Kisah Jelang Eksekusi Mati Amir Sjarifuddin, Sempat Baca Novel Tragedi Romeo Juliet
loading...
A
A
A
AMIR Sjarifuddin pada akhir November 1948 ditangkap oleh pasukan TNI yang dipimpin Kemal Idris di Desa Kelambu, Purwodadi, Jawa Tengah. Dia merupakan salah satu tokoh pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bersama Musso, Amir Sjarifuddin memimpin pemberontakan PKI di Madiun Jawa Timur pada 18 September 1948 yang akhirnya gagal total.
Salah satu penyebab kegagalan pemberontakan PKI Madiun adalah kurangnya dukungan dari rakyat secara luas. Rakyat lebih mendukung pemerintahan Soekarno dan Hatta daripada tawaran pemerintahan Soviet Musso dan Amir Sjarifuddin.
Kondisi itu juga diperparah situasi internal PKI yang kurang solid. Saat pemberontakan meletus, PKI Bojonegoro, Banten dan Sumatra memilih setia kepada Hatta. Mereka enggan mengikuti arahan Musso dan Amir.
Karenanya gaung pemberontakan PKI Madiun 1948 praktis hanya bergema di wilayah Madiun dan Pati. Dalam hitungan hari, pemberontakan yang banyak memakan korban dari kalangan ulama itu berhasil dipadamkan.
Saat dibekuk kondisi mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI itu mengenaskan.
“Dalam keadaan kurus dan pincang karena sedang menderita disentri,” demikian dikutip dari buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997).
Begitu pemberontakan berhasil dipadamkan dan Madiun dan sekitarnya berhasil direbut, pemerintah menerapkan kebijakan khusus kepada para tawanan penting. Para tokoh PKI yang tertangkap hidup-hidup, termasuk Amir Sjarifuddin dibawa ke Ibu Kota Yogyakarta.
Kendati demikian, semuanya terlebih dahulu dibawa ke Kudus, yakni untuk menjalani interogasi. Kemudian dengan menggunakan kereta api khusus, mereka diangkut menuju Yogyakarta.
Karena dianggap sebagai tokoh terpenting, Amir ditempatkan seorang diri di gerbong yang sebelumnya telah dikosongkan. Ia diurus oleh seorang perwira TNI, Kapten Soeharto dan memilih kooperatif.
Di sela waktu menanti kereta berjalan, Amir tiba-tiba menyatakan ingin membaca buku. Ia meminta Kapten Soeharto dan oleh Soeharto diberikan novel Romeo dan Juliet. Amir menikmati kisah tragedi itu di sela menanti kereta yang membawanya ke Yogyakarta, berangkat.
“Waktu itu, buku satu-satunya yang dimiliki Kapten Soeharto ialah Romeo and Juliet karangan William Shakespeare”.
Perjalanan kereta membawa Amir Sjarifuddin ke Yogyakarta sebagai tawanan berjalan sesuai rencana. Kedatangan Amir di Yogyakarta telah didengar dan sekaligus menarik perhatian rakyat.
Begitu kereta tiba Stasiun Yogyakarta, pemandangan yang terlihat adalah banyaknya rakyat yang berjejal-jejal ingin menyaksikan wajah mantan perdana menteri itu dari jarak dekat.
Amir tidak banyak berekspresi. Begitu juga saat diarak keliling kota sebagai pesakitan politik, ia tetap tenang. “Ia (Amir Sjarifuddin) kelihatan tenang melihat rakyat yang berjubel-jubel di stasiun melalui jendela kereta”.
Atas usul Jaksa Agung, para tawanan politik peristiwa pemberontakan PKI Madiun diserahkan kepada Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Pada bulan Desember 1948, Amir Sjarifuddin diam-diam dibawa ke Solo bersama 11 tawanan politik lain.
Pada 19 Desember 1948, yakni dalam situasi tengah malam di wilayah Desa Ngalihan dekat Solo, Amir Sjarifuddin menjalani eksekusi tembak mati.
Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, tokoh pemberontakan PKI Madiun yang pernah diselamatkan Bung Karno dari tiang gantungan penjajah Jepang itu diberi kesempatan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
Bersama Musso, Amir Sjarifuddin memimpin pemberontakan PKI di Madiun Jawa Timur pada 18 September 1948 yang akhirnya gagal total.
Salah satu penyebab kegagalan pemberontakan PKI Madiun adalah kurangnya dukungan dari rakyat secara luas. Rakyat lebih mendukung pemerintahan Soekarno dan Hatta daripada tawaran pemerintahan Soviet Musso dan Amir Sjarifuddin.
Kondisi itu juga diperparah situasi internal PKI yang kurang solid. Saat pemberontakan meletus, PKI Bojonegoro, Banten dan Sumatra memilih setia kepada Hatta. Mereka enggan mengikuti arahan Musso dan Amir.
Karenanya gaung pemberontakan PKI Madiun 1948 praktis hanya bergema di wilayah Madiun dan Pati. Dalam hitungan hari, pemberontakan yang banyak memakan korban dari kalangan ulama itu berhasil dipadamkan.
Saat dibekuk kondisi mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri RI itu mengenaskan.
“Dalam keadaan kurus dan pincang karena sedang menderita disentri,” demikian dikutip dari buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997).
Begitu pemberontakan berhasil dipadamkan dan Madiun dan sekitarnya berhasil direbut, pemerintah menerapkan kebijakan khusus kepada para tawanan penting. Para tokoh PKI yang tertangkap hidup-hidup, termasuk Amir Sjarifuddin dibawa ke Ibu Kota Yogyakarta.
Kendati demikian, semuanya terlebih dahulu dibawa ke Kudus, yakni untuk menjalani interogasi. Kemudian dengan menggunakan kereta api khusus, mereka diangkut menuju Yogyakarta.
Karena dianggap sebagai tokoh terpenting, Amir ditempatkan seorang diri di gerbong yang sebelumnya telah dikosongkan. Ia diurus oleh seorang perwira TNI, Kapten Soeharto dan memilih kooperatif.
Di sela waktu menanti kereta berjalan, Amir tiba-tiba menyatakan ingin membaca buku. Ia meminta Kapten Soeharto dan oleh Soeharto diberikan novel Romeo dan Juliet. Amir menikmati kisah tragedi itu di sela menanti kereta yang membawanya ke Yogyakarta, berangkat.
“Waktu itu, buku satu-satunya yang dimiliki Kapten Soeharto ialah Romeo and Juliet karangan William Shakespeare”.
Perjalanan kereta membawa Amir Sjarifuddin ke Yogyakarta sebagai tawanan berjalan sesuai rencana. Kedatangan Amir di Yogyakarta telah didengar dan sekaligus menarik perhatian rakyat.
Begitu kereta tiba Stasiun Yogyakarta, pemandangan yang terlihat adalah banyaknya rakyat yang berjejal-jejal ingin menyaksikan wajah mantan perdana menteri itu dari jarak dekat.
Amir tidak banyak berekspresi. Begitu juga saat diarak keliling kota sebagai pesakitan politik, ia tetap tenang. “Ia (Amir Sjarifuddin) kelihatan tenang melihat rakyat yang berjubel-jubel di stasiun melalui jendela kereta”.
Atas usul Jaksa Agung, para tawanan politik peristiwa pemberontakan PKI Madiun diserahkan kepada Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Pada bulan Desember 1948, Amir Sjarifuddin diam-diam dibawa ke Solo bersama 11 tawanan politik lain.
Pada 19 Desember 1948, yakni dalam situasi tengah malam di wilayah Desa Ngalihan dekat Solo, Amir Sjarifuddin menjalani eksekusi tembak mati.
Sebelum eksekusi mati dilaksanakan, tokoh pemberontakan PKI Madiun yang pernah diselamatkan Bung Karno dari tiang gantungan penjajah Jepang itu diberi kesempatan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internasionale.
(shf)