Drama Fatimah dan Perjuangan Kakek Anies Baswedan yang Gemparkan Surabaya
loading...
A
A
A
PAI kaget dengan keributan yang ditimbulkan oleh drama Fatimah, namun tidak gentar menghadapi tuduhan dan permusuhan. A.R Baswedan, dalam tulisannya di jurnal Insaf dan Aliran Baroe menilai kaum wulaiti tidak tahu apa-apa tentang teater dan kesulitan menilai teater dengan benar.
PAI meminta khalayak ramai tidak membangkitkan kebencian, tapi mempelajari naskah Fatimah dengan seksama. Pada pertengahan tahun 1939 drama Fatimah dipentaskan di Cirebon, Jawa Barat.
Yang terjadi, kegaduhan pecah di Surabaya, Jawa Timur sebagai reaksi pementasan Cirebon. Keributan dilakukan oleh orang-orang yang membawa revolver, kelewang, golok, dan pisau belati. Mereka menolak drama Fatimah dimainkan.
Pertunjukkan pun dibatalkan di tengah jalan. Begitu juga pementasan di Batavia (Jakarta) di tahun yang sama, juga batal. Para pemuka wulaiti bahkan menghubungi konsul Inggris di Batavia untuk memprotes pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Intinya, drama Fatimah distop. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan konflik yang terjadi sebagai masalah internal. Sementara di sisi lain para pemimpin dan cendekiawan di Hindia Belanda semakin banyak mempertimbangkan upaya pelarangan drama Fatimah.
Setelah pembatalan di Surabaya, pada Oktober 1939 drama Fatimah akhirnya dipentaskan di Batavia. Meski dijaga ketat polisi, pertunjukkan yang juga disaksikan anggota Volksraad sukses besar.
Di bulan yang sama drama Fatimah dipentaskan di Solo dan Pekalongan, dan mendapat antusias yang besar. Hampir seluruh media massa memuji, termasuk penggunaan bahasa Melayu dalam dialog.
Kendati demikian pentas di Surabaya masih dilarang karena dikhawatirkan menimbulkan keributan.
Drama Fatimah karya tokoh PAI begitu populer. Sampai-sampai mempengaruhi berbagai aktifitas, yakni terutama orang muwallad dengan memakai nama Fatimah.
Mulai perusahaan, toko, beragam produk sabun, minyak rambut, pomade dan eau de cologne memakai merek Fatimah. Di Tretes, Jawa Timur, sebuah vila menggunakan nama Fatimah.
PAI meminta khalayak ramai tidak membangkitkan kebencian, tapi mempelajari naskah Fatimah dengan seksama. Pada pertengahan tahun 1939 drama Fatimah dipentaskan di Cirebon, Jawa Barat.
Yang terjadi, kegaduhan pecah di Surabaya, Jawa Timur sebagai reaksi pementasan Cirebon. Keributan dilakukan oleh orang-orang yang membawa revolver, kelewang, golok, dan pisau belati. Mereka menolak drama Fatimah dimainkan.
Pertunjukkan pun dibatalkan di tengah jalan. Begitu juga pementasan di Batavia (Jakarta) di tahun yang sama, juga batal. Para pemuka wulaiti bahkan menghubungi konsul Inggris di Batavia untuk memprotes pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Intinya, drama Fatimah distop. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan konflik yang terjadi sebagai masalah internal. Sementara di sisi lain para pemimpin dan cendekiawan di Hindia Belanda semakin banyak mempertimbangkan upaya pelarangan drama Fatimah.
Setelah pembatalan di Surabaya, pada Oktober 1939 drama Fatimah akhirnya dipentaskan di Batavia. Meski dijaga ketat polisi, pertunjukkan yang juga disaksikan anggota Volksraad sukses besar.
Di bulan yang sama drama Fatimah dipentaskan di Solo dan Pekalongan, dan mendapat antusias yang besar. Hampir seluruh media massa memuji, termasuk penggunaan bahasa Melayu dalam dialog.
Kendati demikian pentas di Surabaya masih dilarang karena dikhawatirkan menimbulkan keributan.
Drama Fatimah karya tokoh PAI begitu populer. Sampai-sampai mempengaruhi berbagai aktifitas, yakni terutama orang muwallad dengan memakai nama Fatimah.
Mulai perusahaan, toko, beragam produk sabun, minyak rambut, pomade dan eau de cologne memakai merek Fatimah. Di Tretes, Jawa Timur, sebuah vila menggunakan nama Fatimah.