5 Fakta Ki Ageng Wonokusumo, Sosok Muazin ketika Majapahit Berkuasa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ki Ageng Wonokusumo adalah salah satu tokoh Islam yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit . Dia dikenal sebagai muazin yang mengumandangkan azan dari puncak bukit Wonotoro di Gunungkidul, Yogyakarta.
Dalam sejarahnya, Ki Ageng Wonokusumo terus mengumandangkan azan di beberapa wilayah yang disinggahinya sebagai bentuk dakwah Islam. Dia juga menjadi tokoh yang disegani oleh masyarakat dan ditakuti oleh pihak kolonial saat itu.
Berikut lima fakta tentang Ki Ageng Wonokusumo.
Ki Ageng Wonokusumo merupakan putra dari Ki Ageng Giring III. Beliau adalah seorang ulama dan pejuang Islam yang menentang penjajahan Belanda.
Baca Juga: Ki Ageng Wonokusumo, Tokoh Islam Ditakuti Belanda, Adzan di Bukit Terdengar Keseluruh Penjuru
Ki Ageng Giring III juga merupakan keturunan dari Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak yang berasal dari Majapahit. Ayah Ki Ageng Wonokusumo ini juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Sunan Pandanaran, salah satu wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah.
Pada mulanya, Wonokusumo hanya menjadi muazin di Desa Gedangrejo Karangmojo. Namun karena tidak pernah terdengar baik dari wilayah Giring maupun di Pandanaran, dia pun mencari tempat tinggi di Bukit Wonotoro, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Di tempat itu dirinya berkumandang azan agar suaranya bisa terdengar di wilayah ayahnya dan Sunan Pandanaran tinggal. Bahkan, untuk upaya komunikasi jarak jauh, ketiganya bisa berkomunikasi melalui Wonokusumo yang berada di bukit tersebut.
Menurut juru kunci Makam Ki Ageng Wonokusumo, Daryanto, menceritakan jika Wonokusumo menjadi tokoh yang disegani masyarakat dan ditakuti Belanda. Bahkan ia selalu diburu penjajah Belanda untuk membunuhnya.
Hal itu karena tindakannya dianggap sebagai ancaman terhadap pemerintahan Belanda di wilayah Yogyakarta. Keberadaan Wonokusumo pun selalu ditutupi oleh pengikut dan masyarakat agar selamat dari kejaran musuh Belanda.
Bahkan para pengikut dan masyarakat pun pernah mengelabui Belanda dengan membuat upacara adat selamatan di bulan Jumadil Akhir. Namun peringatan tersebut hingga saat ini masih membekas sebagai upacara adat dan juga nadzar warga.
Ki Ageng Wonokusumo telah meninggal dan dimakamkan di lokasi yang sangat tinggi. Hal ini membuat warga yang membuat makam lain di sekitarnya pun tidak berani untuk menambahkan makam yang lebih tinggi dari Wonokusumo.
Makan Ki Ageng Wonokusumo saat ini sering didatangi para peziarah. Mereka percaya jika datang di makam tersebut doa-doa dan nazarnya bisa terkabul.
Di wilayah Desa Jatiayu Karangmojo atau lokasi petilasan Ki Ageng Wonokusumo, kerap diperingati hari kematian tokoh pejuang tersebut. Sebuah tradisi sedekah sebagai ungkapan syukur dan nadzar dari masyarakat digelar setiap bulan Islam.
Dalam perayaan tersebut terdapat banyak aneka masakan tersaji. Tidak hanya datang dari masyarakat setempat, makanan tersebut juga datang dari luar daerah, seperti Jakarta, Kalimantan, Jawa Timur dan masih banyak wilayah lain yang mengunjunginya.
Dalam sejarahnya, Ki Ageng Wonokusumo terus mengumandangkan azan di beberapa wilayah yang disinggahinya sebagai bentuk dakwah Islam. Dia juga menjadi tokoh yang disegani oleh masyarakat dan ditakuti oleh pihak kolonial saat itu.
Berikut lima fakta tentang Ki Ageng Wonokusumo.
Fakta Ki Ageng Wonokusumo
1. Keturunan Kerajaan Demak
Ki Ageng Wonokusumo merupakan putra dari Ki Ageng Giring III. Beliau adalah seorang ulama dan pejuang Islam yang menentang penjajahan Belanda.
Baca Juga: Ki Ageng Wonokusumo, Tokoh Islam Ditakuti Belanda, Adzan di Bukit Terdengar Keseluruh Penjuru
Ki Ageng Giring III juga merupakan keturunan dari Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak yang berasal dari Majapahit. Ayah Ki Ageng Wonokusumo ini juga memiliki hubungan kekerabatan dengan Sunan Pandanaran, salah satu wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa Tengah.
2. Kerap Berkumandang di Atas Bukit
Pada mulanya, Wonokusumo hanya menjadi muazin di Desa Gedangrejo Karangmojo. Namun karena tidak pernah terdengar baik dari wilayah Giring maupun di Pandanaran, dia pun mencari tempat tinggi di Bukit Wonotoro, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Di tempat itu dirinya berkumandang azan agar suaranya bisa terdengar di wilayah ayahnya dan Sunan Pandanaran tinggal. Bahkan, untuk upaya komunikasi jarak jauh, ketiganya bisa berkomunikasi melalui Wonokusumo yang berada di bukit tersebut.
3. Menjadi Tokoh Islam yang Ditakuti Belanda
Menurut juru kunci Makam Ki Ageng Wonokusumo, Daryanto, menceritakan jika Wonokusumo menjadi tokoh yang disegani masyarakat dan ditakuti Belanda. Bahkan ia selalu diburu penjajah Belanda untuk membunuhnya.
Hal itu karena tindakannya dianggap sebagai ancaman terhadap pemerintahan Belanda di wilayah Yogyakarta. Keberadaan Wonokusumo pun selalu ditutupi oleh pengikut dan masyarakat agar selamat dari kejaran musuh Belanda.
Bahkan para pengikut dan masyarakat pun pernah mengelabui Belanda dengan membuat upacara adat selamatan di bulan Jumadil Akhir. Namun peringatan tersebut hingga saat ini masih membekas sebagai upacara adat dan juga nadzar warga.
4. Dimakamkan di Tempat yang Sangat Tinggi
Ki Ageng Wonokusumo telah meninggal dan dimakamkan di lokasi yang sangat tinggi. Hal ini membuat warga yang membuat makam lain di sekitarnya pun tidak berani untuk menambahkan makam yang lebih tinggi dari Wonokusumo.
Makan Ki Ageng Wonokusumo saat ini sering didatangi para peziarah. Mereka percaya jika datang di makam tersebut doa-doa dan nazarnya bisa terkabul.
5. Hari Kematiannya Menjadi Adat dan Tradisi
Di wilayah Desa Jatiayu Karangmojo atau lokasi petilasan Ki Ageng Wonokusumo, kerap diperingati hari kematian tokoh pejuang tersebut. Sebuah tradisi sedekah sebagai ungkapan syukur dan nadzar dari masyarakat digelar setiap bulan Islam.
Dalam perayaan tersebut terdapat banyak aneka masakan tersaji. Tidak hanya datang dari masyarakat setempat, makanan tersebut juga datang dari luar daerah, seperti Jakarta, Kalimantan, Jawa Timur dan masih banyak wilayah lain yang mengunjunginya.
(okt)