Kisah Jenderal Soedirman dan Nasi Oyek saat Dikepung Tentara Belanda dalam Hutan

Rabu, 18 Mei 2022 - 05:05 WIB
Akhirnya, warga di desa memberikan nasi oyek kepada Soepardjo. Lalu ia membawa makanan itu ke dalam hutan dan membagikan ke seluruh anggota pasukan Jenderal Sudirman. Semula, pasukan mengira makanan itu adalah nasi, tetapi belakangan Soepardjo baru menjelaskan bahwa masyarakat sekitar hanya memiliki oyek.

Oyek menambah energi seluruh pasukan sehingga tak mudah lapar. Hal ini karena tubuh lambat menyerap oyek yang mengandung karbohidrat kompleks lebih banyak dari nasi. Berbekal nasi oyek, pasukan Jenderal Soedirman mampu bertahan hidup selama beberapa waktu di dalam hutan serta menyerang balik pasukan Belanda.

Perjuangan Jenderal Soedirman bersama pasukannya bertahan dalam hutan dengan mengonsumsi nasi oyek diceritakan Ajudan II Jenderal Soedirman, Abu Arifin, dalam buku ‘Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia’.

Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman. Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko.

Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda.

Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.



Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat Gunung Lawu, pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya. Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain.

Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran. Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.

Sementara, Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur Wongsonegoro, menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil.

Pertemuan ini menghasilkan rencana Serangan Umum 1 Maret 1949; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel Soeharto berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam belas jam, menjadi unjuk kekuatan yang sukses dan menyebabkan Belanda kehilangan muka di mata internasional; Belanda sebelumnya menyatakan bahwa TNI sudah diberantas. Namun, siapa tepatnya yang memerintahkan serangan ini masih belum jelas: Soeharto dan Hamengkubuwono IX sama-sama mengaku bertanggung jawab atas serangan ini, sedangkan saudara Bambang Sugeng juga menyatakan bahwa dia lah yang telah memerintahkan serangan tersebut.



Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan. Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.

Meskipun ingin terus melanjutkan perlawanan terhadap pasukan Belanda, ia dilarang oleh Presiden Soekarno. Penyakit TBC yang diidapnya kambuh; ia pensiun dan pindah ke Magelang. Soedirman wafat tanggal 29 Januari 1950, kurang lebih satu bulan setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More