Sejarah dan Asal-usul Bireuen, Kota Juang yang Pernah Jadi Ibu Kota Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bireuen merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang terletak di pesisir timur. Daerah ini baru menjadi wilayah otonom sejak tahun 1999 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Utara.
Perlu diketahui jika kabupaten yang satu ini terkenal akan julukan Kota Juang. Selain itu, Bireuen juga ternyata pernah menjadi salah satu basis wilayah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bireuen juga pernah ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia ketiga selama seminggu. Adapun sejarah dan asal-usul Bireuen sebagai berikut.
Dalam sejarahnya, nama Bireuen berasal dari kata “Biruhen”, yang berarti “tempat bertemu” dalam bahasa Aceh. Hal ini karena Bireuen merupakan tempat pertemuan antara dua sungai besar, yaitu Sungai Krueng Peusangan dan Sungai Krueng Jreu.
Bireuen juga menjadi tempat pertemuan antara berbagai suku, agama, dan budaya yang hidup di Aceh. Kabupaten Bireuen dikenal sebagai daerah yang toleran dan harmonis, meskipun pernah mengalami konflik dan bencana.
Sejarah Bireuen tidak dapat dilepaskan dari sejarah Aceh, yang merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara. Bireuen dahulu dikenal sebagai daerah Jeumpa, yang merupakan salah satu kerajaan kecil di Aceh.
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Kerajaan ini pernah menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada masa penjajahan Belanda, Aceh menjadi salah satu daerah yang paling lama dan gigih melawan. Bireuen menjadi salah satu pusat perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda, yang dipimpin oleh para ulama dan pemimpin adat.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Bireuen menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara, yang tergabung dalam Negara Bagian Sumatera Timur dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Menilik riwayatnya, Bireuen rupanya pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia.
Daerah ini pernah ditetapkan sebagai ibu kota negara Indonesia pada 18 Juni 1948, yakni tepat pada saat Agresi Militer Belanda II (1947-1948). Akibatnya, PDRI yang semula menetap di Kota Bukittinggi berpindah lokasi ke Kabupaten Bireuen (a.k.a. Kota Juang).
Selain menjadi ibu kota negara, Bireuen juga pernah menjadi salah satu basis utama GAM, yang memiliki banyak simpatisan dan pendukung di kalangan rakyat. Gerakan tersebut terjadi pada tahun 1976.
Pada tahun 1998, terjadi reformasi politik di Indonesia, yang mengakhiri era Orde Baru. Pemerintah pusat mengadakan dialog dengan GAM, yang menghasilkan beberapa kesepakatan damai, seperti Perjanjian Damai Humaniter pada tahun 2000 dan Perjanjian Damai Malino pada tahun 2002.
Namun, kesepakatan-kesepakatan ini gagal dilaksanakan karena adanya ketidakpercayaan dan pelanggaran dari kedua belah pihak. Konflik di Aceh kembali memanas, dan pemerintah pusat kembali menetapkan status Darurat Militer di Aceh pada tahun 2003.
Pada tahun 2005, pemerintah pusat dan GAM menandatangani Perjanjian Damai Helsinki, yang mengakhiri konflik di Aceh dan memberikan otonomi khusus kepada Aceh, termasuk Bireuen dalam berbagai bidang.
Kabupaten Bireuen kini terkenal di bidang kulinernya di antaranya ada Mie Kocok Geurugok (Gandapura), Rujak Manis dan Bakso Gatok (Kuta Blang), Sate Matang (Peusangan) Bu Sie Itek dan hingga Nagasari (Kota Juang/Bireuen).
Lihat Juga: Luncurkan Kreasi di Aceh, Menteri Riefky Ajak Santri Ikut Sebarkan Informasi Bahaya Judi Online
Perlu diketahui jika kabupaten yang satu ini terkenal akan julukan Kota Juang. Selain itu, Bireuen juga ternyata pernah menjadi salah satu basis wilayah Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bireuen juga pernah ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia ketiga selama seminggu. Adapun sejarah dan asal-usul Bireuen sebagai berikut.
Sejarah dan Asal-usul Bireuen
Dalam sejarahnya, nama Bireuen berasal dari kata “Biruhen”, yang berarti “tempat bertemu” dalam bahasa Aceh. Hal ini karena Bireuen merupakan tempat pertemuan antara dua sungai besar, yaitu Sungai Krueng Peusangan dan Sungai Krueng Jreu.
Bireuen juga menjadi tempat pertemuan antara berbagai suku, agama, dan budaya yang hidup di Aceh. Kabupaten Bireuen dikenal sebagai daerah yang toleran dan harmonis, meskipun pernah mengalami konflik dan bencana.
Sejarah Bireuen tidak dapat dilepaskan dari sejarah Aceh, yang merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara. Bireuen dahulu dikenal sebagai daerah Jeumpa, yang merupakan salah satu kerajaan kecil di Aceh.
Menurut catatan sejarah, Kerajaan Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen. Kerajaan ini pernah menjadi bagian dari Kesultanan Aceh Darussalam.
Pada masa penjajahan Belanda, Aceh menjadi salah satu daerah yang paling lama dan gigih melawan. Bireuen menjadi salah satu pusat perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda, yang dipimpin oleh para ulama dan pemimpin adat.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, Bireuen menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara, yang tergabung dalam Negara Bagian Sumatera Timur dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Menilik riwayatnya, Bireuen rupanya pernah menjadi ibu kota Republik Indonesia.
Daerah ini pernah ditetapkan sebagai ibu kota negara Indonesia pada 18 Juni 1948, yakni tepat pada saat Agresi Militer Belanda II (1947-1948). Akibatnya, PDRI yang semula menetap di Kota Bukittinggi berpindah lokasi ke Kabupaten Bireuen (a.k.a. Kota Juang).
Selain menjadi ibu kota negara, Bireuen juga pernah menjadi salah satu basis utama GAM, yang memiliki banyak simpatisan dan pendukung di kalangan rakyat. Gerakan tersebut terjadi pada tahun 1976.
Pada tahun 1998, terjadi reformasi politik di Indonesia, yang mengakhiri era Orde Baru. Pemerintah pusat mengadakan dialog dengan GAM, yang menghasilkan beberapa kesepakatan damai, seperti Perjanjian Damai Humaniter pada tahun 2000 dan Perjanjian Damai Malino pada tahun 2002.
Namun, kesepakatan-kesepakatan ini gagal dilaksanakan karena adanya ketidakpercayaan dan pelanggaran dari kedua belah pihak. Konflik di Aceh kembali memanas, dan pemerintah pusat kembali menetapkan status Darurat Militer di Aceh pada tahun 2003.
Pada tahun 2005, pemerintah pusat dan GAM menandatangani Perjanjian Damai Helsinki, yang mengakhiri konflik di Aceh dan memberikan otonomi khusus kepada Aceh, termasuk Bireuen dalam berbagai bidang.
Kabupaten Bireuen kini terkenal di bidang kulinernya di antaranya ada Mie Kocok Geurugok (Gandapura), Rujak Manis dan Bakso Gatok (Kuta Blang), Sate Matang (Peusangan) Bu Sie Itek dan hingga Nagasari (Kota Juang/Bireuen).
Lihat Juga: Luncurkan Kreasi di Aceh, Menteri Riefky Ajak Santri Ikut Sebarkan Informasi Bahaya Judi Online
(okt)