Patih Djojodigdo, Pemilik Ilmu Abadi yang Makamnya Digantung

Senin, 20 Maret 2023 - 05:28 WIB
loading...
Patih Djojodigdo, Pemilik Ilmu Abadi yang Makamnya Digantung
Makam Patih Kadipaten Blitar, Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djojodigdo atau Eyang Djojodigdo di Pesarean Djojodigdan Kota Blitar. Foto/SINDOnews/Solichan Arif
A A A
Pecut Samandiman dikibaskan Patih Djojodigdo, suaranya menggelegar layaknya gemuruh petir. Saat pecut atau cambuk sakti itu dikibaskan, tiba-tiba saja aliran lahar Gunung Kelud, yang tengah mengalir deras ke arah pusat Kadipaten Blitar, berbelok arah.



Lahar letusan Gunung Kelud, yang datang bergelombang tersebut, bergeser dan membuat masyarakat Kadipaten Blitar selamat dari amukan lahar Gunung Kelud. Cerita rakyat tentang Pecut Samandiman, dan patih sakti Eyang Djojodigdo ini, berkembang di masyarakat Blitar, pasca letusan dahsyat Gunung Kelud pada tahun 1901.



Cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat ini, diyakini kebenarannya oleh banyak orang. Bahkan, usai letusan dahsyat Gunung Kelud di tahun 1901 tersebut, masyarakat akan selalu mengungsi ke Pesanggrahan Patih Djojodigdo ketika Gunung Kelud meletus, seperti yang terjadi saat letusan tahun 1919, 1965, dan 1990.



Pesanggrahan Patih Djojodigdo yang juga menjadi pemakaman Patih Djojodigdo, berada di Jalan Melati No. 43 Kota Blitar. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan SINDOnews, pada akhir tahun 2021 silam Mbah Lasiman, penjaga pesarean Patih Djojodigdo masih ingat bagaimana wajah para pengungsi bersimbah keringat.

Para pengungsi itu, kata Mbah Lasiman menengadah ke langit malam, menyaksikan kilat yang tidak berhenti menyambar-nyambar. Meski was-was, warga percaya lahar panas, material batu bercampur kerikil serta pasir yang dimuntahkan Gunung Kelud, tak akan berani menyentuh kediaman Eyang Djojodigdo.

"Lahar Kelud larinya ke utara. Tidak ke selatan. Karena lahar takut sama eyang (Djojodigdo)," tutur Mbah Lasiman kala itu. Sejarah mencatat, pada tahun 1901 dan 1919 Gunung Kelud meletus. Gunung setinggi 1.731 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu mengamuk. Material bersuhu tinggi yang dimuntahkan merenggut banyak nyawa.

Terbaru, Gunung Kelud meletus pada 14 Februari 2014. Jutaan kubik abu vulkanik sempat melumpuhkan sebagian besar aktivitas masyarakat di wilayah Malang, Kediri, Surabaya, dan Yogyakarta. Bahkan, hujan abu juga dirasakan masyarakat di wilayah Jawa Barat, serta Banten.

Sebelumnya pada tahun 2007, erupsi Gunung Kelud memunculkan kubah (anak kelud). Letusan dahsyat Gunung Kelud, juga berlangsung pada tahun 1965, dan 1990. Material batu pijar menyembur ke angkasa, dan saat jatuh meluluh lantakkan banyak bangunan rumah.



Tidak sedikit warga yang tewas akibat tertimpa material atau tertindih bangunan rumah. Namun warga yang mengungsi di kediaman Eyang Djojodigdo, selamat. "Hanya hujan debu. Tidak sampai ada lahar," kata Mbah Lasiman, yang pada saat wawancara tahun 2021 sudah 11 tahun menjaga Pesanggrahan Djojodigdan.

Pesanggrahan Djojodigdan merupakan nama kediaman Patih Kadipaten Blitar, Raden Mas Ngabehi Pawadiman Djojodigdo atau Eyang Djojodigdo, pemilik Pecut Samandiman yang mampu mengusir lahar Gunung Kelud. Patih Djojodigdo juga rutin menggelar ritual rampogan macan, sebagai tolak balak amukan Gunung Kelud.

Pawadiman Djojodigdo lahir 28 Juli 1827 di Kulon Progo, Yogyakarta. Ia lahir di tengah berkecamuknya Perang Jawa (1825-1830). Kartodiwirjo, ayah Djojodigdo seorang Adipati Nggetan, Kulon Progo, yang bergelar Raden Mas Tumenggung (RMT). RMT Kartodiwirjo berpihak kepada Diponegoro, dan bahkan turut bergerilya.

Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda, membuat karir Kartodiwirjo di pemerintahan berakhir. Sebagaimana nasib pengikut Diponegoro yang lain. Kolonial Belanda juga memburunya.

Pawadiman Djojodigdo yang masih berumur belasan tahun, tumbuh mandiri. Ia menempa diri dengan menempuh laku riyadhoh (tirakat) serta berkelana. Ia berguru kepada orang–orang yang memiliki kemampuan spiritual, termasuk kepada Eyang Jugo atau Mbah Jugo.



Eyang Jugo atau Mbah Jugo tak lain dari Raden Mas Suryo Diatmojo, putra Kiai Zakaria, ulama besar Kraton Yogyakarta. Karenanya ada juga yang memanggil Mbah Jugo dengan sebutan Kiai Zakaria II.

Mbah Jugo juga salah satu pimpinan pasukan laskar Diponegoro, yang terpaksa menyamar untuk menghindari kejaran. Nama Jugo ia peroleh saat masih bermukim di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar.

Dalam Riwayat Ejang Djugo Panembahan Gunung Kawi (Terbit 1954), Im Yang Tju menulis: nama Jugo berasal dari kata Sajugo (menyatu). Ia kemudian hijrah sekaligus menetap di lereng Gunung Kawi, Malang, ditemani Mbah Iman Soejono putra angkatnya. Keyakinan Eyang Jugo merupakan guru Eyang Djojodigdo, juga diakui oleh Mbah Lasiman.

Djojodigdo mendengar Blitar sebagai kawasan yang gawat. Para begal, kecu, perampok sakti berkeliaran di mana-mana. Para punggawa Kadipaten Blitar, kewalahan. Melihat itu Eyang Djojodigdo menawarkan diri kepada Bupati Blitar, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo, mengatasi gangguan keamanan yang terjadi.

Bupati mengizinkan. Djojodigdo yang terkenal memiliki ajian Pancasona menciutkan nyali para penjahat. Para begal memilih menyingkir daripada bertarung dan binasa. Ajian Pancasona atau Rawa Rontek merupakan ilmu kesaktian pilih tanding. Pemilik Pancasona konon tak bisa dibunuh. Setiap mati pengamal Pancasona akan hidup kembali saat jasadnya menyentuh tanah.



Atas keberhasilan mengusir para begal, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo mengangkat Djojodigdo sebagai Patih Kadipaten Blitar. Peristiwa pengangkatan itu berlangsung pada 8 September 1877.

Menurut penuturan Mbah Lasiman, Eyang Djojodigdo memiliki empat orang istri. Dari keempatnya lahir 32 anak dan 4.000 buyut yang tersebar di Indonesia. Salah satu putra Djojodigdo menjadi Bupati Rembang dan putra bupati itu yang kemudian memperistri RA Kartini. "Jadi suami RA Kartini merupakan cucu dari Eyang Djojodigdo," katanya.

Dalam wawancara di penghujung tahun 2021 tersebut, Mbah Lasiman menyebutkan, tradisi mengungsi ke pesarean Djojodigdan saat Gunung Kelud meletus, terus berlanjut. Banyak yang percaya, mereka akan dijaga seluruh pusaka peninggalan Eyang Djojodigdo.

Pusaka tersebut kata Mbah Lasiman, kadang memperlihatkan diri kepada para peziarah. "Wujudnya ular naga. Kemudian delapan ekor harimau Lodoyo, yang merupakan roh harimau dalam tradisi rampogan macan," terangnya.

Patih Djojodigdo mangkat pada 11 Maret 1909, dan dimakamkan di pesarean Djojodigdan yang saat ini terdapat 125 makam. Sebuah keranda mayat berukir berada di atas pusara Eyang Djojodigdan. Empat tiyang besi menyangganya. Hal itu yang membuat Pesarean Djojodigdan juga memiliki sebutan Pesarean Makam Gantung.

Sebutan makam gantung, merujuk pada kepercayaan jasad pengamal Ajian Pancasona akan hidup kembali saat menyentuh tanah. Namun, kala itu Mbah Lasiman menyebut, di dalam keranda yang tergantung tersebut berisi pusaka, pakaian atau ageman Eyang Djojodigdo.
(eyt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2076 seconds (0.1#10.140)