Kisah Raden Ronggo Prawirodirjo III, Mertua Pangeran Diponegoro yang Dibenci Belanda
loading...
A
A
A
Raden Ronggo Prawirodirjo III (1796-1810) merupakan Bupati Wedana Madiun sekaligus mertua Pangeran Diponegoro yang sepak terjangnya dibenci kolonial Belanda.
Pada masa itu Madiun merupakan bagian dari Kerajaan Mataram (Yogyakarta) yang biasa disebut sebagai wilayah monconegoro atau mancanegara bagian timur.
Sikap berani Raden Ronggo membuat Belanda selalu berusaha untuk menyingkirkannya. Namun pada sisi lain merasa segan ketika harus berhadap-hadapan secara langsung.
Dengan kepintaran sekaligus kewibawaan yang dimiliki, Raden Ronggo tidak pernah gentar berselisih dengan pemerintahan Eropa di bawah Marsekal Herman Willem Daendels.
“Dia (Raden Ronggo Prawirodirjo III) merupakan salah satu anggota administrator kerajaan yang hebat dan sangat berpengaruh,” demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).
Raden Ronggo merupakan menantu kesayangan Sultan Sepuh atau Hamengkubuwono II. Raden Ronggo menikahi Ratu Maduretno, putri HB II yang pada 16 November 1809 meninggal dunia saat melahirkan.
Jenazah Ratu Maduretno dimakamkan di Giripurno, wilayah Gunung Bancak, Kabupaten Magetan Jawa Timur. Kematian Ratu Maduretno konon sempat membuat Raden Ronggo Prawirodirjo III terpukul dan nyaris putus asa.
Sementara rasa tidak suka Belanda terhadap Raden Ronggo Prawirodirjo III dimulai dari urusan kayu. Raden Ronggo berani menentang kebijakan Residen Yogyakarta Johannes Wilhelmus Moorress terkait pembelian kayu di monconegoro.
Perintah Moorress mengekstradisi seorang Mantri Kliwon dari Demak bahkan disabotasenya. Puncaknya pada Februari 1810. Gubernur Jenderal Daendels mendapat laporan adanya peristiwa pembakaran dan penjarahan Desa Ngebel dan Desa Sekedok di Kabupaten Ponorogo.
Insiden yang terjadi dilaporkan atas perintah Raden Ronggo Prawirodirjo III mengingat Ponorogo merupakan wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Surakarta.
Pada masa itu Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta berada dalam situasi perselisihan.
Raden Ronggo III diputuskan bersalah dan Belanda menuntut Sultan Yogyakarta menyerahkan kepada pemerintah Eropa. Karena terus ditekan, Sultan HB II akhirnya menyatakan bersedia.
“Sultan berjanji bahwa Raden Ronggo akan diberangkatkan ke Buitenzorg (Bogor) pada 26 November 1810”.
Mendengar hendak dijadikan tawanan, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih melawan. Ia angkat kaki dari istana Yogya dengan membawa serta 300 pasukan bersenjata lengkap.
Raden Ronggo Prawirodirjo III melarikan diri ke Madiun dengan meninggalkan dua pucuk surat di kediamannya di Kranggan Yogyakarta. Surat ditujukan kepada Tumenggung Notodiningrat dan dan Tumenggung Sumodiningrat.
Inti suratnya, Raden Ronggo menyatakan telah merencanakan perang melawan orang-orang Eropa dan Surakarta, dan seterusnya akan menempuh jalan hidup sebagai pengembara.
Raden Ronggo meminta keraton Yogyakarta dijaga dengan baik. Ia juga meminta jembatan menuju Yogyakarta dihancurkan agar tidak ada pasukan yang dikirim.
Raden Ronggo juga meminta Sultan Yogya mendukung usahanya. “Dalam perjalanan menuju Madiun Raden Ronggo sempat membakar dan menjarah beberapa desa kekuasaan Solo”.
Raden Ronggo menyerukan kepada semua orang Jawa dan Tionghoa untuk bersatu menggulingkan otoritas Eropa bersamanya dan sekaligus menghancurkan Surakarta.
Sebagai Bupati Wedana Madiun yang membawahi 14 bupati, Raden Ronggo tidak berhenti mengonsolidasikan kekuatan perangnya. “Dia juga menyematkan gelar Susuhunan Prabu Ingalaga kepada dirinya,” demikian dilansir dari Antara Lawu dan Wilis.
Sementara karena takut oleh tekanan Belanda, Sultan HB II yang juga mertua Raden Ronggo III memutuskan meringkus menantunya sendiri. Raden Ronggo III telah dicap sebagai pemberontak.
Disokong oleh Belanda, Sultan HB II mengirimkan dekrit kepada seluruh bupati monconegoro bagian Timur untuk menangkap Raden Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati.
Pada 17 Desember 1810. Dalam sebuah pertempuran di Desa Sekaran, tepi Bengawan Solo wilayah Bojonegoro, Raden Ronggo Prawirodirjo III dan tangan kanannya, yakni Bupati Jipang-Kepadangan, terbunuh.
Jenazah keduanya dibawa ke Yogyakarta dan dipertontonkan kepada masyarakat. Keduanya dimakamkan di pemakaman Banyusumurup, yakni dekat Imogiri yang dikenal sebagai makam bagi mereka yang berani menentang raja.
Kelak, menantu Raden Ronggo Prawirodirjo III, yakni Pangeran Diponegoro dan putranya dari istri selir, yakni Sentot Alibasah Prawirodirjo memimpin Perang Jawa (1825-1830) melawan kolonial Belanda.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
Pada masa itu Madiun merupakan bagian dari Kerajaan Mataram (Yogyakarta) yang biasa disebut sebagai wilayah monconegoro atau mancanegara bagian timur.
Sikap berani Raden Ronggo membuat Belanda selalu berusaha untuk menyingkirkannya. Namun pada sisi lain merasa segan ketika harus berhadap-hadapan secara langsung.
Dengan kepintaran sekaligus kewibawaan yang dimiliki, Raden Ronggo tidak pernah gentar berselisih dengan pemerintahan Eropa di bawah Marsekal Herman Willem Daendels.
“Dia (Raden Ronggo Prawirodirjo III) merupakan salah satu anggota administrator kerajaan yang hebat dan sangat berpengaruh,” demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).
Raden Ronggo merupakan menantu kesayangan Sultan Sepuh atau Hamengkubuwono II. Raden Ronggo menikahi Ratu Maduretno, putri HB II yang pada 16 November 1809 meninggal dunia saat melahirkan.
Jenazah Ratu Maduretno dimakamkan di Giripurno, wilayah Gunung Bancak, Kabupaten Magetan Jawa Timur. Kematian Ratu Maduretno konon sempat membuat Raden Ronggo Prawirodirjo III terpukul dan nyaris putus asa.
Sementara rasa tidak suka Belanda terhadap Raden Ronggo Prawirodirjo III dimulai dari urusan kayu. Raden Ronggo berani menentang kebijakan Residen Yogyakarta Johannes Wilhelmus Moorress terkait pembelian kayu di monconegoro.
Perintah Moorress mengekstradisi seorang Mantri Kliwon dari Demak bahkan disabotasenya. Puncaknya pada Februari 1810. Gubernur Jenderal Daendels mendapat laporan adanya peristiwa pembakaran dan penjarahan Desa Ngebel dan Desa Sekedok di Kabupaten Ponorogo.
Insiden yang terjadi dilaporkan atas perintah Raden Ronggo Prawirodirjo III mengingat Ponorogo merupakan wilayah di bawah kekuasaan Kerajaan Surakarta.
Pada masa itu Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta berada dalam situasi perselisihan.
Raden Ronggo III diputuskan bersalah dan Belanda menuntut Sultan Yogyakarta menyerahkan kepada pemerintah Eropa. Karena terus ditekan, Sultan HB II akhirnya menyatakan bersedia.
“Sultan berjanji bahwa Raden Ronggo akan diberangkatkan ke Buitenzorg (Bogor) pada 26 November 1810”.
Mendengar hendak dijadikan tawanan, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih melawan. Ia angkat kaki dari istana Yogya dengan membawa serta 300 pasukan bersenjata lengkap.
Raden Ronggo Prawirodirjo III melarikan diri ke Madiun dengan meninggalkan dua pucuk surat di kediamannya di Kranggan Yogyakarta. Surat ditujukan kepada Tumenggung Notodiningrat dan dan Tumenggung Sumodiningrat.
Inti suratnya, Raden Ronggo menyatakan telah merencanakan perang melawan orang-orang Eropa dan Surakarta, dan seterusnya akan menempuh jalan hidup sebagai pengembara.
Raden Ronggo meminta keraton Yogyakarta dijaga dengan baik. Ia juga meminta jembatan menuju Yogyakarta dihancurkan agar tidak ada pasukan yang dikirim.
Raden Ronggo juga meminta Sultan Yogya mendukung usahanya. “Dalam perjalanan menuju Madiun Raden Ronggo sempat membakar dan menjarah beberapa desa kekuasaan Solo”.
Raden Ronggo menyerukan kepada semua orang Jawa dan Tionghoa untuk bersatu menggulingkan otoritas Eropa bersamanya dan sekaligus menghancurkan Surakarta.
Sebagai Bupati Wedana Madiun yang membawahi 14 bupati, Raden Ronggo tidak berhenti mengonsolidasikan kekuatan perangnya. “Dia juga menyematkan gelar Susuhunan Prabu Ingalaga kepada dirinya,” demikian dilansir dari Antara Lawu dan Wilis.
Sementara karena takut oleh tekanan Belanda, Sultan HB II yang juga mertua Raden Ronggo III memutuskan meringkus menantunya sendiri. Raden Ronggo III telah dicap sebagai pemberontak.
Disokong oleh Belanda, Sultan HB II mengirimkan dekrit kepada seluruh bupati monconegoro bagian Timur untuk menangkap Raden Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati.
Pada 17 Desember 1810. Dalam sebuah pertempuran di Desa Sekaran, tepi Bengawan Solo wilayah Bojonegoro, Raden Ronggo Prawirodirjo III dan tangan kanannya, yakni Bupati Jipang-Kepadangan, terbunuh.
Jenazah keduanya dibawa ke Yogyakarta dan dipertontonkan kepada masyarakat. Keduanya dimakamkan di pemakaman Banyusumurup, yakni dekat Imogiri yang dikenal sebagai makam bagi mereka yang berani menentang raja.
Kelak, menantu Raden Ronggo Prawirodirjo III, yakni Pangeran Diponegoro dan putranya dari istri selir, yakni Sentot Alibasah Prawirodirjo memimpin Perang Jawa (1825-1830) melawan kolonial Belanda.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
(hri)