Rugikan Masyarakat, Anggota Komisi VII DPR Tolak Revisi PP 109/2012
loading...
A
A
A
SURABAYA - Anggota Komisi VII DPR Abdul Kadir Karding menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Sebab revisi dipastikan bakal menekan dan merugikan masyarakat.
Rencana revisi PP 109/2012 itu bukan didasari pada alasan kesehatan, sebagaimana kerap disampaikan pemerintah, terutama dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), maupun pihak-pihak yang mendukung.
Menurut Karding, dorongan revisi ini lebih dikarenakan adanya intervensi internasional yang kemudian menimbulkan tekanan-tekanan tertentu pada industri tembakau di Indonesia.
“Itu kami duga sangat kuat bahwa alasan kesehatan itu hanyalah proxy saja. Tapi yang lebih menonjol dari regulasi-regulasi yang muncul di negara ini, termasuk revisi PP 109 ini maupun ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) itu adalah tekanan internasional,” ujarnya, Jumat (17/2/2023).
Wacana revisi PP 109/ 2012 kembali menjadi perhatian setelah dikeluarkannya Keppres 25/2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Jika revisi ini diterapkan, maka berbagai aturan yang diberlakukan kepada industri rokok, yang sebelumnya sudah sangat ketat akan lebih diperketat lagi.
Beberapa perubahan di antaranya pembesaran gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok, ditargetkan menjadi 90% luas kemasan, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di berbagai jenis media, serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Karding menilai PP 109/2012 yang berlaku saat ini pun sudah sangat menekan dan represif bagi industri rokok selama ini dari hulu ke hilir. Selama ini, perokok sering dianggap sebagai masyarakat marginal, karena larangan merokok di beberapa tempat diberlakukan secara eksesif.
Oleh karenanya, jika mau direvisi dengan yang lebih ketat, akan timbul dampak yang sangat besar, tidak hanya terkait pendapatan negara, namun juga kepada aspek ekonomi dan sosial.
“Pemerintah sebaiknya tidak gegabah dan jangan mudah tunduk pada dorongan asing, karena hal ini akan mengganggu ekosistem pertembakauan Indonesia. Banyak sekali orang yang hidupnya bergantung pada rokok, mulai dari buruh linting, pedagang, pemilik industri, dan lainnya, yang akan terancam kelangsungan hidupnya dengan adanya revisi ini” imbuh Ketua Umum IKA Universitas Diponegoro (Undip) tersebut.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya (Gapero Surabaya) Sulami Bahar mengaku tidak habis pikir dengan dasar dan tujuan revisi PP 109/2012 karena ingin menurunkan prevalensi perokok anak yang dianggap masih tinggi.
Rencana revisi PP 109/2012 itu bukan didasari pada alasan kesehatan, sebagaimana kerap disampaikan pemerintah, terutama dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), maupun pihak-pihak yang mendukung.
Menurut Karding, dorongan revisi ini lebih dikarenakan adanya intervensi internasional yang kemudian menimbulkan tekanan-tekanan tertentu pada industri tembakau di Indonesia.
“Itu kami duga sangat kuat bahwa alasan kesehatan itu hanyalah proxy saja. Tapi yang lebih menonjol dari regulasi-regulasi yang muncul di negara ini, termasuk revisi PP 109 ini maupun ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) itu adalah tekanan internasional,” ujarnya, Jumat (17/2/2023).
Wacana revisi PP 109/ 2012 kembali menjadi perhatian setelah dikeluarkannya Keppres 25/2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023. Jika revisi ini diterapkan, maka berbagai aturan yang diberlakukan kepada industri rokok, yang sebelumnya sudah sangat ketat akan lebih diperketat lagi.
Beberapa perubahan di antaranya pembesaran gambar peringatan kesehatan di bungkus rokok, ditargetkan menjadi 90% luas kemasan, pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di berbagai jenis media, serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Karding menilai PP 109/2012 yang berlaku saat ini pun sudah sangat menekan dan represif bagi industri rokok selama ini dari hulu ke hilir. Selama ini, perokok sering dianggap sebagai masyarakat marginal, karena larangan merokok di beberapa tempat diberlakukan secara eksesif.
Oleh karenanya, jika mau direvisi dengan yang lebih ketat, akan timbul dampak yang sangat besar, tidak hanya terkait pendapatan negara, namun juga kepada aspek ekonomi dan sosial.
“Pemerintah sebaiknya tidak gegabah dan jangan mudah tunduk pada dorongan asing, karena hal ini akan mengganggu ekosistem pertembakauan Indonesia. Banyak sekali orang yang hidupnya bergantung pada rokok, mulai dari buruh linting, pedagang, pemilik industri, dan lainnya, yang akan terancam kelangsungan hidupnya dengan adanya revisi ini” imbuh Ketua Umum IKA Universitas Diponegoro (Undip) tersebut.
Secara terpisah, Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Surabaya (Gapero Surabaya) Sulami Bahar mengaku tidak habis pikir dengan dasar dan tujuan revisi PP 109/2012 karena ingin menurunkan prevalensi perokok anak yang dianggap masih tinggi.