Mbah Panggung dan Syiar Islam di Tegal

Sabtu, 24 Juni 2017 - 05:00 WIB
Mbah Panggung dan Syiar Islam di Tegal
Mbah Panggung dan Syiar Islam di Tegal
A A A
Mbah Panggung dikenal sebagai sosok ulama karismatik yang menyebarkan Islam di wilayah Kota Tegal, jauh sebelum Kota Tegal ada. Cerita perjalanan hidupnya pun memiliki sejumlah versi.

Berdasarkan salah satu versi yang dituturkan dari mulut ke mulut melalui juru kunci, Mbah Panggung hidup pada kurun waktu abad ke-4 hingga 6. Nama aslinya adalah Syekh Abdurrahman.

Seperti kebanyakan ulama yang datang ke Pulau Jawa untuk berdakwah, Mbah Panggung berasal dari Jazirah Arab. Ia pertama kali menginjakkan kaki di sebuah pulau tak berpenghuni yang saat ini menjadi Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur.

Di pulau itu, Mbah Panggung tinggal untuk berdakwah, hingga wafat. Makamnya kemudian didatangi ribuan peziarah tiap Bulan Syakban saat digelar haul dan pengajian untuk memperingati wafatnya.

Juru kunci makam Mbah Panggung, Hasan Mutamimi, mengatakan, nama Mbah Panggung merujuk pada tempat tinggal semasa hidup yang berupa pulau karang yang menjulang tinggi di tengah-tengah laut dan masih terpisah dengan Pulau Jawa.

"Karena tempatnya tinggi di atas permukaan laut, seperti panggung, orang-orang yang tahu keberadaan beliau sering menyebut,'Itu Mbah-mbah yang ada di panggung'. Konon dari situ asal muasal sebutan Mbah Panggung," kata Hasan.
Kompleks Makam Syekh Abdurrahman atau dikenal juga dengan nama Mbah Panggung di Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Foto/Dok KORAN SINDO/Farid Firdaus

Menurut Hasan, syiar Islam yang dilakukan Mbah Panggung tidaklah mudah. Pada awalnya Mbah Panggung harus berdakwah dengan pendekatan perorangan.

Mbah Panggung juga harus lebih dulu mendayung perahu ke pesisir Pulau Jawa yang kemudian menjadi wilayah Kota Tegal. Tak hanya di Kota Tegal, dakwah yang dilakukannya juga sampai ke Kabupaten Brebes.

"Kondisi masyarakat pada saat itu masih ada yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme," kata Hasan.

Selain melalui pendekatan perorangan, Mbah Panggung juga berdakwah dengan cara membaur di masyarakat. Apa yang dilakukan masyarakat saat itu, seperti bercocok tanam, selalu diikuti Mbah Panggung.

"Dakwah diselipkan saat sedang berbaur mengikuti aktivitas masyarakat. Misalnya orang nandur beliau ikut nandur dan memberikan pelajaran-pelajaran nandur, ini lho caranya nandur. Jadi tidak hanya lisan, tapi juga praktik," ujar Hasan.

Masih kuatnya kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat juga tidak membuat Mbah Panggung berdakwah dengan keras. Mbah Panggung lebih sering mengedepankan kelembutan dan keteladanan. "Dakwahnya jauh dari tekanan dan kekerasan," kata Hasan.

Hasan mengungkapkan, Mbah Panggung pernah mendirikan padepokan ketika mulai banyak masyarakat yang datang ke tempat tinggalnya untuk menimba ilmu. Sayangnya, tidak ada jejak terkait keberadaan padepokan itu. "Dulu padepokan, kalau sekarang pondok pesantren," ucapnya.

Terkait keturunan Mbah Panggung, Hasan mengaku tidak mengetahuinya. Namun, diyakini Mbah Panggung memiliki istri. Perempuan yang dinikahinya itu berasal dari Jawa. "Tidak ada catatan mengenai silsilahnya," pungkas Hasan.

Selain dikenal dengan nama Syekh Abdurrahman, Mbah Panggung juga dikenal nama Syekh Malang Sumirang berdasarkan versi lain terkait asal usulnya. Syekh Malang Sumirang berasal dari Kesultanan Demak, sebelum tiba dan menyiarkan Islam di sebuah wilayah Tegal yang masih berupa hutan lebat. Nama Mbah Panggung konon berasal dari keberadaan pohon-pohon dengan ranting-ranting (pang) berukuran besar (agung).
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7035 seconds (0.1#10.140)