Tugu Muda, Wongsonegoro dan Pertempuran 5 Hari Semarang

Senin, 16 Oktober 2017 - 05:00 WIB
Tugu Muda, Wongsonegoro dan Pertempuran 5 Hari Semarang
Tugu Muda, Wongsonegoro dan Pertempuran 5 Hari Semarang
A A A
Pertempuran Lima Hari di Semarang yang terjadi pada 14-19 Oktober 1945 mempunyai catatan sejarah tersendiri, khususnya bagi rakyat Jawa Tengah. Peristiwa tersebut menggambarkan bagaimana perjuangan dan kebulatan tekad rakyat untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Mereka berjuang keras hingga titik darah penghabisan setelah upaya perundingan dan diplomasi diabaikan Jepang.

Setelah menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus1945 dan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, maka seharusnya tamatlah kekuasaan Jepang di Indonesia. Begitu pula dengan ditunjuknya Wongsonegero sebagai penguasa republik di Jawa Tengah dan pusat pemerintahannya di Semarang, sudah seharusnya mengambilalih kekuasaan yang dipegang Jepang, termasuk bidang pemerintahan, keamanan dan ketertibannya. Untuk itu, dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Sedangkan, di beberapa tempat di Jawa Tengah telah terjadi kegiatan perlucutan senjata Jepang tanpa kekerasan, di antaranya di Banyumas. Namun, di ibu kota Semarang justru terjadi kekerasan. Kido Butai (pusat ketentaraan Jepang di Jatingaleh) tidak memberikan persetujuannya secara menyeluruh, meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro, bahwa senjata tersebut tidak untuk melawan Jepang. Permintaan yang berulang-ulang cuma menghasilkan senjata yang tak seberapa dan sudah usang.

BKR dan Pemuda Semarang semakin curiga setelah sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Pihak Indonesia khawatir Jepang akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada sekutu, dan berpendapat kesempatan memperoleh senjata harus dimanfaatkan sebelum sekutu mendarat di Semarang. Dipastikan pasukan Belanda yang bergabung dengan sekutu akan ikut dalam pendaratan itu yang tujuannya menjajah Indonesia lagi.

Akhirya pertempuran lima hari di Semarang pun meledak. Pertempuran dimulai menjelang Minggu malam 15 Oktober 1945. Situasi dan kondisi Kota Semarang tampak begitu mencekam terutama di jalan-jalan dan kampung-kampung yang terdapat pos BKR. Pasukan pemuda pun tampak dalam keadaan siap. Pasukan Pemuda terdiri dari beberapa kelompok, yaitu BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), dan organisasi para pemuda lainnya.

Sebagai catatan, pasukan Jepang sebanyak 675 orang yang dalam perjalanan dari Irian ke Jakarta, namun karena persoalan logistik pasukan tersebut singgah di Kota Semarang. Pasukan ini merupakan pasukan tempur yang mempunyai pengalaman di medan perang Irian.

Kekuatan kedua belah pihak sangat kontras, karena pasukan pemuda harus menghadapi pasukan Jepang yang berpengalaman tempur dan lebih lengkap persenjataannya. Sebagian besar pasukan pemuda belum pernah mengenyam latihan, kecuali pasukan Polisi Istimewa, anggota BKR, dari ex-PETA dan Heiho yang pernah mendapat pendidikan dan latihan militer.

Pertempuran lima hari di Semarang ini diawali dengan 400 tentara Jepang yang bertugas membangun pabrik senjata di Cepiring dekat Semarang. Pertempuran antara pemberontak Jepang melawan Pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (30 Km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh yang terletak di bagian atas kota.

Di Jatingaleh, pasukan Jepang yang dipukul mundur menggabungkan diri dengan pasukan Kidobutai yang memang berpangkalan di tempat tersebut. Suasana Kota Semarang memanas begitu mendengar pasukan Kidobutai Jatingaleh akan segera mengadakan serangan balasan terhadap para Pemuda Indonesia. Situasi makin memanas, mendengar kabar kalau cadangan air minum di Candi (Siranda) telah diracuni oleh pihak Jepang.

Kepala Laboratorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purasara), Dr Karyadi saat mendengar kabar itu langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya. Namun tidak pernah sampai tujuan, jenazahnya diketemukan di jalan Pandanaran Semarang, karena dibunuh oleh tentara Jepang (namanya diabadikan menjadi RS di Semarang). Keesokan harinya pada 15 Oktober 1945 pukul 03.00 pasukan Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke pusat kota Semarang.

Markas BKR Kota Semarang yang menempati kompleks bekas sekolah MULO di Mugas (belakang bekas Pom Bensin Pandanaran), diserang secara mendadak pasukan Kidobutai. Secara tiba-tiba mereka melancarkan serangan dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin yang gencar.

Setelah memberikan perlawanan selama setengah jam, pimpinan BKR akhirnya menyadari markasnya tak mungkin dapat dipertahankan lagi dan untuk menghindari kepungan tentara Jepang, pasukan BKR mengundurkan diri meninggalkan markasnya. Mereka pun bergerak membebaskan markas Kempeitai yang sedang dikepung para Pemuda.

Setelah mematahkan para Pemuda, pasukan Jepang menuju ke markas Polisi Istimewa di Kalisari dan berhasil menduduki markas tersebut. Di tempat tersebut, terjadi pembunuhan kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang terhadap anggota Polisi Istimewa yang tidak berhasil meloloskan diri dari pengepungan.

Sementara pertempuran sengit terjadi depan markas Kempeitai, antara pasukan Jepang melawan para Pemuda yang bertahan di bekas Gedung NIS (Lawang Sewu) dan di Gubernuran (Wisma Perdamaian). Pasukan gabungan yang terdiri dari BKR, Polisi Istimewa dan AMKA melawan secara gigih.

Selain menangkap Mr Wongsonegoro, Jepang juga menangkap pimpinan Rumah Sakit Purusara Dr Sukaryo, Komandan Kompi BKR ialah ex-Sudanco Mirza Sidharta dan banyak pimpinan-pimpinan lainnya. Untuk melakukan pembalasan, bantuan dari luar kota terus berdatangan. Pasukan BKR dan para pemudanya dari Pati bergabung dengan pasukan Mirza Sidharta dan mengadakan serangan balasan terhadap Jepang yang telah menguasai tempat-tempat penting dalam kota, sehingga berlangsung sengit. Taktik gerilya kota dilakukan dengan menghindari pertempuran terbuka hingga menyulitkan Jepang menguasai kota.

Diperkirakan 2.000 pasukan Jepang terlibat dalam pertempuran besar-besaran melawan pemuda-pemuda Semarang. Senjata-senjata modern dan lengkap dilawan semangat juang dari rakyat Semarang. Pertempuran paling sengit terjadi di Tugu Muda. Puluhan Pemuda yang terkepung oleh Jepang dibantai dengan kejamnya oleh pasukan Kidobutai itu. Pemuda dan pasukan rakyat dari luar kota sekitar Semarang menunjukkan kesetiakawanannya. Bala bantuan mengalir terus ke kota Semarang.

Melihat kondisi itu, Jepang kembali mendekati Wongsonegoro yang didesak untuk segera meghentikan pertempuran. Dan diterima oleh Wongsonegoro karena selain banyaknya jatuh korban yang tewas, pertimbangan lain adalah untuk menyusun kembali kekuatan dalam menghadapi musuh yang sebenarnya, ialah tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda yang mendarat di Semarang.

Dalam perundingan, Jepang menghendaki agar senjata-senjata yang dirampas oleh orang Indonesia dikembalikan lagi kepada Jepang. Akan tetapi Wongsonegoro menolak tuntutan itu, karena selain tak menjamin penyerahan senjata itu, juga tak diketahui siapa-siapa yang memegang senjata itu. Akhirnya Jepang menerima pendirian Wongsonegoro itu soal penyerahan senjata, dan tercapailah genjatan senjata.

Hal tersebut membuat kecewa para pemuda Semarang karena banyaknya teman-teman mereka yang gugur dalam berjuang mengusir penjajah. Setelah Sekutu mendarat di Semarang pada tanggal 19 Oktober 1945, maka berakhirlah pertempuran selama lima hari dengan pasukan Jepang.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1264 seconds (0.1#10.140)