Orang Tua Korban Asusila Anak Alihkan Pendampingan ke LP-KPA Parepare
loading...
A
A
A
PAREPARE - Pasca putusan 5 bulan yang dijatuhkan pada dua pelaku anak, kasus asusila anak yang terjadi di Kota Parepare, orang tua korban meminta lembaga independen untuk mendampingi kasus yang dialami korban yang masih berusia 14 tahun.
M, orang tua korban mengatakan, sejak awal perjalanan kasus yang menimpa anaknya, tak hanya keadilan yang tidak didapatkan. Intimidasi bahkan pengancaman, hingga dugaan rekayasa surat damai pun, bertubi-tubi dialaminya.
"Termasuk pendampingan terhadap anak kami, yang tidak sepenuhnya kami dapatkan. Anak kami kami bukan hanya trauma, tapi juga menderita sakit secara fisik," ungkap M.
Untuk itu, kata M, dia meminta pendampingan pada Lembaga Peduli Kesejahteraan Perempuan dan Anak (LP-KPA) Parepare, yang surat kuasa yang telah ditandatanganinya.
"Kami butuh lembaga yang betul-betul mau mendampingi dan berpihak anak kami sebagai korban. Dan Kami melihat LP-KPA serius mendampingi anak kami," akunya.
Sekadar diketahui, kasus asusila anak yang terjadi di Parepare, melibatkan delapan pelaku, yang dalam perjalanannya ditetapkan tujuh tersangka, dengan dua laporan berbeda. Dua peristiwa berbeda yang dialami korban, terjadi hanya selang beberapa jam saja, dan hingga kini menimbulkan trauma pada korban.
Ibu korban, menambahkan, pihaknya juga telah meminta pada UPT Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), pada Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Provinsi Sulawesi Selatan, terkait pengalihan pendampingan terhadap anaknya.
"Dan anak kami nyaman selama didampingi LP-KPA. Mulai ada perubahan dan anak kami pun mulai beraktifitas membantu kami mengerjakan pekerjaan di rumah," ungkapnya.
Sementara Ketua LP-KPA Parepare, Andi Yama Panto mengatakan, alasan kemanusiaan yang membuat pihaknya bergerak dan menerima permintaan korban dan orang tuanya untuk mendapat pendampingan dari lembaga yang dipimpinnya.
"Karena kemanusiaan. Selain karena korban adalah anak, yang juga perempuan. Apapun alasannya, korban berhak mendapat keadilan," jelasnya.
Andi mengemukakan, sejauh ini mental korban yang dianggap paling mendesak untuk dilakukan pemulihan, selain terkait persoalan medisnya.
"Selain mendampingi kelengkapan BAP di Polres, kami juga secara rutin mengunjungi korban, guna mensupport dan memberikan perhatian penuh," katanya.
Andi Yama menambahkan, koordinasi juga dilakukan dengan LBH Makassar yang ikut memberi pendampingan hukum pada korban, serta P2TP2A Makassar. "Tentunya kita berharap, kepercayaan diri korban bisa kembali ada, kembali semangat dan semoga keadilan berpihak pada korban," tandasnya.
Terpisah, Sekretaris P2TP2A, Nilawati Andi Ridha tidak menapik jika saat ini pendampingan korban ditangani lembaga independen. Dia mengatakan, terkait itupun telah dikomunikasikan dengan Unit PPA Polres Parepare.
"Hak korban, dan tak ada yang salah dengan hal itu. Kalau korban merasa lebih nyaman dan merasa paripurna terhadap pelayanan lembaga (P2TP2A), semua keputusan terakhir ada pada korban. Kami tidak bisa memaksakan terhadap keputusan korban," papar Nilawati.
M, orang tua korban mengatakan, sejak awal perjalanan kasus yang menimpa anaknya, tak hanya keadilan yang tidak didapatkan. Intimidasi bahkan pengancaman, hingga dugaan rekayasa surat damai pun, bertubi-tubi dialaminya.
"Termasuk pendampingan terhadap anak kami, yang tidak sepenuhnya kami dapatkan. Anak kami kami bukan hanya trauma, tapi juga menderita sakit secara fisik," ungkap M.
Untuk itu, kata M, dia meminta pendampingan pada Lembaga Peduli Kesejahteraan Perempuan dan Anak (LP-KPA) Parepare, yang surat kuasa yang telah ditandatanganinya.
"Kami butuh lembaga yang betul-betul mau mendampingi dan berpihak anak kami sebagai korban. Dan Kami melihat LP-KPA serius mendampingi anak kami," akunya.
Sekadar diketahui, kasus asusila anak yang terjadi di Parepare, melibatkan delapan pelaku, yang dalam perjalanannya ditetapkan tujuh tersangka, dengan dua laporan berbeda. Dua peristiwa berbeda yang dialami korban, terjadi hanya selang beberapa jam saja, dan hingga kini menimbulkan trauma pada korban.
Ibu korban, menambahkan, pihaknya juga telah meminta pada UPT Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), pada Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Provinsi Sulawesi Selatan, terkait pengalihan pendampingan terhadap anaknya.
"Dan anak kami nyaman selama didampingi LP-KPA. Mulai ada perubahan dan anak kami pun mulai beraktifitas membantu kami mengerjakan pekerjaan di rumah," ungkapnya.
Sementara Ketua LP-KPA Parepare, Andi Yama Panto mengatakan, alasan kemanusiaan yang membuat pihaknya bergerak dan menerima permintaan korban dan orang tuanya untuk mendapat pendampingan dari lembaga yang dipimpinnya.
"Karena kemanusiaan. Selain karena korban adalah anak, yang juga perempuan. Apapun alasannya, korban berhak mendapat keadilan," jelasnya.
Andi mengemukakan, sejauh ini mental korban yang dianggap paling mendesak untuk dilakukan pemulihan, selain terkait persoalan medisnya.
"Selain mendampingi kelengkapan BAP di Polres, kami juga secara rutin mengunjungi korban, guna mensupport dan memberikan perhatian penuh," katanya.
Andi Yama menambahkan, koordinasi juga dilakukan dengan LBH Makassar yang ikut memberi pendampingan hukum pada korban, serta P2TP2A Makassar. "Tentunya kita berharap, kepercayaan diri korban bisa kembali ada, kembali semangat dan semoga keadilan berpihak pada korban," tandasnya.
Terpisah, Sekretaris P2TP2A, Nilawati Andi Ridha tidak menapik jika saat ini pendampingan korban ditangani lembaga independen. Dia mengatakan, terkait itupun telah dikomunikasikan dengan Unit PPA Polres Parepare.
"Hak korban, dan tak ada yang salah dengan hal itu. Kalau korban merasa lebih nyaman dan merasa paripurna terhadap pelayanan lembaga (P2TP2A), semua keputusan terakhir ada pada korban. Kami tidak bisa memaksakan terhadap keputusan korban," papar Nilawati.
(agn)