Kisah Keturunan Batara Katong Ponorogo Pantang Makan Daging Sapi
loading...
A
A
A
PONOROGO - Pertempuran antara Batara Katong, utusan Sultan Demak Raden Patah dengan Ki Ageng Kutu di Wengker atau Ponorogo Jawa Timur, berlangsung mencekam. Karena pertempurang orang sakti itu hingga mengeluarkan kutukan mengerikan.
Dalam peperangan yang berlarut-larut itu, Batara Katong mengeluarkan pepali atau wewaler atau pantangan. yakni seluruh keturunannya kelak dilarang menyantap daging sapi. Sebab dalam peperangan antara hidup dan mati itu kekuatannya bisa pulih berkat pertolongan susu sapi.
Batara Katong merupakan putra Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Ia juga dikenal dengan nama Joko Piturut atau Raden Alakkali atau Lembu Kanigoro. Dengan Raden Patah, Batara Katong masih saudara lain ibu.
Karenanya dia diutus Raden Patah untuk menyebarkan Islam di Ponorogo yang saat itu masih bernama Wengker. Perang terjadi ketika penyebaran masuk ke wilayah Desa Nglangu, yakni tempat Ki Ageng Kutu bermukim.
Ki Ageng Kutu merupakan tokoh Budha yang menolak masuk Islam. Perselisihan yang berlanjut pertikaian pecah ketika Batara Katong mencoba memaksanya.
“Perang berlangsung hingga bertahun-tahun dan saling mengalahkan,” demikian dikutip dari buku Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan (2021).
Kecamuk perang berpusat di sebelah utara Desa Nglawu, yakni saat ini Desa Jabung, Kecamatan Mlarak. Kedua pihak sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama adu kekuatan.
Pasukan Ki Ageng Kutu terdiri dari golongan Ajar, yakni para pendeta dan pertapa. Dipimpin langsung Ki Ageng Kutu yang menunggang seekor banteng, mereka diminta mengangkat pedang dan tombak.
Serangan Ki Ageng Kutu selalu berlangsung malam hari dan itu membuat Batara Katong kewalahan. Ki Ageng Kutu menerapkan model perang gerilya. Pasukannya tiba-tiba muncul dari rimbunnya hutan Wengker.
Hingga pada satu titik serangan mengakibatkan pasukan Batara Katong tercerai berai. Batara Katong sendiri dalam kondisi terluka parah dan nyaris mati. Yang mengikutinya hanya Kiai Seloaji dan beberapa orang pembantu.
“Batara Katong bersembunyi di tepi hutan di sebuah desa kosong”. Di dusun kecil itu Batara Katong berada dalam situasi sulit. Bekal telah habis. Tidak ada satupun makanan yang bisa dimakan.
Satu-satunya yang ada di tempat hanya seekor sapi dengan anaknya yang masih kecil. Oleh pengikutnya, sapi itu hendak disembelih untuk makanan, namun Batara Katong melarangnya. “Batara Katong tidak mengizinkannya dan hanya mengambil susunya”.
Berkat rutin minum susu sapi hasil pemerahan setiap pagi, kekuatan Batara Katong kembali pulih. Beserta pasukannya ia kembali maju ke medan perang melawan pasukan Ki Ageng Kutu. Sejak itu Batara Katong mengeluarkan pepali seluruh keturunannya dilarang makan daging sapi.
Bila dilanggar dari badan akan keluar bentol-bentol seperti biduran, rasanya gatal dan panas. Sementara di medan perang Batara Katong berhasil mengalahkan Ki Ageng Kutu. Batara Katong menyiasati dengan menyalakan obor di mana-mana.
Nyala obor di malam hari membuat mata Ki Ageng Kutu silau. Dalam sebuah serangan yang disertai tusukan tombak ke arah dada, Ki Ageng Kutu tewas seketika. Dadanya tertembus tombak hingga ke tulang belikat. Begitu juga dengan banteng tunggangannya, juga tewas.
Dalam kondisi sekarat Ki Ageng Kutu melontarkan kutukan. “Baiklah Batara Katong, sekarang aku kalah olehmu. Kelak di kemudian hari, anak cucuku membalas anak cucumu yang masih hidup,” dikutip dari Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan.
Sepeninggal Ki Ageng Kutu, pasukannya yang terdiri dari para ki ageng dan Ajar menyatakan takluk dan menyerah kepada Batara Katong. Mereka mengikat semua senjata, yakni tombak, keris, pedang, dan meninggalkan keyakinan lama mereka.
Dalam peperangan yang berlarut-larut itu, Batara Katong mengeluarkan pepali atau wewaler atau pantangan. yakni seluruh keturunannya kelak dilarang menyantap daging sapi. Sebab dalam peperangan antara hidup dan mati itu kekuatannya bisa pulih berkat pertolongan susu sapi.
Batara Katong merupakan putra Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Ia juga dikenal dengan nama Joko Piturut atau Raden Alakkali atau Lembu Kanigoro. Dengan Raden Patah, Batara Katong masih saudara lain ibu.
Karenanya dia diutus Raden Patah untuk menyebarkan Islam di Ponorogo yang saat itu masih bernama Wengker. Perang terjadi ketika penyebaran masuk ke wilayah Desa Nglangu, yakni tempat Ki Ageng Kutu bermukim.
Ki Ageng Kutu merupakan tokoh Budha yang menolak masuk Islam. Perselisihan yang berlanjut pertikaian pecah ketika Batara Katong mencoba memaksanya.
“Perang berlangsung hingga bertahun-tahun dan saling mengalahkan,” demikian dikutip dari buku Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan (2021).
Kecamuk perang berpusat di sebelah utara Desa Nglawu, yakni saat ini Desa Jabung, Kecamatan Mlarak. Kedua pihak sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Keduanya sama-sama adu kekuatan.
Pasukan Ki Ageng Kutu terdiri dari golongan Ajar, yakni para pendeta dan pertapa. Dipimpin langsung Ki Ageng Kutu yang menunggang seekor banteng, mereka diminta mengangkat pedang dan tombak.
Serangan Ki Ageng Kutu selalu berlangsung malam hari dan itu membuat Batara Katong kewalahan. Ki Ageng Kutu menerapkan model perang gerilya. Pasukannya tiba-tiba muncul dari rimbunnya hutan Wengker.
Hingga pada satu titik serangan mengakibatkan pasukan Batara Katong tercerai berai. Batara Katong sendiri dalam kondisi terluka parah dan nyaris mati. Yang mengikutinya hanya Kiai Seloaji dan beberapa orang pembantu.
“Batara Katong bersembunyi di tepi hutan di sebuah desa kosong”. Di dusun kecil itu Batara Katong berada dalam situasi sulit. Bekal telah habis. Tidak ada satupun makanan yang bisa dimakan.
Satu-satunya yang ada di tempat hanya seekor sapi dengan anaknya yang masih kecil. Oleh pengikutnya, sapi itu hendak disembelih untuk makanan, namun Batara Katong melarangnya. “Batara Katong tidak mengizinkannya dan hanya mengambil susunya”.
Berkat rutin minum susu sapi hasil pemerahan setiap pagi, kekuatan Batara Katong kembali pulih. Beserta pasukannya ia kembali maju ke medan perang melawan pasukan Ki Ageng Kutu. Sejak itu Batara Katong mengeluarkan pepali seluruh keturunannya dilarang makan daging sapi.
Bila dilanggar dari badan akan keluar bentol-bentol seperti biduran, rasanya gatal dan panas. Sementara di medan perang Batara Katong berhasil mengalahkan Ki Ageng Kutu. Batara Katong menyiasati dengan menyalakan obor di mana-mana.
Nyala obor di malam hari membuat mata Ki Ageng Kutu silau. Dalam sebuah serangan yang disertai tusukan tombak ke arah dada, Ki Ageng Kutu tewas seketika. Dadanya tertembus tombak hingga ke tulang belikat. Begitu juga dengan banteng tunggangannya, juga tewas.
Dalam kondisi sekarat Ki Ageng Kutu melontarkan kutukan. “Baiklah Batara Katong, sekarang aku kalah olehmu. Kelak di kemudian hari, anak cucuku membalas anak cucumu yang masih hidup,” dikutip dari Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan.
Sepeninggal Ki Ageng Kutu, pasukannya yang terdiri dari para ki ageng dan Ajar menyatakan takluk dan menyerah kepada Batara Katong. Mereka mengikat semua senjata, yakni tombak, keris, pedang, dan meninggalkan keyakinan lama mereka.
(ams)