Benteng Alam Bali, Pelabuhan Benoa Tidak Boleh Jadi Terminal LNG
loading...
A
A
A
DENPASAR - Rencana pembangunan terminal khusus Liquid Natural Gas (LNG) Denpasar, Bali masih menjadi polemik di masyarakat. Pasalnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pembangunan Tersus LNG akan ditarik 4 kilometer dari pantai agar tidak mengganggu lingkungan dan pariwisata Bali .
Tersus LNG yang akan dibangun di Perairan Sidakarya, Denpasar ini sejatinya untuk pembangkit PLN Bali. Kajian atas beberapa lokasi pun sudah dilakukan. Selain Sidakarya, Tersus LNG juga sebelumnya akan dibangun di kawasan Pelabuhan Benoa.
Namun menurut Pakar Maritim dan Doktor Manajemen Perairan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ketut Sudiarta, pintu masuk Pelabuhan Benoa sempit, sementara kapal yang bersandar banyak. Kapal tanker pembawa LNG tidak mungkin menunggu antrean karena harus langsung menyuplai LNG ke terminal.
"Sedari awal Menko Marvest menolak pembangunan di Benoa lahan yang dikuasai Pelindo," katanya di Denpasar, Bali, Kamis (4/5/2023).
Selain persoalan sandar kapal kargo LNG, ada juga masalah lingkungan jika dibangun di Benoa. "Kalau di sana harus memotong karang yang menjadi benteng alam yang melindungi Tanjung Benoa. Karakter Pantai Bali memiliki ancaman atas tsunami, sehingga benteng alam tidak boleh dirusak," ujarnya.
Usulan pembangunan Tersus LNG ditarik sekitar 4 km dari pantai, kata Ketut Sudiarta, belum memiliki dasar kajian. Yang jelas, hal itu akan memotong alur pelayaran Benoa. Jika dipaksa dibangun, maka harus ada perubahan alur pelayaran.
Hal ini tidak sesuai dengan prinsip Pemprov Bali yang juga disetujui semua pemangku kepentingan di Pulau Dewata, yaitu konsep membangun Bali, bukan membangun di Bali.
Menurut Ketut Sudiarta, berlarut-larutnya rencana pembangunan Tersus LNG di Denpasar ini karena masalah ego sektoral dunia pariwisata, khususnya di sekitar kawasan Pantai Serangan.
Bali Turtle Island Devolepment (BTID) sepertinya tidak ingin view pantai dihalangi FSRU dan Kapal LNG. Padahal posisi tersus LNG ada di halaman belakang kawasan BTID, sama sekali tidak mengganggu pariwisata.
"Ini soal persepsi, masyarakat sekitar awalnya sama juga menolak karena tidak mengerti. Bayangan mereka akan ada kilang-kilang besar. Ternyata setelah tahu bukan model kilang mereka setuju karena akan dampak positif penataan kawasan, dan ini pantai belakang BTID beda dengan Benoa yang berada di halaman muka BTID," katanya.
Menurutnya, pembangunan Bali harus terintegrasi. Pariwisata membutuhkan listrik, tapi sebagian pihak menginginkan power plan di luar Bali. Hal itu dinilai tidak fair. Idealnya Tersus LNG di perairan Sidakarya dan terintegrasi dengan penataan kawasan Pantai Serangan, Intaran, Sidakarya, dan Sesetan.
"Jika tidak terintegrasi, maka sama artinya membiarkan empat desa adat tetap kumuh, sementara BTID dengan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang didanai uang negara di sebelahnya akan nampak mewah," kata dosen Ilmu Kelautan Universitas Warmadewa Denpasar, Bali ini.
Menurut Ketutm kawasan KEK kurang memberi andil secara langsung kepada masyarakat Bali. Namun semua ekses dari keberadaan KEK seperti sampah menjadi tanggungan daerah.
Karena itu, dengan pengkajian yang sudah ada di Perairan Intaran, serta penataan kawasan akan memberi nilai positif bahwa PLN membangun bersama masyarakat Bali. "Every body happy, PLN memakai LNG lebih murah, penataan kawasan terjadi itu juga menguntungkan BTID terlebih masyarakat sekitar," ujarnya.
Tersus LNG yang akan dibangun di Perairan Sidakarya, Denpasar ini sejatinya untuk pembangkit PLN Bali. Kajian atas beberapa lokasi pun sudah dilakukan. Selain Sidakarya, Tersus LNG juga sebelumnya akan dibangun di kawasan Pelabuhan Benoa.
Namun menurut Pakar Maritim dan Doktor Manajemen Perairan Institut Pertanian Bogor (IPB), Ketut Sudiarta, pintu masuk Pelabuhan Benoa sempit, sementara kapal yang bersandar banyak. Kapal tanker pembawa LNG tidak mungkin menunggu antrean karena harus langsung menyuplai LNG ke terminal.
"Sedari awal Menko Marvest menolak pembangunan di Benoa lahan yang dikuasai Pelindo," katanya di Denpasar, Bali, Kamis (4/5/2023).
Selain persoalan sandar kapal kargo LNG, ada juga masalah lingkungan jika dibangun di Benoa. "Kalau di sana harus memotong karang yang menjadi benteng alam yang melindungi Tanjung Benoa. Karakter Pantai Bali memiliki ancaman atas tsunami, sehingga benteng alam tidak boleh dirusak," ujarnya.
Usulan pembangunan Tersus LNG ditarik sekitar 4 km dari pantai, kata Ketut Sudiarta, belum memiliki dasar kajian. Yang jelas, hal itu akan memotong alur pelayaran Benoa. Jika dipaksa dibangun, maka harus ada perubahan alur pelayaran.
Hal ini tidak sesuai dengan prinsip Pemprov Bali yang juga disetujui semua pemangku kepentingan di Pulau Dewata, yaitu konsep membangun Bali, bukan membangun di Bali.
Menurut Ketut Sudiarta, berlarut-larutnya rencana pembangunan Tersus LNG di Denpasar ini karena masalah ego sektoral dunia pariwisata, khususnya di sekitar kawasan Pantai Serangan.
Bali Turtle Island Devolepment (BTID) sepertinya tidak ingin view pantai dihalangi FSRU dan Kapal LNG. Padahal posisi tersus LNG ada di halaman belakang kawasan BTID, sama sekali tidak mengganggu pariwisata.
"Ini soal persepsi, masyarakat sekitar awalnya sama juga menolak karena tidak mengerti. Bayangan mereka akan ada kilang-kilang besar. Ternyata setelah tahu bukan model kilang mereka setuju karena akan dampak positif penataan kawasan, dan ini pantai belakang BTID beda dengan Benoa yang berada di halaman muka BTID," katanya.
Menurutnya, pembangunan Bali harus terintegrasi. Pariwisata membutuhkan listrik, tapi sebagian pihak menginginkan power plan di luar Bali. Hal itu dinilai tidak fair. Idealnya Tersus LNG di perairan Sidakarya dan terintegrasi dengan penataan kawasan Pantai Serangan, Intaran, Sidakarya, dan Sesetan.
"Jika tidak terintegrasi, maka sama artinya membiarkan empat desa adat tetap kumuh, sementara BTID dengan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang didanai uang negara di sebelahnya akan nampak mewah," kata dosen Ilmu Kelautan Universitas Warmadewa Denpasar, Bali ini.
Menurut Ketutm kawasan KEK kurang memberi andil secara langsung kepada masyarakat Bali. Namun semua ekses dari keberadaan KEK seperti sampah menjadi tanggungan daerah.
Karena itu, dengan pengkajian yang sudah ada di Perairan Intaran, serta penataan kawasan akan memberi nilai positif bahwa PLN membangun bersama masyarakat Bali. "Every body happy, PLN memakai LNG lebih murah, penataan kawasan terjadi itu juga menguntungkan BTID terlebih masyarakat sekitar," ujarnya.
(nag)