Kisah Kain Keramat Pembungkus Cupu Kiai Panjala

Jum'at, 16 Oktober 2015 - 05:00 WIB
Kisah Kain Keramat Pembungkus Cupu Kiai Panjala
Kisah Kain Keramat Pembungkus Cupu Kiai Panjala
A A A
Bagi warga Yogyakarta, upacara pembukaan Cupu Kiai Panjala atau juga dikenal Panjolo sudah tidak asing lagi.

Sebuah kepercayaan untuk melihat masa depan dengan perlambang guratan dan coretan dalam lembar demi lembar kain kafan pembungkus cupu yang terdiri dari tiga guci kecil Semar Kinandu, Kalang Kinanthang dan Kenthiwiri.

Semar Kinandu adalah gambaran keadaan penguasa dan pejabat tinggi, Kalang Kinanthang adalah gambaran untuk masyarakat menengah ke bawah, sedangkan Kenthiwiri adalah gambaran untuk rakyat kecil.

Kain yang awalnya putih tersebut setelah digunakan membungkus Cupu Kiai Panjala, berupa tiga buah guci yang berada dalam peti kayu kecil akan menampakkan berbagai gambar. Tidak jarang juga ada benda di sela-sela lembaran kain yang jumlahnya sekitar 500 tersebut.

Dwijo Sumarto salah satu kerabat Kiai Panjala si pemilik tiga guci mengatakan, gambaran dalam kain tersebut dipercaya menjadi perlambang kehidupan selama satu tahun ke depan.

"Namun ya boleh percaya boleh tidak, saya tidak boleh mengatakan, nanti saja setelah berjalan dan ada kejadian bisa dikaitkan," tuturnya.

Sebelum dilakukan upacara ritual dilakukan dulu kenduri bersama. Pengunjung yang bisa masuk rumah Dwijo Winarto mendapatkan satu piring nasi uduk dengan lauk srundeng (parutan kelapa yang digoreng) serta entho-entho.

Namun ingat, para pengujung tidak boleh makan satu piring sendirin. Melainkan harus makan bersama, satu piring berdua atau lebih.

Banyak yang beranggapan apabila nekat makan sendirian, maka hidupnya tidak akan mendapatkan kebahagian.

Kontan saja, tidak akan ditemui dalam pembukaan Cupu Kiai Panjala ini, seseorang yang makan satu piring sendirian.

Semuanya menghormati prosesi dengan makan berkembul atau satu piring digunakan untuk dua atau tiga orang.

Menurut Ketua Dewan Kebudayaan Gunungkidul CB Supriyanto, filosofi yang dimaksud kemungkinan adalah kebersamaan.

Masyarakat akan mencapai kebahagian apabila bisa hidup rukun berdampingan dan tidak serakah.

Sementara kain kafan yang digunakan setiap tahun juga memunculkan gambar yang sering berbeda.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Cupu Kiai Panjala didapat Eyang Seyek nama asli Kiai Panjala saat menjala (menjaring) di laut kira-kira 550 tahun yang lalu.

Eyang Seyek yang sebatangkara ini tidak beristri namun memiliki 10 saudara kandung, lima perempuan dan lima laki-laki.

Dwijo Winarto adalah keturunan ke tujuh dari saudara Eyang Seyek yang sekarang diserahi tugas mengurus Cupu Kiai Panjala.

Konon berdasarkan salah satu cerita awalnya Cupu Kiai Panjala yang berupa tiga guci ini diselimuti kain agar tidak gampang pecah dan rusak.

Namun setelah setahun kemudian dibuka oleh Eyang Sayek kain pembungkusnya muncul beberapa gambar yang menunjukan hubungan dengan pertanian.

Lalu munculnya gabah besar besar di sela-sela kain lalu dikaitkan dengan hasil pertanian akan yang bagus. Kebetulan satu tahun kemudian hasil pertanian melimpah ruah.

Kemudian beberapa tahun selanjutnya muncul juga gabah puso di kain yang kemudian diyakini menjadi pertanda banyak gagal panen. Begitu juga dengan kain yang basah.

Bagi para petani dipercaya bagus untuk pertanian karena akan banyak hujan. Namun apabila kering, diprediksi air semakin sulit.

Sehingga Cupu Kiai Panjala dipercaya untuk memprediksi hasil pertanian satu tahun ke depan.

Untuk itulah pembukaan cupu satu tahun sekali dilakukan sebelum musim penghujan dan pada malam Selasa Kliwon. Hal ini dilakukan turun temurun sejak ratusan tahun lalu hingga kini.

Namun seiring waktu kemudian berkembang pada situasi dan juga kejadian di negara Indonesia.

Dalam perkembangannya, Cupu Kiai Panjala diyakini sebagai simbol atau alat peramal untuk kondisi atau kejadian bangsa Indonesia dalam masa setahun ke depan.

Sejumlah kejadian yang dikaitkan dengan ramalan Cupu Kiai Panjala antara lain isyarat masuknya Irian Jaya (Papua) ke Indonesia ditandai dengan gambar Pulau Irian Jaya pada kain.

Lalu kejatuhan Presiden Soekarno yang ditandai gambar terjungkalnya becak. Sementara kejatuhan Presiden Soeharto ditandai dengan gambar robohnya pohon tinggi besar tanpa daun dan tanpa ranting.

Adapun peristiwa kerusuhan 1998 ditandai dengan gambar potongan tubuh berupa tangan, kaki, dan adanya bercak darah.

Kasus lumpur Lapindo, Sidoarjo juga diyakini terekam dengan ditemukannya lumpur pada mori pembungkus cupu.

Untuk tahun ini beberapa gambaran yang muncul dalam kain Cupu diantaranya adalah di sisi barat pembungkus ada kulit kayu, di barat daya ada gambar bintang kecil berwarna biru.

Kemudian kain kembali bersih dan kain setelahnya kembali muncul gambar dua bintang warna biru di sebelah utara. Begitu juga dengan timur laut ada gambar bintang.

Tidak hanya itu, banyaknya kain yang kering juga dianggap perlambang musim kemarau yang panjang.

Munculnya gambar kepala singa dengan muka terbuka menghadap ke selatan di arah timur laut dan juga kepala kera di sisi timur juga merupakan perlambang.

"Namun nanti saja ada kejadian apa dan silahkan melihat kembali perlambang di kain kafan pembungkus cupu, " kata Dwijo Winarto.

Perlambang lain yang muncul di kain tersebut adalah gambar tombak panjang, kemudian ada sosok perempuan di sisi barat daya. Ada juga gambar ikan di arah tenggara serta huruf Arab Syien.

Hingga kini warga terbiasa mengaitkan peristiwa demi peristiwa dengan lambang dalam kain kafan penutup cupu.

Dan pusaka berupa tiga guci kecil pun kembali ditutup. Ratusan kain mori baru yang bersih tanpa noda kembali diselimutkan.

Seakan melindungi Semar Kinandu, Kalang Kinantang dan Kenthiwiri kembali ke ruangannya. Ruang yang dikeramatkan dan tidak boleh disentuh sebelum tahun mendatang tiba pada hitungan hari untuk membuka cupu.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber .
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9412 seconds (0.1#10.140)