Kisah Ki Ageng Ngaliman, Putra Sunan Giri Dihukum Mati usai Tantang Mataram
loading...
A
A
A
Salah satu putra Sunan Giri, yang diketahui bernama Aliman, dan kemudian hari dikenal dengan Ki Ageng Ngliman atau Ki Ageng Ngaliman, dibuang di sebuah bukit di sisi utara Gunung Wilis. Pembuangan terhadap Aliman ini, sebagai bentuk hukuman karena tabiatnya yang buruk.
"Dia mengejek pengetahuan santri, meremehkan ilmu para mutakalim," demikian dikutip dari buku Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan (2021). Aliman dinilai telah menggerogoti ajaran syariat Islam, yang diajarkan Sunan Giri.
Sunan Giri yang bernama kecil Raden Paku, merupakan putra Syaikh Maulana Ishak. Sebagaimana Sunan Ampel, mertuanya, Sunan Giri mengembangkan Islam melalui jalur kekuasaan dan perniagaan.
Dalam buku Atlas Wali Songo (2016) disebutkan, salah satu bidang dakwah yang digarap Sunan Giri adalah pendidikan, yakni mengembangkan sistem pesantren. Kemudian juga bidang politik dan kebudayaan yang itu tak lepas dari kebijaksanaan wali lainnya.
Gelar Prabu Satmata, yakni salah satu nama Dewa Siwa yang diberikan kepada Sunan Giri, adalah merujuk pada kekuasaan politik yang dimiliki. Catatan Literature of Java (1967-1980) Th.H.Th. Pigeaud menyebut, pada tahun 1485 Masehi, Sunan Giri membangun kedhaton di puncak bukit yang kemudian dikenal bernama Giri Kedhaton.
Sementara polah tingkah Aliman, secara tidak langsung telah menggerogoti ajaran Islam. Aliman tidak henti-henti mencemooh pengetahuan para santri. Ilmu para orang-orang alim (mutakalim) terus direndahkannya dan itu membuat keresahan di mana-mana.
"Karena tindakan itu dapat merusak agama Islam, dan dapat mengakibatkan masjid pondok sepi". Ulah Aliman tidak bisa dibiarkan, dan dia diputuskan dibuang ke sebuah bukit yang kelak dikenal dengan nama Gunung Liman, yang letaknya bersebelahan dengan Gunung Wilis.
Di tempat barunya, Aliman mengangkat diri sebagai Ki Ageng, dan dikenal dengan nama Ki Ageng Ngliman atau Ngaliman. Ia mengajar ilmu kanuragan dan kedigdayaan kepada orang-orang Jawa yang ikut bertempat tinggal di sana.
Padepokan Ki Ageng Ngaliman dalam waktu singkat kesohor. Muridnya terus bertambah dan semakin banyak. Padepokan Ki Ageng Ngaliman berada di Kabupaten Berbeg. Pada masa kekuasaan Mataram Islam, di kawasan itu terdapat empat kabupaten, yakni Berbeg, Kertosono, Nganjuk dan Godean.
Pasca perang Jawa, atau Perang Diponegoro (1825-1830), di bawah gubernemen kolonial Belanda, empat kabupaten disatukan di bawah Kabupaten Berbeg, dan dalam perjalanannya pindah ke Nganjuk.
Sementara karena banyak pengikut dan merasa memiliki kekuasaan sendiri, Ki Ageng Ngaliman memperlihatkan sikap menantang Mataram. Dalam sekejap Ki Ageng Ngaliman dianggap sebagai tokoh yang membahayakan kekuasaan.
Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit, dan Babade Nagara Patjitan menceritakan, Ki Ageng Ngaliman kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. "Dia tertangkap dan dibawa ke Solo dan (kemudian) dihukum mati". Tamat sudah tiwayat Ki Ageng Ngaliman, pemimpin padepokan Gunung Liman Nganjuk yang dikenal sebagai putra Sunan Giri.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
"Dia mengejek pengetahuan santri, meremehkan ilmu para mutakalim," demikian dikutip dari buku Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit dan Babade Nagara Patjitan (2021). Aliman dinilai telah menggerogoti ajaran syariat Islam, yang diajarkan Sunan Giri.
Sunan Giri yang bernama kecil Raden Paku, merupakan putra Syaikh Maulana Ishak. Sebagaimana Sunan Ampel, mertuanya, Sunan Giri mengembangkan Islam melalui jalur kekuasaan dan perniagaan.
Baca Juga
Dalam buku Atlas Wali Songo (2016) disebutkan, salah satu bidang dakwah yang digarap Sunan Giri adalah pendidikan, yakni mengembangkan sistem pesantren. Kemudian juga bidang politik dan kebudayaan yang itu tak lepas dari kebijaksanaan wali lainnya.
Gelar Prabu Satmata, yakni salah satu nama Dewa Siwa yang diberikan kepada Sunan Giri, adalah merujuk pada kekuasaan politik yang dimiliki. Catatan Literature of Java (1967-1980) Th.H.Th. Pigeaud menyebut, pada tahun 1485 Masehi, Sunan Giri membangun kedhaton di puncak bukit yang kemudian dikenal bernama Giri Kedhaton.
Sementara polah tingkah Aliman, secara tidak langsung telah menggerogoti ajaran Islam. Aliman tidak henti-henti mencemooh pengetahuan para santri. Ilmu para orang-orang alim (mutakalim) terus direndahkannya dan itu membuat keresahan di mana-mana.
"Karena tindakan itu dapat merusak agama Islam, dan dapat mengakibatkan masjid pondok sepi". Ulah Aliman tidak bisa dibiarkan, dan dia diputuskan dibuang ke sebuah bukit yang kelak dikenal dengan nama Gunung Liman, yang letaknya bersebelahan dengan Gunung Wilis.
Di tempat barunya, Aliman mengangkat diri sebagai Ki Ageng, dan dikenal dengan nama Ki Ageng Ngliman atau Ngaliman. Ia mengajar ilmu kanuragan dan kedigdayaan kepada orang-orang Jawa yang ikut bertempat tinggal di sana.
Padepokan Ki Ageng Ngaliman dalam waktu singkat kesohor. Muridnya terus bertambah dan semakin banyak. Padepokan Ki Ageng Ngaliman berada di Kabupaten Berbeg. Pada masa kekuasaan Mataram Islam, di kawasan itu terdapat empat kabupaten, yakni Berbeg, Kertosono, Nganjuk dan Godean.
Pasca perang Jawa, atau Perang Diponegoro (1825-1830), di bawah gubernemen kolonial Belanda, empat kabupaten disatukan di bawah Kabupaten Berbeg, dan dalam perjalanannya pindah ke Nganjuk.
Sementara karena banyak pengikut dan merasa memiliki kekuasaan sendiri, Ki Ageng Ngaliman memperlihatkan sikap menantang Mataram. Dalam sekejap Ki Ageng Ngaliman dianggap sebagai tokoh yang membahayakan kekuasaan.
Kisah Brang Wetan Berdasarkan Babad Alit, dan Babade Nagara Patjitan menceritakan, Ki Ageng Ngaliman kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. "Dia tertangkap dan dibawa ke Solo dan (kemudian) dihukum mati". Tamat sudah tiwayat Ki Ageng Ngaliman, pemimpin padepokan Gunung Liman Nganjuk yang dikenal sebagai putra Sunan Giri.
Lihat Juga: Kisah Tumenggung Pati Pembisik Sultan Amangkurat I Meredam Konflik Kesultanan Mataram dengan Banten
(eyt)