pekat kopi yang tersaji sampai pagi bersama dengan obrolan berbagai macam jenis tokoh yang ditemuinya di rumah Tjokroaminoto. Semuanya diserap, dibawanya masuk ke kamar gelap tanpa jendela dan pintu. Dimulainya petualangan kata yang mengelegar.
Kamarnya yang gelap selalu memunculkan pelita di hatinya. Soekarno muda sering berbicara di kamar yang sempit dengan Thomas Jefferson. “Aku merasa dekat dan bersahabat dengan dia, karena di bercerita kepada aku tentang declaration of independence yang ditulisnya di tahun 1776. Aku memperbincangkan dengan dia persoalan George Washinton. Aku mengalami lagi perjalanan Paul Revere. Aku dengan sengaja mencari-cara kesalahan dalam kehidupan Abraham Lincoln, sehingga aku dapat mempersoalkan hal ini dengan dia,” katanya.
Racikan nasionalisme di dapur Surabaya benar-benar membentuk pemikiran Bung Karno. Dengan tegas Bung Karno menyebut pengaruh berbagai tokoh dalam membangun semangat kemerdekaan dalam dirinya. “Dalam dunia pemikiranku, aku pun berbicara dengan Gladstone dari Britannia ditambah dengan Sidney dan Beatrice Webb yang memiliki gerakan buruh Inggris. Aku pun berhadapan muka dengan Mazzini, Cafour dan Garibaldi dari Italia,” katanya.
Pada kamar yang sempit itu, Soekarno membentuk dirinya menjadi singa podium. Sebuah cermin di kamar kos yang gelap tanpa lampu penerangan melatih Putra Sang Fajar untuk mengerakan ribuan massa melawan penjajah. Di depan cermin yang menempel di kamar kos Sukarno, tepatnya di bagian paling belakang rumah Tjokroaminoto telah menjadikan suara-suara perlawanan yang sampai kini masih terdengar nyaring di telinga bangsa Indonesia.
(Baca juga: HUT RI di Tengah Pandemi, MUI Ajak Teguhkan Komitmen Kebangsaan )
Alimin dan Muso juga satu rumah sama Bung Karno. Mereka merasakan betul gesekan intelektual dan gagasan gila kemerdekaan di gang Peneleh. Di kamar mereka, tumpukan buku-buku kiri memenuhi sudut ruangan. Kamar itu seketika menjadi dapur Marxis dan Hegelian. Keduanya pun memperkenalkan konsep pemikiran kiri dari buku-buku yang dibaca di kamar-kamar Peneleh. Soekarno sendiri dalam ceritanya sempat mengaku kalau dirinya dikenalkan pemikiran kiri oleh teman kosnya, Alimin.
“Aku pun berhadapan dengan Karl Marx, Friederich Engels, dan Lenin dari Rusia dan aku mengobrol dengan Jean Jacques Rousseau, Aristide Briand dan Jean Jaures ahli pidato terbesar dalam sejarah Prancis. Aku meneguk semua cerita ini. Kualami kehidupan mereka. Aku sebenarnya adalah Voltaire. Aku adalah Danton, pejuang besar dari revolusi Perancis. Seribu kali aku menyelamatkan Perancis seorang diri dalam kamarku yang gelap,” kata Bung Karno.
Pada beberapa kesempatan, tokoh-tokoh Islam juga datang ke gang Peneleh. Menyempurnakan masakan nasionalisme Bung Karno di Surabaya. Mereka adalah Ahmad Dahlan yang jadi pendiri organisasi Muhammadiyah. Berbagai haluan garis perjuangan bermuara satu di rumah nomor 29-31 tersebut. Selain berdiskusi tentang perjuangan dan penjajahan, Tjokroaminoto juga membentuk forum dakwah Ta’mirul Ghofilin.
Forum diskusi tiap malam di Peneleh mampu menempa pemuda seperti Soekarno, Musso, Semaon, Alimin dan Kartosoewirjo. Jendela kecil di ruang tamu telah membuka mata para pemuda itu untuk berbicara lantang di depan moncong senjata. Soekarno menunjukan itu dengan perlawanan di atas podium, Musso mengerakan buruh kereta api untuk melawan Belanda, Alimin melakukan agitasi pada para petani untuk melawan demi kemakmuran.
Sebelum menulis Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, jauh sebelum itu darah Bung Karno sudah mendidih ketika memasak nasionalisme dalam dirinya. Mendengar jeritan rakyat dan membungkusnya dalam perlawanan pada para penjajah. Dari kamar kecil tanpa cahaya itu, Bung Karno melihat masa depan Indonesia.
(msd)