Keris Kiai Bontit untuk Paku Alam, Simbol Pendukung Kasultanan Yogyakarta
loading...
A
A
A
Sama seperti keris pusaka lain, Mangunkusuma mengatakan keris ini juga dipercaya memiliki kesaktian. Namun kesaktian itu hanya bisa digunakan oleh sosok yang sudah mengisi ruhnya dengan nilai-nilai luhur dalam agama. “Kalau jiwanya tidak terisi maka keris ini hanya sebilah besi biasa,” imbuh dia.
“Tidak sembarang orang bisa memakai keris ini, hanya Paku Alam yang sah yang diperkenankan mengenakannya,” kata dia.
Sementara menurut versi lain, keris tersebut awalnya adalah milik Sunan Bonang. Dia adalah salah satu dari sembilan wali, yang merupakan putra dari Raden Rahmat alias Sunan Ampel.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang selalu membawa sebilah keris yang diletakkan di pinggang bagian depan. Keris yang biasa dibawa-bawa Sunan Bonang adalah keris Kanjeng Kiai Bontit. Keris berdapur tilam upih ini tampil sederhana dengan pamor dan sandangan yang sederhana pula.
Meski sederhana, keris Kanjeng Kiai Bontit ini menjadi pusaka yang sangat berharga. Pasca wafatnya Sunan Bonang yang di makamkan di depan Masjid Tuban, keris ini jadi salah satu pusaka utama penguasa Tuban.
Tetapi pada akhirnya keris ini tidak di Tuban lagi. Bermula dari merosotnya kekuasaan Mataram, banyak daerah utamanya di pesisir mulai dikuasai VOC. Daerah tersebut menjadi kompensasi bagi jasa VOC yang memberi bantuan pada penguasa Mataram dalam menghadapi berbagai pemberontakan.
Tuban temasuk daerah yang jadi korban, tapi penguasanya melawan. Maka penguasa Tuban ini dibungkam dan diganti adipati yang ditunjuk dari Kraton Kartosuro yang lebih kooperatif dengan VOC.
Melalui penguasa dari Katosuro inilah, pusaka Tuban diambil dan dipindah ke Kraton Kartosuro dan masuk gedong pusaka Mataram. Termasuk keris Kanjeng Kiai Bontit.
Saat mataram pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, terjadi pembagian pusaka Mataram. Kanjeng Kiai Bontit termasuk pusaka yang ikut ke Surakarta.
Keris Kanjeng Kiai Bontit kemudian menjadi milik Pangeran Joyokusumo, putra PB IV. Lalu berpindah tangan ke GPH Suryo Hamijoyo, putra PB X, yang tercatat jadi pemilik terakhir.
“Tidak sembarang orang bisa memakai keris ini, hanya Paku Alam yang sah yang diperkenankan mengenakannya,” kata dia.
Sementara menurut versi lain, keris tersebut awalnya adalah milik Sunan Bonang. Dia adalah salah satu dari sembilan wali, yang merupakan putra dari Raden Rahmat alias Sunan Ampel.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang selalu membawa sebilah keris yang diletakkan di pinggang bagian depan. Keris yang biasa dibawa-bawa Sunan Bonang adalah keris Kanjeng Kiai Bontit. Keris berdapur tilam upih ini tampil sederhana dengan pamor dan sandangan yang sederhana pula.
Meski sederhana, keris Kanjeng Kiai Bontit ini menjadi pusaka yang sangat berharga. Pasca wafatnya Sunan Bonang yang di makamkan di depan Masjid Tuban, keris ini jadi salah satu pusaka utama penguasa Tuban.
Tetapi pada akhirnya keris ini tidak di Tuban lagi. Bermula dari merosotnya kekuasaan Mataram, banyak daerah utamanya di pesisir mulai dikuasai VOC. Daerah tersebut menjadi kompensasi bagi jasa VOC yang memberi bantuan pada penguasa Mataram dalam menghadapi berbagai pemberontakan.
Tuban temasuk daerah yang jadi korban, tapi penguasanya melawan. Maka penguasa Tuban ini dibungkam dan diganti adipati yang ditunjuk dari Kraton Kartosuro yang lebih kooperatif dengan VOC.
Melalui penguasa dari Katosuro inilah, pusaka Tuban diambil dan dipindah ke Kraton Kartosuro dan masuk gedong pusaka Mataram. Termasuk keris Kanjeng Kiai Bontit.
Saat mataram pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, terjadi pembagian pusaka Mataram. Kanjeng Kiai Bontit termasuk pusaka yang ikut ke Surakarta.
Keris Kanjeng Kiai Bontit kemudian menjadi milik Pangeran Joyokusumo, putra PB IV. Lalu berpindah tangan ke GPH Suryo Hamijoyo, putra PB X, yang tercatat jadi pemilik terakhir.