Kisah Cing Cing Goling, Jejak Pelarian Raden Wisang Sanjaya dari Majapahit
loading...
A
A
A
Rombongan selanjutnya bertemu dengan tiga kasepuhan Karang Pradesan, yakni Eyang Brojonolo, Eyang Honggonolo dan Eyang Nolodongso seperti dikisahkan dalam laman desagedangrejo.gunungkidulkab.go.id.
Ketiga tokoh masyarakat Karang Pradesan menerima baik kedatangan pangeran dari Kerajaan Majapahit ini. Namun agar jejaknya bisa tersamarkan, maka mereka menyarankan sang Pangeran memakai nama Kyai Pisang yang mirip dengan Wisang.
Mereka menetap tinggal di Karang Pradesan yang sekarang menjadi Desa Gedangrejo. Selanjutnya Wisang Sanjaya yang ingin menyuburkan daerah yang ditinggalinya kemudian berupaya membuat bendungan.
Hal itu karena lahan pertanian di Gedangrejo saat itu tandus, padahal ada aliran sungai besar, yakni Kedung Dawang di sekitar desa.
Pangeran Majapahit ini kemudian meminta kedua abdi dalem setianya, Eyang tropoyo dan Eyang Yudopati membuat bendungan di Sungai Kedung Dawang. Pembuatan bendungan ini konon dilakukan hanya dalam satu malam.
Setelah bendungan jadi, maka dibuat saluran irigasi hingga menyuburkan lahan pertanian di Karang Pradesan. Masyarakat pun bisa bercocok tanam dengan tanah yang subur karena air irigasi melimpah.
Ketiga tokoh Karang Pradesan yang merasa sangat terbantu dengan adanya bendungan kemudian mengadakan upacara adat selamatan di Bendungan Sungai Kedung Dawang dan areal persawahan sekitarnya.
Selamatan atau tasyakuran dilestarikan hingga kini yang digelar pada hari Senin Wage ataupun Kamis Kliwon usai masa panen kedua.
Dalam tasyakuran ini ditampilkan tari Cing Cing Goling. Tarian ini mengisahkan Raden Wisang Sanjaya dan istrinya yang sedang hamil serta dua abdi setianya saat perjalanan mengungsi dari Majapahit hingga sampai ke Desa Gedangrejo.
Aksi teatrikal ini menceritakan saat belasan pria berusaha merebut istri Wisang Sanjaya. Hingga akhirnya para pengawal yang berhasil menyelamatkan Nyai Wisangsanjaya dari para pria begundal hingga pembuatan bendungan yang menyuburkan Desa Gedangrejo.
Ketiga tokoh masyarakat Karang Pradesan menerima baik kedatangan pangeran dari Kerajaan Majapahit ini. Namun agar jejaknya bisa tersamarkan, maka mereka menyarankan sang Pangeran memakai nama Kyai Pisang yang mirip dengan Wisang.
Mereka menetap tinggal di Karang Pradesan yang sekarang menjadi Desa Gedangrejo. Selanjutnya Wisang Sanjaya yang ingin menyuburkan daerah yang ditinggalinya kemudian berupaya membuat bendungan.
Hal itu karena lahan pertanian di Gedangrejo saat itu tandus, padahal ada aliran sungai besar, yakni Kedung Dawang di sekitar desa.
Pangeran Majapahit ini kemudian meminta kedua abdi dalem setianya, Eyang tropoyo dan Eyang Yudopati membuat bendungan di Sungai Kedung Dawang. Pembuatan bendungan ini konon dilakukan hanya dalam satu malam.
Setelah bendungan jadi, maka dibuat saluran irigasi hingga menyuburkan lahan pertanian di Karang Pradesan. Masyarakat pun bisa bercocok tanam dengan tanah yang subur karena air irigasi melimpah.
Ketiga tokoh Karang Pradesan yang merasa sangat terbantu dengan adanya bendungan kemudian mengadakan upacara adat selamatan di Bendungan Sungai Kedung Dawang dan areal persawahan sekitarnya.
Selamatan atau tasyakuran dilestarikan hingga kini yang digelar pada hari Senin Wage ataupun Kamis Kliwon usai masa panen kedua.
Dalam tasyakuran ini ditampilkan tari Cing Cing Goling. Tarian ini mengisahkan Raden Wisang Sanjaya dan istrinya yang sedang hamil serta dua abdi setianya saat perjalanan mengungsi dari Majapahit hingga sampai ke Desa Gedangrejo.
Aksi teatrikal ini menceritakan saat belasan pria berusaha merebut istri Wisang Sanjaya. Hingga akhirnya para pengawal yang berhasil menyelamatkan Nyai Wisangsanjaya dari para pria begundal hingga pembuatan bendungan yang menyuburkan Desa Gedangrejo.