Gandeng UGM, Kominfo Susun Panduan Etika Artificial Intelligence

Jum'at, 08 Maret 2024 - 22:07 WIB
loading...
Gandeng UGM, Kominfo Susun Panduan Etika Artificial Intelligence
Wamen Kominfo, Nezar Patria dan Rektorat UGM meluncurkan Center of Al Ethic di Kampus UGM, Yogyakarta, Jumat (8/3/2024). Foto/MPI/Erfan Erlin
A A A
YOGYAKARTA - Indonesia bakal berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara pada 2030 mendatang dan menjadi negara satu-satunya dengan populasi penduduk paling besar dengan pertumbuhan angkatan muda yang luar biasa.

Selain itu memiliki 9 juta talenta digital di tahun 2030. Potensi talenta digital yang cukup banyak ini bakal menjadikan Indonesia menyumbang 30 persen pertumbuhan ekonomi digital ASEAN.



Sedangkan pertumbuhan ekonomi digital negaranegara di Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh pesat hingga menembus USD1 triliun.

"Di satu sisi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada 2030 akan mencapai USD366 juta," kata Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (8/3/2024).

Dia menjadi pembicara kunci dalam acara “Artificial Intelligence Publik Discussion: Moving Ethical Al from Voluntary Commitments to Binding Regulations'.

Pihaknya bakal memberikan rambu-rambu dalam pemanfaatan Artificial Intelligence (Al) agar berjalan sesuai koridor guna mendukung pertumbuhan ekonomi digital tanah air.



Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menerbitkan surat edaran (SE) mengenai etika penggunaan dan pemanfaatan Artificial Intelligence (Al) atau kecerdasan artifisial.

SE Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial ini memuat tiga kebijakan yaitu nilai etika, pelaksanaan nilai etika, dan tanggung jawab dalam pemanfaatan dan pengembangan kecerdasan artifisial. Panduan ini untuk tata kelola Al dan memang ditujukan pada industri yang mengadopsi Al.

"Ya harapannya bisa memandu dari aspek-aspek etis," tambahnya.

Penggunaan Al juga berdampak pada banyak sektor seperti ekonomi, sosial dan Lainnya. Sehingga SE tersebut sangat dibutuhkan mengingat saat ini teknologi Al banyak disalahgunakan. Bahkan perempuan seringkali menjadi korban muatan pornografi dan target teknologi deepfake Al.

"Pemanfaatan Al pada sistem pengenalan wajah memiliki risiko penyalahgunaan data, pelanggaran prinsip perlindungan data pribadi dan keamanan siber," tambahnya.

Karena itu dengan diterbitkannya SE penggunaan etik Al bisa menjadi soft regulation atau panduan bagi masyarakat untuk memanfaatkannya dengan baik. Dengan demikian mereka tidak melanggar hukum.

Sebagai langkah awal, prinsip-prinsip etika dalam SE ini mengakomodasi sejumlah elemen. Namun, mengingat besarnya dampak dari teknologi ini, penting untuk mulai mengembangkan regulasi tata kelola yang lebih mengikat, tidak hanya menggunakan kerangka etika.

"Pengembangan regulasi menjadi tahapan penting dalam mengidentifikasi teknologi ini, mekanisme safeguard yang lebih kuat sekaligus rujukan dalam mendorong pertumbuhan ekosistem insdustri kecerdasan artifisial," kata Nezar.

Dekan Filsafat UGM, Siti Murtiningsih mengungkapkan, di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang pesat maka kehadiran teknologi Al menimbulkan tantangan etis.

Karenanya perkembangan Al harus sejalan dengan nilai moral dan etika di masyarakat, serta tidak merugikan dari sisi aspek kemanusiaan.

"Diperlukan instrumen hukum yang lebih mengikat bagi semua kepentingan masyarakat dan industri terkait dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan," tegasnya.
(shf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4853 seconds (0.1#10.140)