Akademisi Lintas Kampus di Malang Serukan Keprihatinan Krisis Etika Moral Para Pemimpin
loading...
A
A
A
MALANG - Puluhan orang dari akademisi dan gabungan masyarakat Malang raya melakukan aksi mengecam atas minimnya moral dan etika para pemimpin negara. Aksi ini digelar di Bundaran Tugu, Malang, pada Senin (5/1/2024) pagi, dengan membacakan sikap dari akademi lintas perguruan tinggi.
Terlihat ada puluhan dari masyarakat dari Malang, baik dari dosen lintas kampus , para wakil rektor sejumlah perguruan tinggi swasta, perwakilan elemen masyarakat sipil, LSM, ibu rumah tangga, bergabung dalam aksi itu. Mereka menyampaikan keprihatinan dan mengancam adanya reformasi jilid dua, jika moralitas dan etika terus digeruskan.
Perwakilan akademisi Malang Raya Purnawan Dwikora Negara menyatakan, aksi ini dilandasi oleh hilangnya moral dan etika, yang dicontohkan oleh para pemimpin negara. Maka seruan bersama dari 86 elemen masyarakat sipil dan akademisi ini dinamakan seruan luhur, sebagai bagian dari mengingatkan hilangnya etika dan moral.
"Pagi ini menyatakan seruan luhur, karena kami berangkat dari menyangkut keluhuran budi, etika, sebuah situasi moral etik, yang saat ini sedang tergerus, terdegradasi. Kami namakan seruan masyarakat sipil Malang raya jilid dua," ujar Purnawan Dwikora Negara.
Purnawan menjelaskan, para akademisi di Malang bergerak karena selama ini sejumlah masukan - masukan di forum akademisi, tidak pernah didengarkan dan dijalankan. Mereka menunggu waktu ketika saran masukan itu tidak didengar dalam forum-forum formal, maka diputuskan untuk bergerak turun ke jalan.
"Selama ini dosen-dosen tidak diam, ada forum rektor di perguruan tinggi, ketika tidak banyak direspons. Kenapa kita turun, kita melihat partai - partai oposisi tidak mengambil peran, dan tidak mengambil bagian. Yang terjadi sekarang kelompok oposisi menjadi bagian yang menikmati," tuturnya.
Menurut dia, lembaga-lembaga negara formal yang menjadi kontrol, DPR, RI, DPRD, juga menjadi hal yang sama, sehingga pergerakannya didasari seruan moral. Apalagi etika moral menjadi landasan pada perundang-undangan Tap MPR RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, telah tegas menyatakan kita mengalami kurangnya keteladanan dalam sikap, dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa.
"Indonesia krisis keteladanan, krisis etika, krisis hukum dan krisis multidimensi. Etika merupakan basis fundamental dalam proses terbentuknya suatu bangsa. Runtuhnya etika berbangsa, maka akan membawa akibat pada runtuhnya bangsa tersebut," paparnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang ini menambahkan, etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
"Telah terjadi gejala kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang tampak dari gejala praktik penyalahgunaan kewenangan, dan kekuasaan," jelasnya.
Sementara itu, seorang ibu rumah tangga Happy Budi Febriasi mengatakan, para pemimpin negara ini saat mulai berkurang etika, dan negara yang dicontohkan kepada para generasi penerus bangsa. Sebagai ibu rumah tangga dia merasa kecewa, apalagi pendidikan moral dan etika merupakan hal utama.
"Praktek KKN yang dilakukan dengan telanjang dan kasar mata, bahwa ini adalah pemimpin yang dipilih oleh kita. Itu yang kemudian kita takutkan, ada pendidikan etika, atmosfer yang akhirnya mau tidak mau sebagai warga negara hirup," ujar Happy Budi.
Sebelumnya aksi pernyataan menolak pembungkaman demokrasi dan berkurangnya etika moral yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, dan beberapa pejabat negara. Mereka memanfaatkan bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan politik dan mengarahkan dukungan ke salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
Terlihat ada puluhan dari masyarakat dari Malang, baik dari dosen lintas kampus , para wakil rektor sejumlah perguruan tinggi swasta, perwakilan elemen masyarakat sipil, LSM, ibu rumah tangga, bergabung dalam aksi itu. Mereka menyampaikan keprihatinan dan mengancam adanya reformasi jilid dua, jika moralitas dan etika terus digeruskan.
Perwakilan akademisi Malang Raya Purnawan Dwikora Negara menyatakan, aksi ini dilandasi oleh hilangnya moral dan etika, yang dicontohkan oleh para pemimpin negara. Maka seruan bersama dari 86 elemen masyarakat sipil dan akademisi ini dinamakan seruan luhur, sebagai bagian dari mengingatkan hilangnya etika dan moral.
"Pagi ini menyatakan seruan luhur, karena kami berangkat dari menyangkut keluhuran budi, etika, sebuah situasi moral etik, yang saat ini sedang tergerus, terdegradasi. Kami namakan seruan masyarakat sipil Malang raya jilid dua," ujar Purnawan Dwikora Negara.
Purnawan menjelaskan, para akademisi di Malang bergerak karena selama ini sejumlah masukan - masukan di forum akademisi, tidak pernah didengarkan dan dijalankan. Mereka menunggu waktu ketika saran masukan itu tidak didengar dalam forum-forum formal, maka diputuskan untuk bergerak turun ke jalan.
"Selama ini dosen-dosen tidak diam, ada forum rektor di perguruan tinggi, ketika tidak banyak direspons. Kenapa kita turun, kita melihat partai - partai oposisi tidak mengambil peran, dan tidak mengambil bagian. Yang terjadi sekarang kelompok oposisi menjadi bagian yang menikmati," tuturnya.
Menurut dia, lembaga-lembaga negara formal yang menjadi kontrol, DPR, RI, DPRD, juga menjadi hal yang sama, sehingga pergerakannya didasari seruan moral. Apalagi etika moral menjadi landasan pada perundang-undangan Tap MPR RI No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, telah tegas menyatakan kita mengalami kurangnya keteladanan dalam sikap, dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa.
"Indonesia krisis keteladanan, krisis etika, krisis hukum dan krisis multidimensi. Etika merupakan basis fundamental dalam proses terbentuknya suatu bangsa. Runtuhnya etika berbangsa, maka akan membawa akibat pada runtuhnya bangsa tersebut," paparnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang ini menambahkan, etika dalam kehidupan berbangsa mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa.
"Telah terjadi gejala kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang tampak dari gejala praktik penyalahgunaan kewenangan, dan kekuasaan," jelasnya.
Sementara itu, seorang ibu rumah tangga Happy Budi Febriasi mengatakan, para pemimpin negara ini saat mulai berkurang etika, dan negara yang dicontohkan kepada para generasi penerus bangsa. Sebagai ibu rumah tangga dia merasa kecewa, apalagi pendidikan moral dan etika merupakan hal utama.
"Praktek KKN yang dilakukan dengan telanjang dan kasar mata, bahwa ini adalah pemimpin yang dipilih oleh kita. Itu yang kemudian kita takutkan, ada pendidikan etika, atmosfer yang akhirnya mau tidak mau sebagai warga negara hirup," ujar Happy Budi.
Sebelumnya aksi pernyataan menolak pembungkaman demokrasi dan berkurangnya etika moral yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, dan beberapa pejabat negara. Mereka memanfaatkan bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan politik dan mengarahkan dukungan ke salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu.
(wib)