Guru Besar FEB Unpad: Ekonomi Hijau Harus Digerakkan oleh Komunitas dan Masyarakat
Selasa, 22 Maret 2022 - 00:12 WIB
JAKARTA - Salah satu agenda yang terus didorong oleh pemerintah saat ini adalah transformasi ekonomi hijau yang searah dengan peta jalan penanganan sampah di Indonesia. Guru Besar FEB Universitas Padjadjaran Martha Fani Cahyandito mengatakan, ekonomi hijau harusnya digerakkan oleh komunitas dan masyarakat.
Menurut Fani, penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) galon sekali pakai tidak sejalan dengan ekonomi sirkular yang menjadi landasan utama implementasi ekonomi hijau. Dari perspektif ekonomi, hal ini justru merugikan karena AMDK galon sekali pakai tidak mendukung ekonomi sirkular yang memberikan manfaat berlanjut bagi ekonomi.
"Sementara itu, dari perspektif sosial dan lingkungan, perilaku sekali pakai dan buang ini bakal merugikan masa depan masyarakat dan negara ini karena mendukung perilaku hedonis dan merusak lingkungan," ungkap Fani dalam satu kesempatan diskusi baru-baru ini di Jakarta, Rabu (16/3/2022).
Fungsional Ahli Madya Pedal Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Edward Nixon Pakpahan menyampaikan hal yang sama. Menurut Edward tantangan penanganan sampah, salah satunya adalah dari sosial kultural. Kenyataannya, 72 persen masyarakat Indonesia tidak peduli terhadap penanganan sampah.
Sementara itu, pemerintah sendiri telah menetapkan target yang jelas pada 2030, yakni tidak ada lagi TPA di daerah-daerah, pembatasan masif plastik sekali pakai, dan perubahan perilaku masyarakat yang didasarkan pada kesadaran gaya hidup minim sampah.
“Untuk mendukung hal ini, sejak tahun lalu, produsen diharapkan menyampaikan perencanaan terkait penanganan sampah. Memang sudah ada korporasi yang menyampaikan rencana timbulan sampahnya hingga 2029. Penanganan sampah adalah komitmen bersama, dimulai dari kurangi sampah, gunakan produk guna ulang,” tegas dia.
Edward mengatakan, Permen LHK No 75 tahun 2019 terkait penanganan sampah mewajibkan produsen sektor ritel, manufaktur, dan jasa makanan dan minuman untuk mengurangi produk dan kemasan sampah, termasuk sampah plastik. Langkah tersebut wajib dilakukan dalam rangka mewujudkan komitmen ekonomi hijau Indonesia untuk mengurangi sampah hingga 30 persen pada 2029.
“Kepada para produsen, regulasi mewajibkan untuk melakukan pengurangan produk sampah. Utamakan kemasan yang bisa diguna ulang. Lakukan pengurangan, lakukan produk yang bisa diguna ulang, baru kemudian yang bisa direcycle. Tindakan mengurangi sampah diharapkan diawali dari produsen,” ujarnya.
Edward menanggapi wacana yang mendorong penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) galon sekali pakai ketimbang galon guna ulang. Menurut dia, AMDK galon sekali pakai bertentangan dengan prioritas penanganan sampah sebagaimana dalam Permen LHK 75/2019.
“AMDK galon sekali pakai, setelah itu akan menjadi sampah. Sedangkan prioritas utama kita adalah mengurangi sampah, bukan mengelola sampah. Kami tidak mendukung yang sekali pakai, usahakan yang bisa diguna ulang. Kami berharap produsen bisa sejalan dengan roadmap ini supaya tidak perlu ada sanksi atau tindakan keras untuk melarang,” katanya.
Menurut Fani, penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) galon sekali pakai tidak sejalan dengan ekonomi sirkular yang menjadi landasan utama implementasi ekonomi hijau. Dari perspektif ekonomi, hal ini justru merugikan karena AMDK galon sekali pakai tidak mendukung ekonomi sirkular yang memberikan manfaat berlanjut bagi ekonomi.
"Sementara itu, dari perspektif sosial dan lingkungan, perilaku sekali pakai dan buang ini bakal merugikan masa depan masyarakat dan negara ini karena mendukung perilaku hedonis dan merusak lingkungan," ungkap Fani dalam satu kesempatan diskusi baru-baru ini di Jakarta, Rabu (16/3/2022).
Fungsional Ahli Madya Pedal Direktorat Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Edward Nixon Pakpahan menyampaikan hal yang sama. Menurut Edward tantangan penanganan sampah, salah satunya adalah dari sosial kultural. Kenyataannya, 72 persen masyarakat Indonesia tidak peduli terhadap penanganan sampah.
Sementara itu, pemerintah sendiri telah menetapkan target yang jelas pada 2030, yakni tidak ada lagi TPA di daerah-daerah, pembatasan masif plastik sekali pakai, dan perubahan perilaku masyarakat yang didasarkan pada kesadaran gaya hidup minim sampah.
“Untuk mendukung hal ini, sejak tahun lalu, produsen diharapkan menyampaikan perencanaan terkait penanganan sampah. Memang sudah ada korporasi yang menyampaikan rencana timbulan sampahnya hingga 2029. Penanganan sampah adalah komitmen bersama, dimulai dari kurangi sampah, gunakan produk guna ulang,” tegas dia.
Edward mengatakan, Permen LHK No 75 tahun 2019 terkait penanganan sampah mewajibkan produsen sektor ritel, manufaktur, dan jasa makanan dan minuman untuk mengurangi produk dan kemasan sampah, termasuk sampah plastik. Langkah tersebut wajib dilakukan dalam rangka mewujudkan komitmen ekonomi hijau Indonesia untuk mengurangi sampah hingga 30 persen pada 2029.
“Kepada para produsen, regulasi mewajibkan untuk melakukan pengurangan produk sampah. Utamakan kemasan yang bisa diguna ulang. Lakukan pengurangan, lakukan produk yang bisa diguna ulang, baru kemudian yang bisa direcycle. Tindakan mengurangi sampah diharapkan diawali dari produsen,” ujarnya.
Edward menanggapi wacana yang mendorong penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) galon sekali pakai ketimbang galon guna ulang. Menurut dia, AMDK galon sekali pakai bertentangan dengan prioritas penanganan sampah sebagaimana dalam Permen LHK 75/2019.
“AMDK galon sekali pakai, setelah itu akan menjadi sampah. Sedangkan prioritas utama kita adalah mengurangi sampah, bukan mengelola sampah. Kami tidak mendukung yang sekali pakai, usahakan yang bisa diguna ulang. Kami berharap produsen bisa sejalan dengan roadmap ini supaya tidak perlu ada sanksi atau tindakan keras untuk melarang,” katanya.
(don)
tulis komentar anda