Momen Bebasnya Ulama dan Wanita Pasca Mataram Sepakat Berdamai dengan Belanda

Senin, 19 Juni 2023 - 08:26 WIB
loading...
Momen Bebasnya Ulama dan Wanita Pasca Mataram Sepakat Berdamai dengan Belanda
Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Amangkurat I memutuskan berdamai dengan Belanda. Buah dari perdamaian ini, para ulama dan wanita yang ditahan kompeni dibebaskan. Foto ilustrasi
A A A
Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Amangkurat I memutuskan berdamai dengan Belanda. Buah dari perdamaian ini, para ulama dan wanita yang ditahan kompeni dibebaskan.

Kesultanan Mataram pun harus menandatangani kesepakatan perdamaian dengan beberapa poin pasca penyerangan Batavia di masa pemerintahan Sultan Agung, yang tak lain adalah ayah dari Sultan Amangkurat I sendiri.

Persyaratan yang ditandatangani dalam perjanjian itu konon merupakan hasil perundingan antara kedua belah pihak yang diwakili para utusan. Perundingan itu berlangsung sekitar bulan Agustus 1646, yang akhirnya terpengaruh pada Jawa.



Konon H.J. De Graaf pada bukunya "Disintegrasi Mataram : Dibawah Mangkurat I", pada utusan itu bukan lagi mewakili atas nama Tumenggung Wiraguna atau Tumenggung Mataram, tetapi juga bertindak atas nama Sunan Mataram sendiri dan mempunyai kuasa untuk mengubah usul-usul mereka.

Hasil perundingan-perundingan di Batavia itu dituangkan dalam enam pasal, empat yang pertama di antaranya sama dengan usul pihak Jawa dan hanya dalam pasal yang terakhir diadakan dua perubahan.

Menurut pasal 1, Kompeni dengan berkedok perjalanan perdagangan akan mengirim perutusan setiap tahun kepada Sunan Mataram, yang sudah tentu tidak mungkin datang dengan tangan hampa. Ini sungguh-sungguh sama seperti berdatang sembah sekali setiap tahun.

Berdasarkan pasal 2, maka jika Sunan meminta, pihak Belanda bersedia mengangkut para ulama, misalnya ke Mekkah. Hal ini memang sebelumnya pernah ditawarkan oleh Kompeni. Namun, Sunan tidak pernah mengajukan permintaan demikian.
Menurut pasal 3, semua orang Belanda yang ditawan di Mataram akan dibebaskan. Kecuali yang telah disunat dan yang kebanyakan sudah beristrikan wanita Jawa, mereka semua telah dibebaskan. Pada akhirnya semua tawanan akan mendapatkan kembali kebebasan mereka, yaitu pada tahun-tahun 1649 dan 1651.

Di pasal 4 dilakukan saling penyerahan orang-orang yang berutang. Pasal ini mungkin diusulkan oleh Kompeni, yang juga akan menarik keuntungan paling besar dari pasal tersebut, yaitu sudah pada tahun 1648. Yang dimaksudkan adalah debitur-debitur Cina yang merasa aman di daerah Mataram.

Konsekuensi kedudukan sebagai vazal, menurut pengertian Jawa, membawa keharusan untuk membantu Sultan Amangkurat I dalam setiap peperangan yang dilakukannya. Kompeni tidak mau menerima hal ini, dan hanya mau mendukung raja dalam menghadapi musuh-musuh yang juga menjadi musuhnya sendiri.

Oleh karena itu, kemudian tidak terdapat sikap saling membantu. Dengan demikian, pasal 5 ini praktis tidak banyak artinya. Pemerintah kompeni Belanda juga tidak dapat menerima permintaan supaya semua pedagang di bawah kekuasaan Raja boleh secara bebas berlayar dan berdagang di mana-mana, dan juga tidak akan merintangi orang Melayu yang menuju Istana.

Sebab, ini akan berarti hancurnya sistem perdagangan Kompeni. Oleh karena itu, pasal 6 melarang pelayaran bebas di Kepulauan Maluku dan lebih jauh dari Malaka. Anehnya, perdagangan bebas bagi orang Belanda di pelabuhan-pelabuhan Mataram tidak terjamin. Hal ini setelah tahun 1652 akan menimbulkan kejutan- kejutan yang tidak menyenangkan.
(don)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.7857 seconds (0.1#10.140)