20 Mantan Napiter Cerita Kisah Salah Jalan dan Proses Pertobatan di Hadapan Mahasiswa USM
loading...
A
A
A
SEMARANG - Sebanyak 20 mantan narapidana terorisme (napiter) bercerita tentang kisah mereka salah jalan sehingga akhirnya menjadi teroris di hadapan mahasiswa Universitas Semarang (USM).
Para mantan napiter itu juga mengungkapkan proses pertobatan yang membawa mereka kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka merupakan mitra deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang berhasil kembali ke masyarakat.
Perhelatan itu berlangsung dalam Seminar Nasional Pencegahan Paham Radikalisasi Bagi Mahasiswa Indonesia Menuju Generasi Emas 2045 sekaligus pemecahan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Eks Napiter yang juga Ketua Yayasan Persadani Sri Pujimulyo Siswanto menceritakan latar belakang terpapar terorisme karena lemahnya pendidikan agama dalam keluarga. Ia kemudian tertarik untuk mengikuti kegiatan di masjid sekitar rumahnya untuk mendalami agama.
“Namun justru dari situlah saya mulai mengikuti pengajian yang mengajarkan pola pengajaran dan pembinaan keagamaan yang berbeda. Seiring berjalannya waktu munculah sikap merasa benar sendiri, membatasi pergaulan dengan orang yang tidak sekomunitas dan mulai membenci pemerintah,” ungkap Sri Puji dikutip Minggu (19/11/2023).
Setelah sekian lama mengikuti pengajian itu, Sri Puji pun bergabung dengan jaringan Noordin M. Top dan Dr. Azahari. Ia mengaku dua kali tersangkut pidana terorisme. Tahun 2005 akhir, kemudian tahun 2010 pertengahan.
Pada kasus pertama, Puji terlibat terorisme karena menyembunyikan teroris Noordin M Top dan Dr Azahari. Kemudian kasus kedua, dia menyembunyikan Abu Tholut. Puji pernah ditahan di Nusakambangan, Mako Brimob, dan Lapas Kedungpane.
Ia mulai sadar saat dipenjara pada kasus kedua. Saat itu ia ikut program deradikalisasi dari pemerintah dan BNPT, ada diskusi, dialog dari berbagai kalangan.
Setelah bebas dari penjara untuk kedua kalinya dan telah mengikuti deradikalisasi, Puji ingin kembali ke masyarakat. Namun ternyata hal itu tidak semudah yang dibayangkan karena rekam jejaknya sebagai napi terorisme.
Sempat mendapat stigma negatif sebagai mantan napiter, Sri Puji akhirnya bisa meyakinkan tetangganya kalau sudah tidak seperti dulu. Ia akhirnya diberi kepercayaan Ketua RT tempat tinggalnya untuk menjadi ketua takmir masjid
"Dengan Pak RT yang punya pola pendekatan merangkul saya, memberi kepercayaan kepada saya. Ini tidak mudah, jadi saya mencoba hal terbaik," kata Puji.
Eks Napiter lainnya, Joko Priyono menceritakan awal mula ia terpapar dan bergabung dengan jaringan radikal terorisme. Itu berawal saat mulai aktif sebagai aktivis masjid di kampus tempatnya dulu dan menjadi Rohis Fakultas pada 1993.
Joko kemudian mulai aktif di kajian–kajian kelompok radikal dan terlibat dalam kasus teroris di Caruban, Madiun pada 15 Mei 2019.
“Karena itu saya ingatkan, adik-adik mahasiswa agar dapat mempelajari agama dengan guru yang jelas dan benar,” ungkap Joko.
Sementara itu, Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel kembali menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI. Di mana paham radikal terorisme pada awalnya tumbuh dari bibit intoleraansi yang merupakan sikap dan pemikiraan yang tidak bisa menerima perbedaan.
Kepala BNPT juga menyampaikan bahaya paham radikal terorisme yang dapat merusak lestarinya peradaban umat manusia dan merobek-robek human kind.
“Paham ini ajarkan kekerasan, menebar kebencian, melakukan kekejian dan kebiadaban kepada manusia tanpa pandang bulu bagi yang tidak mau mengikuti keinganan/ideologi mereka. Ideologi ini sungguh meninggalkan realitas kehidupan umat manusia yang penuh dengan kasih sayang,” terang Rycko.
Kepala BNPT juga menyampaikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada USM yang pertama kali mampu membangun infrastruktur dan mendeklarasikan diri sebagai kampus kebangsaan.
Para mantan napiter itu juga mengungkapkan proses pertobatan yang membawa mereka kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka merupakan mitra deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang berhasil kembali ke masyarakat.
Perhelatan itu berlangsung dalam Seminar Nasional Pencegahan Paham Radikalisasi Bagi Mahasiswa Indonesia Menuju Generasi Emas 2045 sekaligus pemecahan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).
Eks Napiter yang juga Ketua Yayasan Persadani Sri Pujimulyo Siswanto menceritakan latar belakang terpapar terorisme karena lemahnya pendidikan agama dalam keluarga. Ia kemudian tertarik untuk mengikuti kegiatan di masjid sekitar rumahnya untuk mendalami agama.
“Namun justru dari situlah saya mulai mengikuti pengajian yang mengajarkan pola pengajaran dan pembinaan keagamaan yang berbeda. Seiring berjalannya waktu munculah sikap merasa benar sendiri, membatasi pergaulan dengan orang yang tidak sekomunitas dan mulai membenci pemerintah,” ungkap Sri Puji dikutip Minggu (19/11/2023).
Setelah sekian lama mengikuti pengajian itu, Sri Puji pun bergabung dengan jaringan Noordin M. Top dan Dr. Azahari. Ia mengaku dua kali tersangkut pidana terorisme. Tahun 2005 akhir, kemudian tahun 2010 pertengahan.
Pada kasus pertama, Puji terlibat terorisme karena menyembunyikan teroris Noordin M Top dan Dr Azahari. Kemudian kasus kedua, dia menyembunyikan Abu Tholut. Puji pernah ditahan di Nusakambangan, Mako Brimob, dan Lapas Kedungpane.
Ia mulai sadar saat dipenjara pada kasus kedua. Saat itu ia ikut program deradikalisasi dari pemerintah dan BNPT, ada diskusi, dialog dari berbagai kalangan.
Setelah bebas dari penjara untuk kedua kalinya dan telah mengikuti deradikalisasi, Puji ingin kembali ke masyarakat. Namun ternyata hal itu tidak semudah yang dibayangkan karena rekam jejaknya sebagai napi terorisme.
Sempat mendapat stigma negatif sebagai mantan napiter, Sri Puji akhirnya bisa meyakinkan tetangganya kalau sudah tidak seperti dulu. Ia akhirnya diberi kepercayaan Ketua RT tempat tinggalnya untuk menjadi ketua takmir masjid
"Dengan Pak RT yang punya pola pendekatan merangkul saya, memberi kepercayaan kepada saya. Ini tidak mudah, jadi saya mencoba hal terbaik," kata Puji.
Eks Napiter lainnya, Joko Priyono menceritakan awal mula ia terpapar dan bergabung dengan jaringan radikal terorisme. Itu berawal saat mulai aktif sebagai aktivis masjid di kampus tempatnya dulu dan menjadi Rohis Fakultas pada 1993.
Joko kemudian mulai aktif di kajian–kajian kelompok radikal dan terlibat dalam kasus teroris di Caruban, Madiun pada 15 Mei 2019.
“Karena itu saya ingatkan, adik-adik mahasiswa agar dapat mempelajari agama dengan guru yang jelas dan benar,” ungkap Joko.
Sementara itu, Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel kembali menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme tidak sesuai dan mengancam keutuhan NKRI. Di mana paham radikal terorisme pada awalnya tumbuh dari bibit intoleraansi yang merupakan sikap dan pemikiraan yang tidak bisa menerima perbedaan.
Kepala BNPT juga menyampaikan bahaya paham radikal terorisme yang dapat merusak lestarinya peradaban umat manusia dan merobek-robek human kind.
“Paham ini ajarkan kekerasan, menebar kebencian, melakukan kekejian dan kebiadaban kepada manusia tanpa pandang bulu bagi yang tidak mau mengikuti keinganan/ideologi mereka. Ideologi ini sungguh meninggalkan realitas kehidupan umat manusia yang penuh dengan kasih sayang,” terang Rycko.
Kepala BNPT juga menyampaikan penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada USM yang pertama kali mampu membangun infrastruktur dan mendeklarasikan diri sebagai kampus kebangsaan.
(shf)