Kisah Suksesnya Tiktoker Shilvia Tan, Pernah Susah dan Makan Mi Sepiring Berdua Suami
loading...
A
A
A
BOGOR - Shilvia Tan kini sukses menjadi tiktoker berpenghasilan miliaran per bulan. Tapi siapa sangka, dulu hidupnya miskin. Untuk makan pun pernah hanya ada sebungkus mi instan dan dimakan sepiring berdua suami.
“Ini bukan romantis-romantisan ya. Tapi memang di awal-awal nikah kami hidup miskin sampai makan pun susah. Pernah hanya ada sebungkus mi instan, lalu saya rebus, kuahnya saya bikin banyak, saya tambahin mecin dan garam, kita makan berdua,” kenang Shilvia Tan.
Dia bercerita, sebelum menikah, hidupnya bisa dibilang berkecukupan. “Bahkan orang tua saya mau menyekolahkan saya di kedokteran, tapi saya pada dasarnya memang gak suka sekolah. Selepas SMA tahun 2006, saya kabur ke Bali dan memilih menjadi tukang kredit baju keliling,” cerita perempuan berdarah Minang dan Sunda, kelahiran Medan, Maret 1989.
Di Bali, Shilvia bertemu dan jatuh cinta dengan Tan Ing Guan, pemuda asal Bagan Siapi-api yang menjadi pekerja di pabrik pengolahan teripang. “Tahun 2007, kami menikah di Bandung,” ungkap Shilvia.
Keduanya memutuskan tinggal di Sidoarjo, tempat orang tua Tan bermukim. Suami kemudian bekerja di pabrik biskuit tapi gajinya sangat kecil, hanya Rp1,7 juta per bulan.
"Saya akhirnya membantu dengan berjualan nuget keliling perumahan dan kampung naik sepeda ontel,” cerita Shilvia.
Pekerjaan itu ia lakoni sejak pukul 3.00 subuh hingga pukul 11 siang. “Jam 3 subuh saya ambil nuget dari distributor, lalu buka lapak di kaki lima di pasar. Terus lanjut keliling kampung naik sepeda ontel,” kata Shilvia yang hanya dapat untung Rp2 ribu per bungkus.
Jangan tanya seperti apa kulit Shilvia saat masih berjualan keliling. “Muka saya hitam kena matahari,” kenang Shivia tertawa.
Saat hamil anak pertama pun, Shilvia masih mengayuh sepeda keliling kampung untuk menjajakan nuget. “Pernah saya kelelahan dan berteduh di bawah pohon. Ya, Allah, kenapa hidup saya susah sekali. Tapi suami selalu menguatkan bahwa Tuhan gak akan kasih cobaan yang tak kuat ditanggung hamba-Nya,” tandas Shilvia.
“Ini bukan romantis-romantisan ya. Tapi memang di awal-awal nikah kami hidup miskin sampai makan pun susah. Pernah hanya ada sebungkus mi instan, lalu saya rebus, kuahnya saya bikin banyak, saya tambahin mecin dan garam, kita makan berdua,” kenang Shilvia Tan.
Dia bercerita, sebelum menikah, hidupnya bisa dibilang berkecukupan. “Bahkan orang tua saya mau menyekolahkan saya di kedokteran, tapi saya pada dasarnya memang gak suka sekolah. Selepas SMA tahun 2006, saya kabur ke Bali dan memilih menjadi tukang kredit baju keliling,” cerita perempuan berdarah Minang dan Sunda, kelahiran Medan, Maret 1989.
Di Bali, Shilvia bertemu dan jatuh cinta dengan Tan Ing Guan, pemuda asal Bagan Siapi-api yang menjadi pekerja di pabrik pengolahan teripang. “Tahun 2007, kami menikah di Bandung,” ungkap Shilvia.
Keduanya memutuskan tinggal di Sidoarjo, tempat orang tua Tan bermukim. Suami kemudian bekerja di pabrik biskuit tapi gajinya sangat kecil, hanya Rp1,7 juta per bulan.
"Saya akhirnya membantu dengan berjualan nuget keliling perumahan dan kampung naik sepeda ontel,” cerita Shilvia.
Pekerjaan itu ia lakoni sejak pukul 3.00 subuh hingga pukul 11 siang. “Jam 3 subuh saya ambil nuget dari distributor, lalu buka lapak di kaki lima di pasar. Terus lanjut keliling kampung naik sepeda ontel,” kata Shilvia yang hanya dapat untung Rp2 ribu per bungkus.
Jangan tanya seperti apa kulit Shilvia saat masih berjualan keliling. “Muka saya hitam kena matahari,” kenang Shivia tertawa.
Saat hamil anak pertama pun, Shilvia masih mengayuh sepeda keliling kampung untuk menjajakan nuget. “Pernah saya kelelahan dan berteduh di bawah pohon. Ya, Allah, kenapa hidup saya susah sekali. Tapi suami selalu menguatkan bahwa Tuhan gak akan kasih cobaan yang tak kuat ditanggung hamba-Nya,” tandas Shilvia.
(nag)