Ini Solusi Wakil Ketua DPRD Jabar Soal Kelangkaan Pupuk
loading...
A
A
A
BANDUNG - Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Achmad Ru'yat menyampaikan solusi soal kelangkaan pupuk bersubsi di sejumlah daerah akhir-akhir ini. Dia mengatakan banyak petani yang melengeluhkan kelangkaan pupuk tersebut setelah dirinya berkeliling ke sejumlah daerah di Jawa Barat.
"Dua minggu lalu saya ke Jonggol Kabupaten Bogor, yang saya jumpai di antaranya kelangkaan pupuk dan kekeringan. Itu sebelum hujan belakangan ini. Kemudian di wilayah pertanian lain di Sukamakmur, Pamijahan dan sekitarnya, juga Jawa Barat secara realitas di lapangan ada kelangkaan pupuk di Karawang, Subang, Garut, dan lainnya,” ujar Ru’yat pada kanal YouTube “Berisik” saat podcast dengan host HMU Kurniadi, Kamis (7/12/2024).
Menurut Ru’yat, pemerintah mestinya tidak membiarkan kelangkaan pupuk terjadi. Sebab, ketika terjadi kelangkaan pupuk maka masyarakat yang bergantung pada pupuk bersubsi terpaksa akan membeli pupuk komirsial. Pupuk komirsial ini nilai jualnya lebih tinggi dari pupuk bersubsidi dan itu merugikan petani.
“Karena penghasilan jual pascapanen itu, ada nilai tukar petani, dapat 100 berarti break event point, rugi. Karena kalau punya modal 100 di depositkan dengan suku bunga 8% maka 108 point. Jadi dikatakan untung kalau nilai tukar petaninya di atas 115 point,” katanya.
Ru’yat kemudian mengajak diskusi Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat soal kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut. Dia juga melakukan koordinasikan dengan anggota Komisi IV DPR.
Kepada anggota DPR tersebut, Ru’yat menjelaskan soal keluhan masyarakat yang kesulitan membeli pupuk bersubsidi.
“Akhirnya setelah saya dalami ternyata hasil maping kebutuhan se Indonesia pupuk subsidi ini harus memenuhi 6 juta hektare karena yang disubsidi itu yang punya lahan maksimal 2 hektare, ternyata hitungan Kementan itu sampai menyentuh 60 triliun,” jelasnya.
“Sementara hasil kajian di komisi IV DPR menurut Dr Slemat itu Rp80 triliun. subsidi Rp70 triliun. 6 juta hektare 2024. Ternyata setelah pembahasan, politik anggaran yang ditetapkan DPR, untuk subsidi pupuk itu hanya Rp26 triliun. Jomplang sekali. Berarti ada kesenjangan antara yang dibutuhkan dan ketersediaan pupuk subsidi sekitar Rp50 triliun. Makanya selalu terjadi kelangkaan,” tambahnya.
Kenaikan anggaran untuk pupuk bersubsidi, menurut Ru’yat, tidak menyelesaikan masalah. Apalagi kenaikan anggaran tersebut tidak signifikan. Menurutnya, anggaran untuk pupuk bersubsidi hanya naik Rp2 triliun pada 2024. Padahal, hitungan Komisi IV DPR kebutuhan mencapai Rp70 triliun.
“Memang betul ada kenaikan dari APBN 2023, yang ditetapkan waktu itu Rp24 triliun. naik hanya Rp2 triliun. Yang membingungkan, memang naik tapi tak bisa memenuhi kebutuhan,” paparnya.
Mantan Wakil Wali Kota Bogor ini kemudian berharap pemerintah hadir dan memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya untuk pupuk bersubsidi. Jika pemerintah memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi, Ru’yat meyakini masyarakat akan sejahtera. pemerintah jangan berbisnis kepada rakyatnya.
“Makanya bagaimana negara mensubsidi supaya terjadi pelayanan kepada masyarakat dan masyarakat sejahtera. Kemudian ada privat sektor, dunia usaha di sana ada BUMN, BUMN saya perhatikan ada yang memproduksi pupuk komersil, seperti Pupuk Kujang, yang orientasinya keuntungan, tapi bagi petani memberatkan," ujarnya.
"Karena itu kepada BUMN saya berharap boleh untung tapi jangan gede-gede. Jangan sampai ada kesenjangan yang terlalu jauh antara pupuk bersubsidi dengan pupuk komersial,” sambungnya.
"Dua minggu lalu saya ke Jonggol Kabupaten Bogor, yang saya jumpai di antaranya kelangkaan pupuk dan kekeringan. Itu sebelum hujan belakangan ini. Kemudian di wilayah pertanian lain di Sukamakmur, Pamijahan dan sekitarnya, juga Jawa Barat secara realitas di lapangan ada kelangkaan pupuk di Karawang, Subang, Garut, dan lainnya,” ujar Ru’yat pada kanal YouTube “Berisik” saat podcast dengan host HMU Kurniadi, Kamis (7/12/2024).
Menurut Ru’yat, pemerintah mestinya tidak membiarkan kelangkaan pupuk terjadi. Sebab, ketika terjadi kelangkaan pupuk maka masyarakat yang bergantung pada pupuk bersubsi terpaksa akan membeli pupuk komirsial. Pupuk komirsial ini nilai jualnya lebih tinggi dari pupuk bersubsidi dan itu merugikan petani.
“Karena penghasilan jual pascapanen itu, ada nilai tukar petani, dapat 100 berarti break event point, rugi. Karena kalau punya modal 100 di depositkan dengan suku bunga 8% maka 108 point. Jadi dikatakan untung kalau nilai tukar petaninya di atas 115 point,” katanya.
Ru’yat kemudian mengajak diskusi Kepala Dinas Perkebunan Jawa Barat soal kelangkaan pupuk bersubsidi tersebut. Dia juga melakukan koordinasikan dengan anggota Komisi IV DPR.
Kepada anggota DPR tersebut, Ru’yat menjelaskan soal keluhan masyarakat yang kesulitan membeli pupuk bersubsidi.
“Akhirnya setelah saya dalami ternyata hasil maping kebutuhan se Indonesia pupuk subsidi ini harus memenuhi 6 juta hektare karena yang disubsidi itu yang punya lahan maksimal 2 hektare, ternyata hitungan Kementan itu sampai menyentuh 60 triliun,” jelasnya.
“Sementara hasil kajian di komisi IV DPR menurut Dr Slemat itu Rp80 triliun. subsidi Rp70 triliun. 6 juta hektare 2024. Ternyata setelah pembahasan, politik anggaran yang ditetapkan DPR, untuk subsidi pupuk itu hanya Rp26 triliun. Jomplang sekali. Berarti ada kesenjangan antara yang dibutuhkan dan ketersediaan pupuk subsidi sekitar Rp50 triliun. Makanya selalu terjadi kelangkaan,” tambahnya.
Kenaikan anggaran untuk pupuk bersubsidi, menurut Ru’yat, tidak menyelesaikan masalah. Apalagi kenaikan anggaran tersebut tidak signifikan. Menurutnya, anggaran untuk pupuk bersubsidi hanya naik Rp2 triliun pada 2024. Padahal, hitungan Komisi IV DPR kebutuhan mencapai Rp70 triliun.
“Memang betul ada kenaikan dari APBN 2023, yang ditetapkan waktu itu Rp24 triliun. naik hanya Rp2 triliun. Yang membingungkan, memang naik tapi tak bisa memenuhi kebutuhan,” paparnya.
Mantan Wakil Wali Kota Bogor ini kemudian berharap pemerintah hadir dan memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya untuk pupuk bersubsidi. Jika pemerintah memenuhi kebutuhan pupuk bersubsidi, Ru’yat meyakini masyarakat akan sejahtera. pemerintah jangan berbisnis kepada rakyatnya.
“Makanya bagaimana negara mensubsidi supaya terjadi pelayanan kepada masyarakat dan masyarakat sejahtera. Kemudian ada privat sektor, dunia usaha di sana ada BUMN, BUMN saya perhatikan ada yang memproduksi pupuk komersil, seperti Pupuk Kujang, yang orientasinya keuntungan, tapi bagi petani memberatkan," ujarnya.
"Karena itu kepada BUMN saya berharap boleh untung tapi jangan gede-gede. Jangan sampai ada kesenjangan yang terlalu jauh antara pupuk bersubsidi dengan pupuk komersial,” sambungnya.
(shf)