Syekh Ahmad Surkati, Sang Guru dan Sahabat Para Tokoh Pejuang

Jum'at, 15 September 2017 - 05:00 WIB
Syekh Ahmad Surkati, Sang Guru dan Sahabat Para Tokoh Pejuang
Syekh Ahmad Surkati, Sang Guru dan Sahabat Para Tokoh Pejuang
A A A
Sejarah umat Islam Indonesia, bahkan sejarah bangsa dan negara Indonesia, mungkin akan berbeda bila Syekh Ahmad Surkati tidak memutuskan hijrah ke negeri yang dulu dikenal dengan nama Hindia Belanda ini pada 1911. Dia menerima undangan Jamiat Khair untuk pindah dari Mekkah -pusat Islam dunia- untuk memimpin dan mengajar di sekolah-sekolah milik organisasi pendidikan modern tertua di Indonesia itu.

Kedatangan Syekh Ahmad Surkati berawal dari niat para pemimpin Jamiat Khair yang hendak mencari guru terbaik. Sebab, Jamiat Khair yang berdiri pada 13 Jumadil Awwal (Ula) 1323 H atau Senin Kliwon 17 Juli 1905 di Batavia (Jakarta), sebagai gerakan kebangkitan pendidikan, sudah memiliki sekolah di Tanah Abang dan Krukut.

Para pelopor Jamiat Khair, di antaranya Sayid Al Fachri bin Abdoerrahman al Masjhoer, Sayid Mohammad bin Abdoellah bin Shihab, Sayid Idroes bin Achmad bin Shihab, dan Sayid Sjehan bin Shihab, sepakat mencari guru terbaik dari Timur Tengah, seperti Al-Azhar, Kairo, Mesir; dan juga Mekkah. Akhirnya, setelah enam tahun mereka berhasil mendatangkan Syekh Ahmad Surkati, seorang allamah dan mufti di kota suci Mekkah serta pengajar resmi di Masjidil Haram.

Tak heran kalau sahabat dan saudaranya berusaha mencegahnya hijrah ke Indonesia yang saat itu masih dikenal dengan nama Hindia Belanda. Namun, Surkati menjawab dengan heroik, “Bagi saya, mati di Jawa dengan berjihad (berjuang) lebih mulia daripada mati di Mekkah tanpa jihad.”

Ahmad Surkati lahir pada 1875 di Dungulah, Sudan bagian utara. Ayahnya seorang ulama, lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo. Dia pun sempat belajar di Al-Azhar, kemudian menimba ilmu di Mekkah dan Madinah sampai meraih gelar dan kedudukan tinggi di sana.

Syekh Ahmad Surkati mendarat di Batavia (Jakarta) pada Rabiul Awwal 1329 H atau Maret 1911 bersama beberapa kawan dekatnya yang mendampinginya sebagai guru. Dia tak butuh waktu lama menjadikan Jamiat Khair sebagai sekolah Islam berkualitas dan favorit.

Namun, konservatisme di kalangan mayoritas petingginya akhirnya membuat hubungan mereka retak, terutama setelah kasus fatwa kafaah di Solo. Akhirnya, Surkati pun hengkang dan bersama sahabat-sahabatnya di Batavia mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah pada 15 Syawal 1332 H atau 6 September 1914.

Sejak awal berdirinya, Al-Irsyad dan Syekh Ahmad Surkati sudah bergulat dengan gerakan nasional Islam dan kebangsaan di Indonesia. Seperti dalam Kongres Al-Islam I di Cirebon pada 1922 bersama Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Begitu pula dengan Kongres-Kongres Al-Islam berikutnya.

Syekh Ahmad Surkati mampu menjalin hubungan baik dengan para tokoh pergerakan bangsa dan umat, seperti KH Mas Mansur, HOS Tjokroaminoto, H Agus Salim, bahkan kemudian Bung Karno. Meski lahir dan besar di tengah gurun Afrika dan Arabia, Ahmad Surkati sudah menyatu jiwa dengan Indonesia, tanah air barunya.

“Aku merasa telah bertahun-tahun berkecimpung memimpin Al-Irsyad di Indonesia. Bahwa tiap-tiap dzarrah (atom) dari badan saya telah berganti dengan unsur-unsur Indonesia. Aku akan tetap hidup di Indonesia sampai akhir hayatku,” katanya seperti diungkapkan HM Rasyidi, salah satu murid utamanya yang kemudian menjadi menteri agama pertama RI.

Rasa keindonesiaannya itu telah menuntun Syekh Ahmad Surkati terlibat aktif dalam membimbing perjuangan golongan Islam Indonesia menghadapi penjajahan Belanda. Surkati pun dikenal sebagai “guru spiritual” Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi intelektual muda Muslim berpendidikan Barat yang berdiri 1 Januari 1925.

Para aktivis JIB, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo dan lainnya sering belajar kepada Syekh Ahmad Surkati. Kepada para pemuda JIB, Surkati tegas mengajarkan keyakinan Qur’ani bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan merdeka. Belanda bukan hanya menjajah fisik namun juga menindas harkat dan jiwa bangsa Indonesia.

Syekh Ahmad Surkati sangat membenci penjajahan dan tidak mau umat Islam Indonesia diperbudak oleh orang-orang Belanda. Sikap anti penjajahan itu diperlihatkan dengan memperjuangkan persamaan derajat sesama manusia (Al-Musawa). Menurut Ahmad Surkati, ”Mencapai kebebasan dari penjajahan tidak dapat diraih dengan jiwa yang rendah.”

Pengakuan terhadap ketokohan Syekh Ahmad Surkati juga datang dari seorang tokoh Persatuan Islam (Persis), A Hassan. Menurut A Hassan, pendiri Muhammadiyah H Ahmad Dahlan dan pendiri Persis Haji Zamzam juga murid-murid Ahmad Surkati. "Mereka itu tidak menerima pelajaran dengan teratur, namun Al-Ustadz Ahmad Surkati inilah yang membuka pikirannya, sehingga berani membuang prinsip-prinsip yang lama, dan menjadi pemimpin-pemimpin organisasi yang bergerak berdasarkan Al-Kitab dan Al-Sunnah."

Pujian terhadap Ahmad Surkati juga datang dari ayah Hamka, H Abdul Karim Amrullah. Kisahnya, pada 1944 Hamka bertanya kepada ayahnya tentang seseorang yang dipandang sebagai ulama besar di Jawa. Ayahnya menjawab, "Hanya Syekh Ahmad Surkati." Hamka bertanya kembali, "Tentang apanya?"

"Dialah yang teguh pendirian. Walaupun kedua belah matanya telah buta, masih tetap mempertahankan agama dan menyatakannya dengan terus terang, terutama terhadap pemerintah Jepang. Ilmunya amat dalam, fahamnya amat luas dan hati sangat tawadu."

Dalam bukunya yang berjudul Ayahku: Riwayat Hidup Dr Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Hamka juga menulis hubungan khusus antara ayahnya dengan Syekh Ahmad Surkati. "Setelah pindah ke tanah Jawa, sangatlah rapat hubungannya dengan almarhum Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad yang masyhur itu. Pertemuan dia yang pertama dengan Syekh itu di Pekalongan pada 1925. Ketika itu Syekh masih sehat dan matanya belum rusak…"

A Hassan adalah tokoh yang memperkenalkan Syekh Ahmad Surkati pada Bung Karno, ketika berada dalam pembuangan di Ende, lewat brosur-brosur dan buku-buku yang ditulis Syekh Ahmad Surkati. Presiden pertama RI ini ketika bebas dari Ende, sering bertandang ke rumah Syekh Ahmad Surkati.

Bung Karno bertemu dengan Syekh Ahmad Surkati saat kedua belah mata beliau telah buta pada 1940. Bung Karno menyatakan penyesalannya karena pertemuan-pertemuan mereka berlangsung pada saat kedua mata Surkati sudah tidak bisa melihat lagi. Menurut Ridwan Saidi, Bung Karno mendekat kepada Ahmad Surkati karena tahu bahwa Surkati adalah simpul jaringan gerakan Pan-Islamisme dunia.

Ahmad Surkati tutup usia pada Kamis, 6 September 1943, pukul 10.00 WIB, di kediamannya di Jalan Gang Solan (sekarang Jalan KH Hasyim Asy'ari No 25) Jakarta. Jenazahnya diantar ke Pemakaman Karet dengan cara sederhana dan tidak ada tanda apa-apa di atas tanah kuburannya.

Di antara orang-orang dan para muridnya yang melayat, sebagian besar telah menjadi tokoh masyarakat dan pejuang bangsa. "Almarhum telah ikut mempercepat lahirnya gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia," kata Bung Karno.

Sumber:
Api Sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara
ahmadsurkati.com
al-irsyad.com
Wikipedia
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4193 seconds (0.1#10.140)