Kisah Ratu Agung Tegalrejo Gembleng Pangeran Diponegoro dengan Ngelmu Firasat

Sabtu, 07 Oktober 2023 - 06:32 WIB
loading...
Kisah Ratu Agung Tegalrejo Gembleng Pangeran Diponegoro dengan Ngelmu Firasat
Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda, telah dimulai sejak muda. Foto/Istimewa
A A A
YOGYAKARTA - Pangeran Diponegoro sudah sejak muda memiliki karakter kuat yang terbentuk dari orang-orang di sekelilingnya. Sosok ibu dan neneknya menjadi salah satu hal yang berperan penting membentuk karakter sang pangeran ini.

Alhasil ketika tumbuh dewasa Pangeran Diponegoro terkenal religius. Ia menjadi satu dari banyak pahlawan nasional Indonesia yang turut berjuang mengusir penjajah.

Sosok kereligiusan Pangeran Diponegoro sejak kecil hingga dewasa tak bisa dilepaskan dari peran keluarganya, terutama para kerabat perempuan di keluarga besarnya juga. Pembentukan karakter dan pandangan hidupnya tak bisa dilepaskan ibu dan neneknya.



Dikisahkan pada buku “Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 – 1855” tulisan Peter Carey, konon Ibu Diponegoro merupakan selir dari Sultan Hamengku Buwono III bernama Raden Ayu Mangkorowati, yang melahirkan Diponegoro saat usia 15 tahun.

Ia adalah keturunan dari tokoh besar Kiai Ageng Prampelan, seorang tokoh yang satu masa dengan Raja Mataram Islam pertama Panembahan Senapati.

Diponegoro kecil hingga muda dihabiskan dalam pendidikan ibu dan nenek buyutnya Ratu Ageng, atau disebut Ratu Ageng Tegalrejo, yang merupakan anak perempuan Kiai Ageng Derpoyudo, guru agama terkenal yang dimakamkan di Majangjati, dekat Sragen.

Ketika Diponegoro masih bayi, Ratu Ageng inilah yang menjadi pelindungnya setelah pendiri Keraton Yogya, meramalkan suatu masa depan yang luar biasa untuk Diponegoro, yang masih bayi.



Saat itu Sultan Mangkubumi mengenali adanya kedalaman spiritual tertentu dalam diri Diponegoro, yang membedakannya dari anggota keluarga lainnya.Inilah yang membuat Diponegoro belajar agama Islam begitu serius sejak kecil.

Ada kaitannya masa muda Ibu Diponegoro, yang baru berumur belasan tahun saat melahirkan, mempengaruhi keputusan raja lanjut usia itu. Meski demikian bagi perempuan Jawa menjadi pengantin remaja dan ibu saat masih remaja merupakan hal biasa dalam lingkungan keraton.

Konon hingga berusia 18 tahun Diponegoro berada dalam pengasuhan para perempuan yang kuat. Hal itu yang menyumbang pengembangan aspek feminim wataknya, seperti kepekaan dan intuisi nuraninya.

Ini kelak menjadi nyata dalam bakatnya untuk membaca watak melalui ekspresi wajah, yang disebut orang Jawa sebagai ngelmu firasat atau ilmu fisiognomi.



Nenek buyut Diponegoro inilah yang juga turut berjuang mengusir penjajah kala itu. Beliau mendampingi Sultan Hamengku Buwono I dalam seluruh perjuangan melawan Belanda, selama Perang Giyanti antara tahun 1746 - 1755.

Ratu Ageng juga dikenal sebagai perempuan tangguh, ia menjadi pengawal perempuan elit atau korps prajurit estri, satu - satunya formasi militer yang mengesankan Gubernur Daendels, ketika ia mengunjungi Yogyakarta pada Juli 1809.

Nenek buyut Diponegoro juga dikenal dengan akan kesalehan agama Islam-nya.

Ia menikmati sekali membaca kitab - kitab agama dan ingin menjunjung tinggi adat Jawa tradisional di lingkungan keraton. Dari sanalah Diponegoro akhirnya kerap dekat para kiai, tokoh agama, hingga guru aliran kepercayaan Islam yang memiliki pengaruh di Pulau Jawa.
(ams)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1710 seconds (0.1#10.140)