Gemblengan Makan Telur di Malang Bikin Pejuang Pertempuran 10 November Kebal Peluru
loading...
A
A
A
MALANG - Singosari, Kabupaten Malang menjadi satu tempat yang digunakan untuk melatih pasukan untuk mempertahankan kemerdekaan. Berlokasi di Pondok Pesantren (Ponpes) Bungkuk, Singosari, Malang, para santri dan banyak orang digembleng untuk berperang.
KH. Moensif Nachrawi Generasi keempat pendiri Masjid Bungkuk mengisahkan bagaimana Ponpes Bungkuk dijadikan arena penggemblengan pasukan dan laskar yang akan diberangkatkan ke Surabaya.
Mereka berlatih dibawah komando KH. Masjkur yang merupakan bagian dari Laskar Hizbullah.
”Singosari ini tempat mengemblengnya, mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara, tentara nggak ada, baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan,” ucap KH. Moensif Nachrawi ditemui di rumahnya di Jalan Bungkuk, Singosari, Kabupaten Malang.
Ia masih mengingat betul saat itu banyak gerilyawan, santri, dan para pejuang yang berkumpul di Singosari. Mereka selain dibekali kemampuan berperang, juga dikuatkan untuk kemampuan akhlak dan akidah agar siap mati berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dia masih ingat ketika masih SD samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Bahkan beberapa pejuang juga diajarkan ilmu kekebalan dari para kiai dengan cara makan telur ayam.
”Saat di sana (di Ponpes Bungkuk) itu gerilya itu dikirim, rata-rata cuma dibekali, istilahnya tahan peluru, minum telur ayam dikasih doa ditelan. Telur mentah, kayak STMJ, dimakan, didoakan sudah dibawa (telurnya), terus ada doanya, diikuti bersama-sama. Selesai pecah makan ujarnya.
Saat itu ada banyak tokoh-tokoh agama yang bisa 'nyuwuk' atau membekali para pejuang dengan kesaktian. Bahkan disebut Moensif, tidak hanya di Bungkuk, saja ada beberapa lokasi di Malang yang menjadi tempat penggemblengan pejuang pertempuran 10 November 1945.
”(Kalau yang di Bungkuk, kumpul pejuang) Kumpulnya di rumah saya di Jagalan, gemblengan juga di sana di jagalan kumpulnya di situ. Lokasi penggemblengan nyebar dimana-mana, banyak ditokohkan yang mampu bisa nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini,” jelasnya.
Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya. Mereka kemudian diberangkatkan ke Porong dari Malang untuk berperang di Surabaya. Jadi para pejuang juga tak sembarangan bertempur di medan peperangan.
”Dibekali berangkatnya nunggu, diangkut lagi ke front. Yang mati nggak pulang, yang masih hidup ya pulang orang gitu saja,” ungkap pria yang juga penasehat Takmir Masjid Attohiriyah, Bungkuk, Singosari ini.
Namun harus diakui kuatnya persenjataan tentara sekutu membuat pejuang - pejuang dari Indonesia kewalahan. Alhasil pasukan Indonesia bisa dipukul mundur oleh tentara sekutu hingga keluar Surabaya.
Bahkan tentara Sekutu, termasuk di dalamnya Belanda juga berusaha memukul mundur para pejuang hingga ke selatan Surabaya.
”Kemudian Belanda merangsak lagi sampai Lawang, Lawang itu bertahan lama, karena mau ke selatan itu susah, satu saat Belanda itu coba dari lawang ke Singosari itu gagal kenapa, pohon gede-gede itu dilupakan mobil tank nggak bisa lewat truk-truk nggak bisa lewat gagal," tuturnya.
KH. Moensif Nachrawi Generasi keempat pendiri Masjid Bungkuk mengisahkan bagaimana Ponpes Bungkuk dijadikan arena penggemblengan pasukan dan laskar yang akan diberangkatkan ke Surabaya.
Mereka berlatih dibawah komando KH. Masjkur yang merupakan bagian dari Laskar Hizbullah.
”Singosari ini tempat mengemblengnya, mengebalkan di sini, nggak ada markas tentara, tentara nggak ada, baru berdiri Oktober, nggak ada waktu itu yang ada gerilyawan,” ucap KH. Moensif Nachrawi ditemui di rumahnya di Jalan Bungkuk, Singosari, Kabupaten Malang.
Ia masih mengingat betul saat itu banyak gerilyawan, santri, dan para pejuang yang berkumpul di Singosari. Mereka selain dibekali kemampuan berperang, juga dikuatkan untuk kemampuan akhlak dan akidah agar siap mati berperang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dia masih ingat ketika masih SD samurai, pedang, dan senjata tajam lainnya menjadi hal yang sering dilihat, bahkan dipegangnya. Bahkan beberapa pejuang juga diajarkan ilmu kekebalan dari para kiai dengan cara makan telur ayam.
”Saat di sana (di Ponpes Bungkuk) itu gerilya itu dikirim, rata-rata cuma dibekali, istilahnya tahan peluru, minum telur ayam dikasih doa ditelan. Telur mentah, kayak STMJ, dimakan, didoakan sudah dibawa (telurnya), terus ada doanya, diikuti bersama-sama. Selesai pecah makan ujarnya.
Saat itu ada banyak tokoh-tokoh agama yang bisa 'nyuwuk' atau membekali para pejuang dengan kesaktian. Bahkan disebut Moensif, tidak hanya di Bungkuk, saja ada beberapa lokasi di Malang yang menjadi tempat penggemblengan pejuang pertempuran 10 November 1945.
”(Kalau yang di Bungkuk, kumpul pejuang) Kumpulnya di rumah saya di Jagalan, gemblengan juga di sana di jagalan kumpulnya di situ. Lokasi penggemblengan nyebar dimana-mana, banyak ditokohkan yang mampu bisa nyuwuk. Jadi orang bukan di tempat sini,” jelasnya.
Perbekalan pertempuran itulah yang menjadikan modal gerilyawan asal Malang dan sekitarnya. Mereka kemudian diberangkatkan ke Porong dari Malang untuk berperang di Surabaya. Jadi para pejuang juga tak sembarangan bertempur di medan peperangan.
”Dibekali berangkatnya nunggu, diangkut lagi ke front. Yang mati nggak pulang, yang masih hidup ya pulang orang gitu saja,” ungkap pria yang juga penasehat Takmir Masjid Attohiriyah, Bungkuk, Singosari ini.
Namun harus diakui kuatnya persenjataan tentara sekutu membuat pejuang - pejuang dari Indonesia kewalahan. Alhasil pasukan Indonesia bisa dipukul mundur oleh tentara sekutu hingga keluar Surabaya.
Bahkan tentara Sekutu, termasuk di dalamnya Belanda juga berusaha memukul mundur para pejuang hingga ke selatan Surabaya.
”Kemudian Belanda merangsak lagi sampai Lawang, Lawang itu bertahan lama, karena mau ke selatan itu susah, satu saat Belanda itu coba dari lawang ke Singosari itu gagal kenapa, pohon gede-gede itu dilupakan mobil tank nggak bisa lewat truk-truk nggak bisa lewat gagal," tuturnya.
(ams)