Ketika Santri China dan Ulama Dukung Pangeran Diponegoro Berperang Lawan Penjajah
Kamis, 21 April 2022 - 07:30 WIB
Pangeran Diponegoro mendapat dukungan penuh dari para santri dan tokoh agama Islam untuk berperang melawan Belanda. Bahkan kedua kelompok ini juga turut langsung berkumpul di markas pasukan sang pangeran di Gua Selarong.
Tercatat ada sebuah sumber yang menemukan adanya catatan daftar nama 200 orang santri dan santriwati yang bergabung dalam pasukan Pangeran Diponegoro di Perang Jawa. Beberapa dari mereka sebagaimana dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1825" dari Peter Carey, bahkan terdapat orang peranakan China dan Arab.
Baca juga: Kisah Kedigdayaan Sultan Mahmud Syah III, Habisi Pasukan Belanda hingga Tak Bersisa
Tak ketinggalan golongan santri istana, yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Beberapa di antaranya adalah Suranatan dan Suryogomo, serta penduduk desa - desa bebas pajak di Yogyakarta dan pondok - pondok pesantren.
Kelompok besar lain dibawa oleh Kiai Mojo, ketika ia bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong, awal Agustus. Kelompok ini merupakan anggota keluarga besarnya dan para santrinya yang datang dari tiga pesantren di Mojo dan Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri.
Delapan pemuka agama dan pejabat masjid serta sepuluh guru agama atau kiai guru juga menjadi bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka ini juga termasuk para pemimpin pondok pesantren mulai dari Bagelan, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun. Sisanya yang 121 orang disebut kiai, suatu istilah yang secara longgar dipakai di Jawa sebagai gelar kehormatan bagi sepuluh desa, guru agama, serta guru kebatinan.
Baca juga: Cerita Pangeran Diponegoro Menolak Bantuan Nyai Roro Kidul di Gua Langse
Konon para pemuka agama dan pondok pesantren ini lantaran dipercaya pangeran memilki kekuatan magis, yang membuatnya bisa terbang dan mempengaruhi cuaca. Hal ini yang membuat para pemimpin pondok pesantren mencoba meminta jimat hidup berupa darah dari pangeran, dalam diri saudara perempuan Pangeran, Raden Ayu Sosrodiwiryo, untuk memperat ikatan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan para santri dan tokoh agama ini merapat ke Pangeran Diponegoro karena adanya peristiwa saat ribuan tokoh agama dan kaum kerabatnya dibantai di alun - alun Keraton Plered, sekitar tahun 1650. Perang - perang suksesi di Jawa pada akhir abad ke - 17 hingga awal abad ke-18 menjadi saksi ketegangan antara keraton dengan kauman, sebuah komunitas agama yang kuat.
Para ulama yang dihormati, seperti ulama di Kajoran, Panembahan Rama, ikut memberontak melawan kekuasaan raja. Hal ini sama dengan pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan muda asal Madura yang saleh, bernama Raden Trunojoyo di tahun 1676 - 1680.
Komitmen pribadi Pangeran Diponegoro terhadap Islam dan kontak - kontaknya yang luas dengan para santri di Jawa tengah bagian selatan, menjadikan Pangeran Diponegoro dianggap seorang bangsawan Jawa, tetapi tidak seperti bangsawan umumnya.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
Tercatat ada sebuah sumber yang menemukan adanya catatan daftar nama 200 orang santri dan santriwati yang bergabung dalam pasukan Pangeran Diponegoro di Perang Jawa. Beberapa dari mereka sebagaimana dikutip dari buku "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1825" dari Peter Carey, bahkan terdapat orang peranakan China dan Arab.
Baca juga: Kisah Kedigdayaan Sultan Mahmud Syah III, Habisi Pasukan Belanda hingga Tak Bersisa
Tak ketinggalan golongan santri istana, yang merupakan anggota hierarki pejabat resmi Islam dan resimen pasukan yang direkrut dari para santri keraton. Beberapa di antaranya adalah Suranatan dan Suryogomo, serta penduduk desa - desa bebas pajak di Yogyakarta dan pondok - pondok pesantren.
Kelompok besar lain dibawa oleh Kiai Mojo, ketika ia bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Selarong, awal Agustus. Kelompok ini merupakan anggota keluarga besarnya dan para santrinya yang datang dari tiga pesantren di Mojo dan Baderan, dekat Delanggu, dan Pulo Kadang, dekat Imogiri.
Delapan pemuka agama dan pejabat masjid serta sepuluh guru agama atau kiai guru juga menjadi bagian dari pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka ini juga termasuk para pemimpin pondok pesantren mulai dari Bagelan, Kedu, Mataram, Pajang, Ponorogo, dan Madiun. Sisanya yang 121 orang disebut kiai, suatu istilah yang secara longgar dipakai di Jawa sebagai gelar kehormatan bagi sepuluh desa, guru agama, serta guru kebatinan.
Baca juga: Cerita Pangeran Diponegoro Menolak Bantuan Nyai Roro Kidul di Gua Langse
Konon para pemuka agama dan pondok pesantren ini lantaran dipercaya pangeran memilki kekuatan magis, yang membuatnya bisa terbang dan mempengaruhi cuaca. Hal ini yang membuat para pemimpin pondok pesantren mencoba meminta jimat hidup berupa darah dari pangeran, dalam diri saudara perempuan Pangeran, Raden Ayu Sosrodiwiryo, untuk memperat ikatan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro.
Dikisahkan para santri dan tokoh agama ini merapat ke Pangeran Diponegoro karena adanya peristiwa saat ribuan tokoh agama dan kaum kerabatnya dibantai di alun - alun Keraton Plered, sekitar tahun 1650. Perang - perang suksesi di Jawa pada akhir abad ke - 17 hingga awal abad ke-18 menjadi saksi ketegangan antara keraton dengan kauman, sebuah komunitas agama yang kuat.
Para ulama yang dihormati, seperti ulama di Kajoran, Panembahan Rama, ikut memberontak melawan kekuasaan raja. Hal ini sama dengan pemberontakan yang dipimpin oleh bangsawan muda asal Madura yang saleh, bernama Raden Trunojoyo di tahun 1676 - 1680.
Komitmen pribadi Pangeran Diponegoro terhadap Islam dan kontak - kontaknya yang luas dengan para santri di Jawa tengah bagian selatan, menjadikan Pangeran Diponegoro dianggap seorang bangsawan Jawa, tetapi tidak seperti bangsawan umumnya.
Lihat Juga: Kisah Kedekatan Prabowo Subianto dan Gus Dur, Pernah Masuk Kamar Tidur dan Jadi Tukang Pijatnya
(msd)
tulis komentar anda